Ganjar Mahfud, Todung Mulya Lubis, Pemilu 2024 mengalami berbagai pelanggaran dan kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Kecurangan ini terdapat pada berbagai tahapan pemilu, mulai dari proses pra-pemungutan suara hingga pasca-pemungutan suara.
Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud dengan tegas menyatakan penolakan terhadap hasil rekapitulasi suara nasional yang disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia pada tanggal 20 Maret 2024. Alasan penolakan ini bukanlah tanpa dasar. Menurut Deputi Hukum TPN"Dalam pelaksanaannya harus dilakukan menurut Pasal 22E UUD 1945 yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Oleh karena itu, dalam menentukan hasil dari Pemilu 2024, tidak cukup hanya berfokus pada hasil pemungutan suara, melainkan harus juga mempertimbangkan secara menyeluruh kejadian, peristiwa, dan faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemungutan suara dalam Pemilu 2024," kata Todung.
Tahapan pra-pemungutan suara menjadi sasaran utama kecurangan yang dilakukan dalam Pemilu 2024. Pelanggaran tersebut mencakup intimidasi terhadap pemilih, kampanye hitam yang bertujuan untuk mencoreng citra calon, penyalahgunaan sumber daya negara untuk kepentingan politik tertentu, dan penyebaran informasi palsu atau hoaks guna mempengaruhi opini publik. Selain itu, kecurangan juga terjadi pada saat hari pemungutan suara. Berbagai taktik seperti money politics, yaitu pemberian uang atau barang kepada pemilih sebagai imbalan untuk memilih calon tertentu, serta pembelian suara secara terorganisir dilakukan untuk mempengaruhi hasil suara di berbagai daerah. Selain itu, terdapat indikasi pemalsuan surat suara, pemilih ganda, serta pemaksaan terhadap pemilih untuk memilih calon tertentu.
Setelah pemungutan suara selesai, kecurangan juga dilakukan pada tahapan penghitungan dan rekapitulasi suara. Pelanggaran melibatkan manipulasi data, pembajakan sistem elektronik, serta penyalahgunaan kewenangan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengubah hasil suara sesuai kepentingan tertentu. Todung Mulya Lubis menilai bahwa kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif tersebut merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan kedaulatan suara rakyat. Oleh karena itu, TPN Ganjar-Mahfud menolak hasil rekapitulasi suara yang disahkan oleh KPU dan mendesak untuk dilakukan audit independen serta penyelidikan menyeluruh terhadap seluruh pelanggaran yang terjadi selama Pemilu 2024.
Menurut Todung Mulya Lubis, sebelum dilaksanakannya pemungutan suara, telah terjadi kecurangan yang dimulai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan perlakuan istimewa terhadap calon wakil presiden nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka, melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini dianggap melanggar etika berat, yang berujung pada pemecatan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Selain itu, putusan tersebut menciptakan istilah "nepotisme," yang kemudian memicu penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Joko Widodo untuk memenangkan pasangan calon nomor urut 02 dalam satu putaran.
Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi titik awal dari rangkaian kecurangan yang menimpa proses pemilu. Perlakuan istimewa yang diberikan kepada calon wakil presiden nomor urut 02 telah mengancam integritas dan keadilan proses pemilu itu sendiri. Pemecatan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi menjadi bukti konkret bahwa putusan tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang seharusnya menjadi landasan keputusan pengadilan. Selain itu, terbitnya istilah "nepotisme" sebagai akibat dari putusan tersebut menunjukkan adanya keterlibatan politik yang tidak seharusnya dalam proses hukum. Hal ini mengindikasikan bahwa proses pengadilan tidak sepenuhnya bebas dari tekanan politik yang mempengaruhi independensi pengadilan. Dengan demikian, putusan tersebut bukan hanya merusak prinsip-prinsip hukum yang adil, tetapi juga membuka pintu bagi berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang bertujuan untuk mencapai kepentingan politik tertentu.
"Putusan ini kemudian dinyatakan melanggar etika berat yang membuat hakim konstitusi Anwar Usman diberhentikan dari jabatan ketua Mahkamah Konstitusi. Putusan inilah yang melahirkan 'nepotisme' yang selanjutnya mengakibatkan berbagai penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh Presiden Joko Widodo guna memenangkan paslon 02 dalam satu putaran," ujar Todung.
Penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Joko Widodo untuk memenangkan pasangan calon nomor urut 02 dalam satu putaran menjadi konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial tersebut. Tindakan tersebut mencerminkan ketidaknetralan institusi negara dan merusak prinsip demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi dalam proses pemilihan umum. Todung Mulya Lubis menekankan bahwa keberadaan kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan sebelum dan selama pemungutan suara menunjukkan ancaman serius terhadap integritas dan legitimasi proses demokrasi. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan tegas untuk memastikan transparansi, keadilan, dan kebenaran dalam proses pemilihan umum demi menjaga kedaulatan suara rakyat.
Selain dari abuse of power tersebut, Pemilu 2024 juga dicirikan oleh berbagai pelanggaran prosedur, di antaranya adalah penerimaan pendaftaran pasangan calon nomor urut 02 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023. Pelanggaran ini menimbulkan kekhawatiran akan integritas dan keadilan dalam proses pemilihan umum. Berdasarkan PKPU Nomor 19 Tahun 2023, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh pasangan calon agar bisa mendaftar sebagai peserta pemilu. Namun, penerimaan pendaftaran pasangan calon nomor urut 02 oleh KPU dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, mengisyaratkan adanya penyimpangan dalam proses administratif. Selain itu, ketidakpatuhan terhadap prosedur ini juga memunculkan keraguan terhadap kualitas pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga terkait. KPU sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilihan umum seharusnya menjalankan tugasnya dengan integritas dan ketelitian yang tinggi demi menjamin keadilan dan kesetaraan di antara peserta pemilu.
"Peringatan yang sebetulnya telah diberikan beberapa kali. Alih-alih diberhentikan, ketua KPU masih tetap menjabat," kata Todung.
Permasalahan ini semakin diperparah dengan fakta bahwa Ketua KPU telah dijatuhi peringatan berat terakhir oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai lembaga pengawas independen, namun tetap mempertahankan jabatannya. Tindakan ini menunjukkan adanya kegagalan dalam proses pengawasan dan penegakan disiplin di dalam lembaga yang seharusnya menjadi penjaga integritas dan profesionalisme dalam penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu, pelanggaran prosedur dalam penerimaan pendaftaran pasangan calon nomor urut 02 oleh KPU menjadi bukti yang menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem penyelenggaraan pemilihan umum. Langkah-langkah perbaikan yang konkrit dan tegas perlu diambil untuk memastikan bahwa proses pemilihan umum berjalan dengan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan yang sejati, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap integritas institusi demokratis.
Pada saat pemungutan suara, terjadi sejumlah pelanggaran prosedur yang mencoreng integritas Pemilu 2024. Pelanggaran tersebut meliputi berbagai ketidaksesuaian, mulai dari jadwal pemungutan suara hingga kelangkaan surat suara, serta kurangnya sosialisasi di tempat pemungutan suara (TPS) yang berdampak pada proses pemilihan. Salah satu ketidaksesuaian yang terjadi adalah ketidaksesuaian jadwal pemungutan suara yang seharusnya berlangsung sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Ketidaksesuaian ini dapat menciptakan kebingungan di antara pemilih dan mengganggu keteraturan proses pemungutan suara. Selain itu, kekurangan surat suara juga menjadi permasalahan serius yang terjadi selama Pemilu 2024. Kekurangan ini dapat menghambat hak warga negara untuk memberikan suaranya dan mengganggu integritas proses pemilihan umum secara keseluruhan.
Kurangnya sosialisasi di tempat pemungutan suara (TPS) juga menjadi faktor yang mempengaruhi kelancaran proses pemilihan. Sosialisasi yang kurang efektif dapat membuat pemilih bingung atau kurang memahami prosedur pemilihan, sehingga berpotensi mengakibatkan kesalahan atau kebingungan di tempat pemungutan suara. Selain itu, adanya surat suara yang telah tercoblos juga merupakan pelanggaran serius yang mengancam integritas pemilihan umum. Surat suara yang telah tercoblos dapat mempengaruhi hasil pemilihan dan mencoreng keabsahan proses demokratis.
Selain itu, kekacauan informasi yang timbul dari aplikasi Sirekap juga menimbulkan keraguan terhadap integritas Pemilu 2024. Dugaan adanya algoritma yang sengaja dibuat untuk menguntungkan pasangan calon nomor urut 02 semakin memperkeruh situasi dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap hasil pemilu yang sah dan adil. Semua pelanggaran prosedur ini menunjukkan perlunya langkah-langkah reformasi dalam sistem penyelenggaraan pemilihan umum untuk memastikan bahwa proses demokratis berjalan dengan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan yang sejati. Upaya-upaya perbaikan yang konkrit dan tegas harus diambil untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap integritas institusi demokratis dan keabsahan proses pemilihan umum.
"Setelah pemungutan suara, kita juga dihebohkan oleh aplikasi Sirekap yang menimbulkan berbagai kekacauan informasi hingga dugaan adanya algoritma yang sengaja dibuat untuk menguntungkan Paslon 02," ungkap Todung.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud dengan tegas menolak Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 360 Tahun 2024 terkait Hasil Pemilihan Umum 2024 yang diumumkan pada tanggal 20 Maret 2024. Penolakan ini merupakan respons terhadap serangkaian pelanggaran dan kecurangan yang telah terjadi selama proses pemilihan umum. Dalam upaya untuk menggugat keputusan tersebut, pihak TPN Ganjar-Mahfud akan mengajukan permohonan pembatalan keputusan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK) melalui mekanisme perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Tindakan ini diambil sebagai langkah untuk menegakkan keadilan dan memastikan bahwa proses demokratis berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pengajuan permohonan perselisihan tentang hasil pemilihan umum kepada Mahkamah Konstitusi adalah hak yang dijamin dalam konstitusi dan merupakan jalur legal yang tersedia bagi pihak yang merasa dirugikan akibat pelanggaran atau kecurangan dalam proses pemilihan umum. Dengan mengambil langkah ini, TPN Ganjar-Mahfud berupaya untuk menyuarakan keberatan mereka terhadap hasil pemilihan yang dipandang tidak sah dan tidak adil.
"Kami akan meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan diskualifikasi terhadap Paslon 02 dan memerintahkan KPU untuk melakukan pemilihan umum ulang di seluruh Indonesia tanpa partisipasi Paslon 02," tegas Todung.
Melalui proses hukum ini, diharapkan Mahkamah Konstitusi dapat melakukan pengujian terhadap keabsahan dan keadilan hasil pemilihan umum serta memastikan bahwa hak-hak konstitusional rakyat dilindungi dan dihormati. Tindakan ini juga bertujuan untuk mendukung integritas dan kredibilitas institusi demokratis dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga konstitusi dan penegak keadilan. Dengan demikian, upaya untuk mengajukan pembatalan Keputusan KPU No. 360 Tahun 2024 kepada Mahkamah Konstitusi merupakan langkah strategis yang diambil oleh TPN Ganjar-Mahfud untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan dalam proses pemilihan umum serta menegakkan kedaulatan suara rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H