Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

TPN Ganjar-Mahfud Tolak Keputusan KPU, Minta Prabowo-Gibran Didiskualifikasi

22 Maret 2024   09:48 Diperbarui: 22 Maret 2024   09:56 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi: Hasil Screenshot di Youtube KPURepublikIndonesia

Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud dengan tegas menyatakan penolakan terhadap hasil rekapitulasi suara nasional yang disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia pada tanggal 20 Maret 2024. Alasan penolakan ini bukanlah tanpa dasar. Menurut Deputi Hukum TPN Ganjar Mahfud, Todung Mulya Lubis, Pemilu 2024 mengalami berbagai pelanggaran dan kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Kecurangan ini terdapat pada berbagai tahapan pemilu, mulai dari proses pra-pemungutan suara hingga pasca-pemungutan suara.

"Dalam pelaksanaannya harus dilakukan menurut Pasal 22E UUD 1945 yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Oleh karena itu, dalam menentukan hasil dari Pemilu 2024, tidak cukup hanya berfokus pada hasil pemungutan suara, melainkan harus juga mempertimbangkan secara menyeluruh kejadian, peristiwa, dan faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemungutan suara dalam Pemilu 2024," kata Todung.

Tahapan pra-pemungutan suara menjadi sasaran utama kecurangan yang dilakukan dalam Pemilu 2024. Pelanggaran tersebut mencakup intimidasi terhadap pemilih, kampanye hitam yang bertujuan untuk mencoreng citra calon, penyalahgunaan sumber daya negara untuk kepentingan politik tertentu, dan penyebaran informasi palsu atau hoaks guna mempengaruhi opini publik. Selain itu, kecurangan juga terjadi pada saat hari pemungutan suara. Berbagai taktik seperti money politics, yaitu pemberian uang atau barang kepada pemilih sebagai imbalan untuk memilih calon tertentu, serta pembelian suara secara terorganisir dilakukan untuk mempengaruhi hasil suara di berbagai daerah. Selain itu, terdapat indikasi pemalsuan surat suara, pemilih ganda, serta pemaksaan terhadap pemilih untuk memilih calon tertentu.

Setelah pemungutan suara selesai, kecurangan juga dilakukan pada tahapan penghitungan dan rekapitulasi suara. Pelanggaran melibatkan manipulasi data, pembajakan sistem elektronik, serta penyalahgunaan kewenangan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengubah hasil suara sesuai kepentingan tertentu. Todung Mulya Lubis menilai bahwa kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif tersebut merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan kedaulatan suara rakyat. Oleh karena itu, TPN Ganjar-Mahfud menolak hasil rekapitulasi suara yang disahkan oleh KPU dan mendesak untuk dilakukan audit independen serta penyelidikan menyeluruh terhadap seluruh pelanggaran yang terjadi selama Pemilu 2024.

Menurut Todung Mulya Lubis, sebelum dilaksanakannya pemungutan suara, telah terjadi kecurangan yang dimulai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan perlakuan istimewa terhadap calon wakil presiden nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka, melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini dianggap melanggar etika berat, yang berujung pada pemecatan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Selain itu, putusan tersebut menciptakan istilah "nepotisme," yang kemudian memicu penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Joko Widodo untuk memenangkan pasangan calon nomor urut 02 dalam satu putaran.

Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi titik awal dari rangkaian kecurangan yang menimpa proses pemilu. Perlakuan istimewa yang diberikan kepada calon wakil presiden nomor urut 02 telah mengancam integritas dan keadilan proses pemilu itu sendiri. Pemecatan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi menjadi bukti konkret bahwa putusan tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang seharusnya menjadi landasan keputusan pengadilan. Selain itu, terbitnya istilah "nepotisme" sebagai akibat dari putusan tersebut menunjukkan adanya keterlibatan politik yang tidak seharusnya dalam proses hukum. Hal ini mengindikasikan bahwa proses pengadilan tidak sepenuhnya bebas dari tekanan politik yang mempengaruhi independensi pengadilan. Dengan demikian, putusan tersebut bukan hanya merusak prinsip-prinsip hukum yang adil, tetapi juga membuka pintu bagi berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang bertujuan untuk mencapai kepentingan politik tertentu.

"Putusan ini kemudian dinyatakan melanggar etika berat yang membuat hakim konstitusi Anwar Usman diberhentikan dari jabatan ketua Mahkamah Konstitusi. Putusan inilah yang melahirkan 'nepotisme' yang selanjutnya mengakibatkan berbagai penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh Presiden Joko Widodo guna memenangkan paslon 02 dalam satu putaran," ujar Todung.

Penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Joko Widodo untuk memenangkan pasangan calon nomor urut 02 dalam satu putaran menjadi konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial tersebut. Tindakan tersebut mencerminkan ketidaknetralan institusi negara dan merusak prinsip demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi dalam proses pemilihan umum. Todung Mulya Lubis menekankan bahwa keberadaan kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan sebelum dan selama pemungutan suara menunjukkan ancaman serius terhadap integritas dan legitimasi proses demokrasi. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan tegas untuk memastikan transparansi, keadilan, dan kebenaran dalam proses pemilihan umum demi menjaga kedaulatan suara rakyat.

Selain dari abuse of power tersebut, Pemilu 2024 juga dicirikan oleh berbagai pelanggaran prosedur, di antaranya adalah penerimaan pendaftaran pasangan calon nomor urut 02 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023. Pelanggaran ini menimbulkan kekhawatiran akan integritas dan keadilan dalam proses pemilihan umum. Berdasarkan PKPU Nomor 19 Tahun 2023, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh pasangan calon agar bisa mendaftar sebagai peserta pemilu. Namun, penerimaan pendaftaran pasangan calon nomor urut 02 oleh KPU dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, mengisyaratkan adanya penyimpangan dalam proses administratif. Selain itu, ketidakpatuhan terhadap prosedur ini juga memunculkan keraguan terhadap kualitas pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga terkait. KPU sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilihan umum seharusnya menjalankan tugasnya dengan integritas dan ketelitian yang tinggi demi menjamin keadilan dan kesetaraan di antara peserta pemilu.

"Peringatan yang sebetulnya telah diberikan beberapa kali. Alih-alih diberhentikan, ketua KPU masih tetap menjabat," kata Todung.

Permasalahan ini semakin diperparah dengan fakta bahwa Ketua KPU telah dijatuhi peringatan berat terakhir oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai lembaga pengawas independen, namun tetap mempertahankan jabatannya. Tindakan ini menunjukkan adanya kegagalan dalam proses pengawasan dan penegakan disiplin di dalam lembaga yang seharusnya menjadi penjaga integritas dan profesionalisme dalam penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu, pelanggaran prosedur dalam penerimaan pendaftaran pasangan calon nomor urut 02 oleh KPU menjadi bukti yang menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem penyelenggaraan pemilihan umum. Langkah-langkah perbaikan yang konkrit dan tegas perlu diambil untuk memastikan bahwa proses pemilihan umum berjalan dengan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan yang sejati, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap integritas institusi demokratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun