Masjid Tegalsari merupakan salah satu masjid yang memiliki sejarah panjang di Indonesia, didirikan sekitar abad ke-18, berlokasi di desa Tegalsari, kecamatan Jetis, kabupaten Ponorogo. Sejarahnya melibatkan tokoh ulama besar, Kyai Ageng Hasan Besari, yang hidup sekitar tahun 1742 pada masa pemerintahan Pakubuwono II. Masjid ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi warisan berharga bagi masyarakat Indonesia. Salah satu keunikan masjid ini adalah koleksi kitab yang terpelihara dengan baik di dalamnya, berumur antara 150-170 tahun, yang diketahui ditulis oleh Ranggawarsita, seorang tokoh intelektual pada zamannya.
Kompleks Masjid Tegalsari saat ini telah menjadi destinasi wisata religius yang populer di Ponorogo. Peran masjid ini tidak terbatas hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat penyebaran ajaran Islam di wilayah tersebut pada masa lampau. Selain sebagai pusat kegiatan keagamaan, Masjid Tegalsari juga menjadi tempat berdirinya Pesantren Tegalsari yang terkenal. Pesantren ini menjadi salah satu institusi pendidikan Islam yang sangat terkemuka, menarik ribuan santri dari berbagai wilayah di Jawa dan sekitarnya.
Kesohorannya tidak hanya sebatas lokal, tetapi juga nasional, dengan alumni terkenal seperti Ranggawarsita, seorang pujangga Jawa yang memiliki kontribusi besar dalam kebudayaan Jawa, dan tokoh pergerakan nasional H.O.S Cokroaminoto. Secara keseluruhan, Masjid Tegalsari bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi simbol sejarah, kebudayaan, dan pendidikan Islam di Indonesia, yang tetap dihormati dan dijaga nilainya hingga saat ini.
Masjid Tegalsari diduga dibangun sekitar pertengahan abad ke-18 oleh Kyai Ageng Hasan Besari. Pada mulanya, struktur masjid tersebut masih sederhana. Namun, kemudian cucunya, Kyai Kasan Besari, memperluas bangunan masjid tersebut untuk dapat menampung lebih banyak jamaah. Kyai Kasan Besari juga terkenal sebagai tokoh yang berhasil mengislamkan masyarakat Ponorogo hingga ke lereng Gunung Lawu. Menurut cerita yang berkembang di kalangan masyarakat setempat, proses pembangunan Masjid Tegalsari tidak berjalan mulus. Dikatakan bahwa tiang-tiang yang terbuat dari kayu jati awalnya tidak mampu berdiri tegak. Namun, dengan kelebihan spiritual yang dimiliki oleh Kyai Kasan Besari, kayu tersebut konon kemudian ditampar olehnya. Kejadian yang aneh terjadi, di mana kayu yang tadinya lemah tak berdaya tiba-tiba mampu berdiri tegak, bahkan menjadi tiang utama dalam bangunan Masjid Tegalsari.
Namun, masalah tersebut tidak berhenti sampai di situ. Salah satu tiang masjid yang berada di pojok juga mengalami kendala, di mana ujungnya tidak tajam sehingga tidak dapat dipasang ke tiang lainnya. Dengan keahlian spiritualnya, Kyai Kasan Besari dikatakan melakukan suatu ritual atau tindakan yang membuat ujung kayu tersebut menjadi tajam secara ajaib. Dengan cara ini, tiang tersebut dapat dipasang kembali ke tiang utama tanpa menggunakan paku. Kisah-kisah seperti ini menjadi bagian dari mitos atau legenda yang melingkupi sejarah pembangunan Masjid Tegalsari. Meskipun tidak dapat dipastikan kebenarannya, cerita-cerita tersebut menjadi bagian dari warisan budaya yang dilestarikan oleh masyarakat setempat. Masjid Tegalsari tetap menjadi landmark penting dan pusat kegiatan keagamaan di wilayah Ponorogo hingga saat ini.
Arsitektur UnikÂ
Menurut laporan dari Tribunnews.com, awal mula pendirian Masjid Tegalsari diprakarsai oleh Kiai Ageng Muhammad Basyari, seorang ulama karismatik yang memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di Ponorogo dan sekitarnya. Arsitektur Masjid Tegalsari sendiri memiliki keunikan tersendiri. Di dalam bangunan masjid terdapat 36 tiang yang kokoh, semuanya terbuat dari kayu jati dan dipasang tanpa menggunakan paku. Setiap kayu jati diperkuat dengan pasak kayu, menambah kekokohan struktur bangunan tersebut. Masjid ini memperlihatkan gaya arsitektur Jawa yang khas, dengan ciri khas 36 tiang dan atap berbentuk kerucut. Jumlah tiang yang tepat 36 buah ini diyakini memiliki makna spiritual yang mendalam, karena jumlah tersebut (3+6=9) sama dengan jumlah wali/wali songo, yaitu sembilan tokoh sufi yang dianggap menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Konsep atap berbentuk kerucut juga tidak hanya sekadar desain fisik, melainkan mengandung simbolisme yang dalam, menggambarkan keagungan Allah SWT dalam bentuk yang visual.
Keseluruhan, Masjid Tegalsari bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi representasi dari nilai-nilai spiritual dan keindahan arsitektur Jawa. Keberadaannya menjadi bukti sejarah penting dalam penyebaran Islam di wilayah Ponorogo dan menjadi salah satu destinasi wisata religius yang menarik perhatian banyak orang. Tak hanya itu, kubah Masjid Tegalsari juga terkenal karena terbuat dari tanah liat, yang merupakan jenis gerabah, yang keasliannya masih terjaga hingga kini. Bangunan masjid ini memiliki atap tumpang tiga yang terletak di sebelah barat. Struktur atap ini didukung oleh empat saka guru, 12 sakarawa, dan 24 saka pinggir, yang berfungsi sebagai penyangga atap tajug. Penyangga ini dipasang menggunakan sistem ceblokan, dan kondisi kayu penyangganya saat ini masih kuat meskipun telah berusia.
Namun, terdapat bagian bangunan yang mengalami kerusakan karena faktor usia, yaitu mimbar. Untuk mengatasi hal ini, kini terdapat mimbar kayu berukir yang merupakan replika dari mimbar asli. Selanjutnya, di sebelah timur masjid terdapat pendopo dengan atap limasan, gaya bangunan khas Jawa. Hal ini berbeda dengan bangunan baru di sisi timur yang memiliki atap kubah yang terbuat dari bahan metal. Tak lupa, di depan masjid terdapat rumah Kiai Ageng Besari. Hingga saat ini, kondisi rumah tersebut masih terawat dengan baik dan menjadi salah satu objek wisata religi yang menarik bagi pengunjung. Rumah ini merupakan bagian penting dari kompleks Masjid Tegalsari, memberikan dimensi sejarah yang lebih dalam tentang kehidupan Kiai Ageng Besari dan peranannya dalam pengembangan agama Islam di wilayah tersebut.
Kompleks Masjid Tegalsari terbagi menjadi tiga bagian yang berbeda peran dan fungsi:
- Dalem Gede: Merupakan sebuah kerajaan kecil yang pada masa lampau berperan sebagai pusat pemerintahan lokal. Dalem Gede menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh penting serta menjadi pusat kegiatan administratif dan pemerintahan pada zamannya.
- Masjid: Merupakan bangunan utama dalam kompleks Masjid Tegalsari, yang menjadi pusat kegiatan keagamaan dan ibadah bagi umat Islam di sekitarnya. Masjid ini memiliki nilai historis dan arsitektur yang khas, mencerminkan kekayaan budaya dan spiritual masyarakat setempat.
- Komplek makam Kyai Ageng Hasan Besari dan Nyai Ageng Hasan Besari: Merupakan lokasi pemakaman dari Kyai Ageng Hasan Besari dan istrinya, Nyai Ageng Hasan Besari. Tempat ini dianggap sakral oleh masyarakat sebagai tempat peristirahatan terakhir dari tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam di wilayah tersebut. Makam ini juga menjadi objek ziarah dan tempat spiritual bagi pengunjung yang datang untuk menghormati dan merenungkan warisan spiritual mereka.
Konon, dikatakan bahwa batu bancik yang terdapat di Masjid Tegalsari berasal dari masa kerajaan Hindu Majapahit setelah keruntuhannya. Secara filosofis, keberadaan batu ini bersamaan dengan pendirian Masjid Tegalsari memiliki makna yang mendalam. Hal ini dianggap sebagai simbol peralihan masyarakat dari kepercayaan Hindu yang dominan pada masa Majapahit menuju penerimaan dan pengamalan ajaran Islam. Makna filosofis dari batu bancik ini menggambarkan proses transisi dan transformasi keagamaan yang terjadi di wilayah tersebut. Seiring berdirinya Masjid Tegalsari sebagai pusat kegiatan keagamaan Islam, batu bancik tersebut menjadi saksi bisu dari perubahan budaya dan kepercayaan yang terjadi dalam masyarakat setempat.
Keberadaan batu bancik ini juga menandakan adanya toleransi dan integrasi antara berbagai tradisi keagamaan yang berkembang di Indonesia. Meskipun berasal dari latar belakang keagamaan yang berbeda, masyarakat Majapahit yang pada awalnya menganut kepercayaan Hindu kemudian menerima dan mengamalkan ajaran Islam yang dibawa oleh para ulama dan tokoh agama pada masa itu. Dengan demikian, batu bancik di Masjid Tegalsari tidak hanya menjadi bagian dari warisan sejarah, tetapi juga menjadi simbol perjalanan spiritual dan keberagaman budaya di Indonesia, yang patut dihargai dan dijaga keberadaannya sebagai bagian dari identitas dan kekayaan budaya bangsa.
Lokasi dan Status Cagar BudayaÂ
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari situs resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (kemdikbud.go.id), Masjid Tegalsari merupakan salah satu masjid yang dibangun sejak abad ke-18. Masjid kuno ini terletak sekitar 12 kilometer di arah tenggara dari Kota Ponorogo. Kompleks masjid beserta pondok pesantrennya memiliki luas sekitar 4.500 meter persegi. Kompleks Masjid Tegalsari dikelilingi oleh tembok yang memagari area masjid. Tinggi tembok tersebut mencapai sekitar 11 meter. Kehadiran tembok ini tidak hanya sebagai pembatas fisik, tetapi juga menambah kesan kekokohan serta keberadaan masjid ini dalam konteks historis dan budaya.
Tak hanya sebagai tempat ibadah, Masjid Tegalsari juga memiliki nilai budaya yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan statusnya sebagai bangunan cagar budaya, yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992. Status ini menandakan bahwa masjid ini dianggap memiliki nilai sejarah, arsitektur, dan kebudayaan yang penting untuk dilestarikan dan dijaga keberadaannya bagi generasi mendatang. Masjid Tegalsari dengan demikian bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga sebuah warisan budaya yang berharga bagi masyarakat Indonesia.
Masjid Jami' Tegalsari: Destinasi Wisata Religi yang Tidak Boleh Dilewatkan di Ponorogo
Dikenal sebagai "Kota Santri" dan terkenal dengan julukan "Bumi Reog", Kabupaten Ponorogo di Jawa Timur memancarkan pesona keagamaan dan kebudayaan yang kaya. Salah satu destinasi wisata religi yang paling terkenal dan bersejarah di sana adalah Masjid Jami' Tegalsari. Masjid Jami' Tegalsari terletak di Dukuh Gendol, Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Ponorogo, sekitar 11 kilometer dari pusat kota. Keindahan arsitektur dan kekayaan sejarah yang dimiliki membuatnya menjadi tempat yang istimewa bagi setiap pengunjung, termasuk saya, seorang mahasiswa yang telah lama menetap di Ponorogo. Kunjungan saya dimulai pada malam Jum'at, saat suasana bulan Ramadhan 1445 H/2024 M. Begitu tiba di masjid Tegalsari sekitar pukul 20.45 WIB, saya disambut oleh keramaian jama'ah yang sedang menikmati suasana malam yang istimewa. Tempat parkir kendaraan di kompleks masjid begitu ramai, dan saya mengetahui bahwa biaya parkir dikenakan hanya pada saat-saat tertentu, terutama malam Jum'at ketika banyak peziarah datang.
Saat menjelajahi kompleks masjid, saya terpesona oleh keindahan arsitektur bangunan yang megah. Dinding-dinding masjid yang dihiasi dengan ukiran indah dan ornamen khas Jawa menciptakan nuansa keagungan yang kental. Begitu masuk ke dalam masjid, saya disambut oleh suara gemerincing air dan aroma wewangian khas masjid yang menenangkan hati. Fasilitas di Masjid Tegalsari terjaga dengan baik, dan keaslian beberapa material bangunan masih terjaga meskipun telah mengalami beberapa kali pemugaran. Di tempat wudhu, saya melihat bak air besar berbentuk persegi dengan gayung-gaung yang tersedia, serta ukiran bermotif batik pada dinding sebagai hiasan yang menambah kekhasan tempat tersebut.
Sejarah panjang masjid ini dimulai pada tahun 1746, saat Kyai Ageng Hasan Besari membangun pondok pesantren yang kemudian berkembang menjadi Masjid Tegalsari. Meskipun telah mengalami renovasi dan perluasan, masjid ini tetap mempertahankan arsitektur aslinya, memberikan nuansa yang kaya akan nilai-nilai sejarah dan keagungan masa lalu. Bagi wisatawan yang ingin mengunjungi masjid ini, terdapat berbagai kegiatan yang dapat dilakukan, seperti mengikuti acara pengajian setiap Jumat dan Minggu, mengunjungi pondok pesantren, atau menziarahi makam di sekitarnya. Secara keseluruhan, Masjid Jami' Tegalsari adalah destinasi wisata religi yang tidak boleh dilewatkan di Ponorogo. Keindahan arsitektur, kekayaan sejarah, dan atmosfir spiritual yang kental menjadikannya tempat yang istimewa bagi siapa pun yang mengunjunginya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H