Suap, manipulasi, dan penyalahgunaan dana yang dilakukan oleh partai politik dan para pemimpinnya tidak hanya melanggar norma-norma moral dan hukum, tetapi juga merusak integritas lembaga-lembaga negara serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik dan pemerintahan.
Dampak korupsi terhadap keuangan negara sangatlah merugikan, karena menguras sumber daya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan layanan dasar lainnya seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, meninggalkan masyarakat dalam kondisi yang kurang sejahtera.Â
Tidak hanya itu, korupsi juga menjadi penghambat utama dalam proses pembangunan nasional. Praktik korupsi mengakibatkan penggunaan sumber daya yang tidak efisien dan tidak efektif, serta menimbulkan ketidakpastian hukum yang merugikan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini menghambat upaya pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan berkelanjutan dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Selain itu, korupsi juga menciderai rasa keadilan di kalangan masyarakat. Ketidaksetaraan dalam akses terhadap layanan publik dan keadilan hukum menjadi semakin memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi antara elit politik dan masyarakat luas. Ini dapat mengancam stabilitas sosial dan politik negara, serta merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga demokratis.Â
Untuk mengatasi masalah korupsi yang terkait dengan pragmatisme politik, diperlukan upaya serius dan komprehensif dari semua pihak terkait. Ini termasuk penguatan sistem hukum dan penegakan hukum yang adil dan efektif, pemberantasan praktik korupsi secara sistematis, serta pembangunan budaya politik yang lebih transparan, akuntabel, dan berintegritas. Hanya dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat mengatasi tantangan korupsi yang menghambat pembangunan dan merusak fondasi demokrasi yang sehat.
Politik Elektoral MendominasiÂ
Pragmatisme politik memfokuskan perhatian pada politik elektoral sebagai titik pusat. Kemenangan dalam pemilihan umum tahun 2024 menjadi prioritas utama, menggeser peran ideologi dan platform partai politik. Kampanye politik ditandai dengan adanya praktik politik uang, pemanfaatan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), dan penyebaran berita palsu (hoaks), yang memicu polarisasi dan perpecahan di tengah masyarakat.Â
Dalam konteks ini, politik elektoral merujuk pada upaya para partai politik dan calon politik untuk memenangkan dukungan publik dalam pemilihan umum dengan berbagai cara, terlepas dari keberpihakan ideologis atau visi jangka panjang yang konsisten. Pragmatisme politik mendorong para pemimpin politik untuk memprioritaskan strategi yang dianggap paling efektif dalam memenangkan suara, bahkan jika itu berarti mengorbankan prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang seharusnya mereka perjuangkan.
Dalam suasana politik yang didominasi oleh pragmatisme ini, kampanye politik sering kali menjadi ajang di mana berbagai praktik yang merugikan demokrasi muncul. Politik uang, di mana pemilih diberi imbalan finansial atau materi untuk memilih calon tertentu, merusak esensi pemilihan umum yang seharusnya menjadi ajang untuk menentukan pemimpin berdasarkan platform dan visi politik.Â
Selain itu, penyalahgunaan isu-isu sensitif seperti SARA dan penyebaran hoaks bertujuan untuk memanipulasi opini publik dan memperkuat polarisasi di antara masyarakat. Dampak dari politik elektoral yang pragmatis ini sangatlah merugikan. Polaritas dan perpecahan yang dihasilkan dari kampanye politik yang berfokus pada kepentingan jangka pendek mungkin sulit diatasi dan dapat mengancam stabilitas sosial serta koherensi nasional.