Dalam pandangan Rumi, para wali Allah bukanlah entitas yang terpisah atau eksklusif dari umat manusia, melainkan merupakan bagian integral dari masyarakat manusia. Mereka telah mencapai tingkat kesadaran spiritual yang lebih tinggi, yang memungkinkan mereka untuk mengalami cahaya ilahi dengan lebih jelas.Â
Puasa Ramadan memperbolehkan kita untuk memperdalam pemahaman ini dengan membuka diri terhadap pengalaman spiritual yang lebih mendalam. Dengan menyucikan jiwa dan membersihkan hati melalui puasa, kita dapat lebih peka terhadap keberadaan cahaya ilahi yang bersinar dalam diri kita sendiri dan dalam sesama manusia.Â
Oleh karena itu, puasa Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus secara fisik, tetapi juga tentang memperluas kesadaran akan keberadaan cahaya ilahi dalam diri kita dan memperkuat keterhubungan kita dengan sesama manusia dalam perjalanan spiritual kita.
Kegelapan yang sering meliputi hati akibat hawa nafsu dan egoisme secara perlahan terkikis oleh amalan Ramadan. Dalam bulan suci ini, kita diundang untuk merenung dan menemukan potensi ilahi yang ada dalam diri kita, sehingga mampu membangkitkan cahaya yang dapat menerangi diri sendiri dan juga orang lain.Â
Dalam konteks Ramadan, amalan-amalan seperti puasa, shalat, dan sedekah memiliki kekuatan untuk membersihkan hati dan jiwa dari pengaruh negatif, seperti hawa nafsu dan egoisme. Dengan berpuasa, kita belajar untuk mengendalikan dorongan-dorongan negatif yang dapat menghalangi kita dari mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.Â
Proses ini memungkinkan kita untuk menemukan dan mengaktifkan potensi ilahi yang ada dalam diri kita, serta menjadikan diri kita sebagai sumber cahaya yang menerangi bagi orang lain di sekitar kita. Dengan demikian, Ramadan bukan hanya menjadi waktu untuk beribadah secara rutin, tetapi juga sebagai kesempatan untuk membersihkan diri dan mengembangkan potensi spiritual yang ada dalam diri kita, sehingga kita dapat menjadi agen cahaya yang membawa manfaat bagi diri sendiri dan masyarakat sekitar.
PenutupÂ
Ramadan tahun 1445 Hijriah merupakan waktu yang sangat penting untuk melampaui batas-batas yang bersifat lahiriah dan merenungkan hakikat diri. Dengan mengambil teladan dari pemikiran Rumi yang terdapat dalam karyanya "Fihi Ma Fihi," kita dapat mengalami tarikan ilahi, menemukan kesatuan dalam keragaman, dan membangkitkan cahaya ilahi yang ada dalam diri kita.Â
Ramadan bukan hanya sekedar bulan yang penuh berkah dan ampunan, tetapi juga merupakan momen yang sangat istimewa di mana kita diajak untuk kembali kepada fitrah dan menemukan kebahagiaan sejati melalui kedekatan dengan Allah. Pemahaman terhadap hakikat diri dan tujuan hidup yang lebih dalam merupakan esensi dari Ramadan.Â
Dalam perspektif Rumi, puasa dan amalan ibadah lainnya pada bulan suci ini bukan hanya sebagai kewajiban ritual, melainkan sebagai sarana untuk merenungkan keberadaan kita sebagai manusia dan hubungan kita dengan Sang Pencipta. Dengan menyelami pemikiran Rumi, kita dapat memperluas pandangan tentang kehidupan dan memperdalam pengalaman spiritual kita selama Ramadan.
Rumi menegaskan pentingnya menemukan kesatuan dalam keragaman, di mana kerinduan manusia kepada Allah menjadi titik sentral yang menyatukan kita semua. Dengan merenungkan pemikiran ini, kita dihadapkan pada pemahaman bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam kedekatan dan ketaatan kepada Allah, bukan dalam harta atau kenikmatan duniawi semata.Â