Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa dan Guru PAUD

Terkadang, saya hanya seorang mahasiswa yang berusaha menulis hal-hal bermanfaat serta menyuarakan isu-isu hangat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hutang Kursi, Gila Kekuasaan: Kisah Tragis Seorang Caleg Gagal

26 Februari 2024   19:50 Diperbarui: 26 Februari 2024   20:00 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinopsis

Bagus Priyono, seorang pengusaha sukses di Ponorogo, tergoda untuk terjun ke dunia politik. Ia mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kabupaten Ponorogo pada Pemilu 2024. Demi meraih kursi, Bagus rela menggelontorkan uang dalam jumlah besar untuk kampanye. Ia bahkan rela menjaminkan asetnya dan berhutang kepada banyak orang. Namun, ambisi Bagus kandas. Ia gagal mendapatkan kursi di DPRD. Kekalahan ini membawa Bagus ke jurang kehancuran.

 Ia dihantui rasa frustrasi, stress, dan depresi. Hutang-hutangnya yang menumpuk semakin memperparah kondisinya. Tertekan oleh kenyataan pahit ini, Bagus perlahan kehilangan akal sehatnya. Ia menjadi pemurung, paranoid, dan sering mengamuk. Kehidupannya yang dulunya stabil dan harmonis berubah menjadi kacau balau. Hutang Kursi, Gila Kekuasaan menceritakan kisah tragis Bagus Priyono, seorang caleg gagal yang terjerat dalam ambisi dan ketamakan. Novel ini mengeksplorasi sisi gelap dunia politik dan dampaknya pada individu yang terobsesi dengan kekuasaan. 

Bab 1: Mimpi yang Berubah Mimpi Buruk

Angin malam Ponorogo berdesir menerpa wajah Bagus Priyono yang tegang. Lelaki paruh baya itu berdiri tegak di beranda rumahnya, sorot matanya kosong menatap kerlip lampu jalanan yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang. Di tangan kanannya, tergenggam erat koran lokal dengan berita terpampang di halaman depan: "Hasil Tetap Pemilu 2024: Kursi DPRD Kabupaten Ponorogo Dipenuhi Wajah Lama."

Bagus meremas koran itu hingga lusuh. Dadanya sesak, hatinya bagai tertusuk ribuan jarum. Mimpi yang selama ini ia rintihkan, yang ia bayar dengan segunung uang dan tetesan keringat, pupus sudah. Ia gagal. Gagal melenggang ke gedung DPRD Kabupaten Ponorogo sebagai anggota dewan terhormat.

"Ayah," panggil Karin, putri semata wayangnya, lirih. Suaranya memecah keheningan malam, membuyarkan lamunan Bagus. Karin berdiri di ambang pintu, matanya sembap bekas menangis.

Bagus menoleh, memaksakan senyum getir. "Belum tidur, Karin?"

Karin menggeleng pelan. "Ayah kenapa? Mama bilang Ayah belum makan dari tadi sore."

Bagus melangkah mendekati sang putri, merangkulnya erat. Aroma khas sampo Karin yang selalu ia sukai, kini tak mampu meredakan gurat kekecewaan di hatinya. Ia tak tega melihat kesedihan di wajah Karin, tapi ia pun tak sanggup berbohong.

"Ayah... gagal, Karin," Bagus berbisik, suaranya parau. "Ayah tidak jadi anggota dewan."

Karin mengernyit bingung. "Gagal? Maksudnya gagal apa, Yah?"

Bagus menarik napas dalam. "Pemilu, Nak. Ayah kalah dalam pemilihan anggota dewan."

Karin terdiam sejenak, menyerap informasi tersebut. Matanya mulai berkaca-kaca lagi. "Tapi... kan selama ini Ayah selalu bilang, kalau menang, Karin bisa kuliah di luar negeri?"

Bagus tertunduk, rasa sesak semakin menghimpit dadanya. Ia teringat janji-janjinya pada Karin, janji yang kini terasa hampa. Janji yang diucapkan dengan penuh keyakinan, yang kini musnah ditelan kekalahan.

"Maafkan Ayah, Karin. Ayah... Ayah belum bisa mewujudkan mimpi itu sekarang," lirih Bagus.

Karin terisak pelan, air mata mengalir membasahi pipinya. Bagus semakin mengeratkan pelukannya, berusaha meredam tangis sang putri sekaligus menahan gejolak emosi di dadanya sendiri.

Tiba-tiba, suara derap langkah tergesa-gesa memecah suasana haru di beranda. Linda, istri Bagus, muncul dengan wajah panik. "Gus, kamu lihat berita di koran itu?!" serunya histeris.

Bagus melepaskan pelukannya pada Karin. "Sudah Ibu tahu," jawabnya datar.

Linda ternganga. "Kamu... kamu tidak apa-apa? Bagaimana dengan semua uang yang kita keluarkan? Bagaimana dengan hutang-hutang itu?!" cecarnya bertubi-tubi.

Bagus terdiam seribu bahasa. Pertanyaan Linda menohok kesadarannya. Ya, kekalahan ini bukan hanya pukulan telak bagi harga dirinya, tapi juga bencana finansial bagi keluarganya. Ratusan juta rupiah yang ia gelontorkan untuk kampanye, kini terasa sia-sia. Belum lagi hutang yang ia pinjam sana-sini untuk memuluskan ambisinya.

Pikiran Bagus semakin kacau. Ia tak sanggup menghadapi kenyataan pahit ini. Tekanan batin yang teramat berat perlahan menggerogoti kewarasannya. Senyum getir kembali terlukis di bibirnya, senyum yang tak lagi mampu menyembunyikan keputusasaan yang menguasai dirinya.

"Tenanglah, Bu," gumam Bagus, suaranya bergetar. "Ayah akan memikirkan cara untuk menyelesaikan semuanya."

Namun, di lubuk hatinya yang terdalam, Bagus sendiri tak yakin dengan ucapannya. Mimpi yang selama ini ia perjuangkan, kini berubah menjadi mimpi buruk yang menghantuinya.

Bab 2: Bisikan Para Penagih

Hari-hari berlalu bagai siksaan bagi Bagus. Ia mengurung diri di kamar, enggan bertemu siapa pun. Linda, yang khawatir dengan kondisi suaminya, tak henti-hentinya mencoba mengajak Bagus bicara. Namun, Bagus hanya terdiam, tatapannya kosong, seolah jiwanya telah melayang ke tempat yang jauh.

Suatu pagi, Linda dibangunkan oleh suara gaduh dari ruang tamu. Ia bergegas keluar dan mendapati beberapa pria berbadan kekar tengah duduk di sofa. Wajah mereka garang, tatapan mereka tajam menusuk ke arah Linda.

"Ibu Linda Priyono?" tanya salah satu pria itu, suaranya berat.

Linda mengangguk pelan, meski hatinya berdebar cemas. "Betul, ada apa ya?"

"Kami dari PT. Makmur Jaya," kata pria itu lagi. "Kami ingin bertemu dengan Bapak Bagus Priyono."

"Suami saya sedang tidak enak badan," jawab Linda terbata-bata. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Begini, Bu," pria itu melanjutkan, "Bapak Bagus memiliki hutang kepada perusahaan kami sebesar 200 juta rupiah. Sesuai perjanjian, hari ini adalah batas waktu pelunasan."

Linda terkesiap. Jumlah yang disebutkan pria itu terbilang fantastis. Ia tahu suaminya memang berhutang untuk kampanye, tapi ia tak menyangka jumlahnya sebesar itu.

"Bapak... Bapak bisa tunggu dulu?" pinta Linda lirih. "Suami saya sedang dalam kondisi sulit saat ini."

Pria itu mendengus. "Kami sudah cukup sabar, Bu. Kami sudah kasih toleransi selama seminggu. Kalau dalam tempo satu jam, hutang itu belum dilunasi, kami terpaksa mengambil tindakan sesuai dengan perjanjian."

Linda nyaris pingsan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tak memiliki uang sebesar itu, apalagi saat ini Bagus seperti orang linglung. Dengan gemetar, Linda menghubungi Anton, sahabat sekaligus tim sukses Bagus selama kampanye.

Tak lama kemudian, Anton datang tergopoh-gopoh. Ia terkejut melihat Linda yang tampak pucat dan para penagih yang duduk dengan wajah garang. Setelah mendengar penjelasan Linda, Anton menghela napas panjang.

"Tenang dulu, Bu Linda," hibur Anton. "Saya coba bicara dengan mereka."

Anton lantas menemui para penagih itu. Percakapan mereka berlangsung alot. Anton berusaha bernegosiasi, meminta penundaan pelunasan atau keringanan pembayaran. Namun, para penagih itu bergeming. Mereka tetap kukuh menagih hutang tersebut.

Buntu dengan perdebatan, Anton terpaksa mengajak para penagih itu masuk ke kamar Bagus. Ia berharap Bagus bisa diajak bicara dan menyelesaikan masalah ini.

Namun, sesampainya di kamar, mereka mendapati pemandangan yang mengejutkan. Bagus tengah berbicara sendiri, matanya melotot, air liurnya meleleh di pipi. Ia terlihat mengacungkan tangan ke udara, seolah tengah berdebat dengan seseorang yang tak terlihat.

"Ayah... Ayah tidak gila!" teriak Bagus histeris. "Ayah hanya ingin kursi itu! Kursi itu yang akan menyelamatkan kita semua!"

Linda dan Anton saling pandang, kengerian terpancar di wajah mereka. Kondisi Bagus yang tak terurus dan tekanan batin yang berat akibat kekalahan pemilu, tampaknya telah berdampak pada kesehatan mentalnya.

"Kita harus bawa dia ke dokter jiwa," bisik Anton kepada Linda, suaranya bergetar.

Linda mengangguk setuju, air mata kembali mengalir di pipinya. Mimpi suaminya menjadi anggota dewan, kini tak hanya berujung pada kehancuran finansial, tapi juga berpotensi membawa mereka ke jurang kehancuran yang lebih dalam.

Bab 3: Jeruji dan Jeritan Pilu

Rumah sakit jiwa daerah Ponorogo itu hening, sesekali diselingi oleh jeritan dan gumaman para pasien. Linda, dengan tatapan kosong, duduk di ruang tunggu. Ia baru saja mengantar Bagus ke ruang pemeriksaan. Dokter yang menangani Bagus mengatakan suaminya mengalami gangguan jiwa akibat stress berat.

Pikiran Linda melayang ke masa lalu. Ia teringat perjuangan Bagus selama kampanye. Hari-hari yang melelahkan, uang yang mengalir deras, dan janji-janji manis yang terucap dari bibir para tim sukses.

"Bu, kalau Pak Bagus menang, kita bisa hidup enak," bujuk Anton kala itu, "Kita bisa bangun rumah baru, Karin bisa kuliah di luar negeri."

Linda, yang kala itu terlena oleh mimpi dan ambisi, tak kuasa menolak bujukan Anton dan tim sukses lainnya. Ia merelakan perhiasannya untuk digadaikan, tanah warisan orang tuanya pun terpaksa diikutkan. Kini, melihat Bagus terbaring lemah di ruang pemeriksaan, Linda diliputi rasa penyesalan yang mendalam.

"Bu Linda?" panggil seorang perawat, suaranya lembut. "Bapak Bagus sudah selesai diperiksa. Dokter ingin bicara dengan Anda."

Linda bangkit, kakinya terasa lemas. Ia mengikuti perawat itu menuju ruang dokter. Di sana, dokter menjelaskan kondisi Bagus dan rencana perawatan yang akan dijalani.

"Bu," kata dokter itu dengan nada prihatin, "kondisi mental Bapak Bagus cukup terganggu. Beliau membutuhkan perawatan intensif dan pendampingan psikologis yang baik."

Linda tertunduk lesu. "Berapa biayanya, Dok?"

Dokter itu menyebutkan angka yang cukup fantastis. Linda nyaris terjatuh pingsan. Uang hasil gadai perhiasan dan penjualan tanah sudah habis terpakai untuk biaya kampanye. Ia tak tahu harus mencari uang kemana lagi.

"Dok, saya tidak punya uang sebanyak itu," lirih Linda.

Dokter menghela napas. Ia memahami kesulitan Linda. "Begini saja, Bu. Kami bisa memberikan keringanan biaya. Tapi, Bapak Bagus harus menjalani perawatan inap selama minimal enam bulan."

Linda terdiam, bimbang. Enam bulan adalah waktu yang lama. Ia tak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Namun, ia tak tega melihat Bagus terlantar di rumah sakit tanpa perawatan yang layak.

"Baiklah, Dok," akhirnya Linda mengambil keputusan. "Saya akan berusaha mencari cara agar suami saya bisa dirawat di sini."

Keluar dari ruang dokter, Linda menghubungi Anton. Ia menceritakan kondisi Bagus dan rencana perawatan di rumah sakit jiwa. Namun, respon Anton mengecewakan. Ia mengaku tak bisa membantu karena sedang mengalami kesulitan keuangan.

Hati Linda semakin hancur. Ia sendirian menghadapi cobaan ini. Dengan langkah gontai, ia berjalan keluar dari rumah sakit. Di bawah terik matahari, Linda tak bisa lagi menahan tangisnya. Ia sadar, mimpi suaminya menjadi anggota dewan telah menghancurkan segalanya. Kini, ia harus berjuang sendirian, tak hanya untuk menyelamatkan Bagus dari jeruji mental, tapi juga untuk menyelamatkan keluarganya dari jeratan hutang dan kepedihan.

Bab 4: Jualan Kaki Lima dan Bisikan Masa Lalu

Enam bulan telah berlalu sejak Bagus dirawat di rumah sakit jiwa. Linda, dengan tekad baja, banting tulang untuk membiayai pengobatan suaminya. Ia terpaksa banting setir menjadi penjual nasi pecel di pinggir jalan.

Awalnya, rasa malu dan gengsi kerap menghantuinya. Ia terbiasa hidup berkecukupan, namun kini harus berhadapan dengan terik matahari dan debu jalanan. Namun, demi kesembuhan Bagus dan masa depan anaknya, Linda menguatkan hatinya.

Setiap sore, sepulang berjualan, Linda mengunjungi Bagus di rumah sakit. Ia menceritakan kesehariannya, bercerita tentang Karin yang kini terpaksa bekerja paruh waktu untuk membantu keuangan keluarga. Ia juga tak henti-hentinya menyemangati Bagus, berharap sang suami bisa segera pulih.

Suatu sore, saat Linda menjenguk Bagus, ia mendapati suaminya tengah duduk termenung di taman rumah sakit. Wajahnya tampak lebih tenang dibanding saat pertama kali ia masuk ke rumah sakit.

"Ayah," panggil Linda lirih.

Bagus menoleh, matanya menatap Linda dengan tatapan kosong. Butuh beberapa saat hingga akhirnya ia mengenali istrinya.

"Bu... Linda?" gumam Bagus, suaranya parau.

Linda berlutut di hadapan Bagus, air matanya mengalir tak tertahan. "Iya, Yah. Ini saya, Linda."

Bagus terdiam sejenak, kemudian mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Linda erat. "Maafkan Ayah, Bu," ucapnya lirih. "Ayah telah menghancurkan semuanya."

Linda tak kuasa berkata-kata. Ia hanya bisa menangis, air matanya bercampur antara sedih dan haru. Akhirnya, Bagus menyadari kesalahannya.

"Karin... bagaimana Karin?" tanya Bagus lagi, suaranya bergetar.

"Karin baik-baik saja, Yah," jawab Linda. "Dia bekerja paruh waktu sambil kuliah. Dia rindu Ayah."

Bagus tertunduk lesu. Rasa sesal kembali menggerogotinya. Ia telah menyakiti orang-orang yang dicintainya demi ambisi yang berujung kehancuran.

"Janji, Bu," bisik Bagus, suaranya bergetar. "Janji jaga Karin baik-baik. Ayah tidak mau dia seperti Ayah... gagal."

Linda mengangguk berkali-kali. "Iya, Yah. Ayah tenang saja. Ibu akan jaga Karin."

Hari-hari berlanjut. Linda terus berjualan nasi pecel, di sela-sela waktunya ia belajar tentang kesehatan mental dan cara merawat orang dengan gangguan jiwa. Ia tak ingin suaminya kembali kambuh.

Suatu hari, saat Linda sedang berjualan, ia didatangi Anton. Anton tampak lebih tua dan kurus dari terakhir kali mereka bertemu.

"Bu Linda," sapanya dengan suara lirih. "Maafkan saya atas semua yang terjadi. Saya baru tahu kondisi Pak Bagus dan... saya ingin membantu."

Linda terdiam, ia tak yakin dengan perkataan Anton. Namun, melihat raut penyesalan di wajah Anton, ia luluh. Ia menceritakan perjuangannya selama ini, dan Anton mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Saya tahu saya tidak bisa mengembalikan semuanya, Bu," kata Anton kemudian. "Tapi, izinkan saya membantu biaya pengobatan Pak Bagus."

Linda tertegun. Ia tak menyangka Anton akan menawarkan bantuan. Setelah menimbang sejenak, Linda akhirnya menerima tawaran tersebut. Ia sadar, ia tak bisa selamanya berjuang sendirian.

Bantuan Anton sedikit meringankan beban Linda. Perlahan, kondisi Bagus semakin membaik. Ia mulai bisa diajak bicara dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

Meski jalan masih panjang, Linda tak lagi merasa sendirian. Ia bersyukur atas kehadiran Anton dan bertekad untuk terus berjuang demi kesembuhan Bagus dan masa depan keluarganya.

Mimpi buruk akibat ambisi kekuasaan memang telah menghancurkan segalanya. Namun, di tengah puing-puing kehancuran tersebut, masih ada harapan untuk bangkit dan membangun kembali kehidupan yang lebih baik.

Bab 5: Rumah Tanpa Tembok

Mentari pagi bersinar terang, seolah enggan melewatkan momen penting dalam keluarga Bagus. Di ruang tamu sederhana, Linda tengah membantu Bagus mengenakan kemeja batik lusuh. Karin, yang sudah rapi dengan seragam kampusnya, berdiri di samping mereka.

"Ayah sudah siap?" tanya Karin lembut.

Bagus tersenyum, meski guratan lelah masih terlihat di wajahnya. "Sudah, Nak. Ayo berangkat."

Mereka bertiga berjalan kaki menuju rumah sakit jiwa. Hari ini adalah hari terakhir Bagus menjalani perawatan inap. Dokter menyatakan kondisi Bagus sudah cukup stabil dan bisa melanjutkan pemulihan di rumah.

Perjalanan menuju rumah sakit dipenuhi keheningan. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Linda mengenang perjuangan berat yang telah mereka lalui, Karin memikirkan masa depannya, dan Bagus dihantui rasa bersalah yang tak kunjung padam.

Sesampainya di rumah sakit, perawat membantu Bagus membereskan barang-barangnya. Suasana haru menyelimuti mereka saat mengucapkan salam perpisahan kepada para perawat dan pasien lain yang sudah dianggap keluarga.

Keluar dari gerbang rumah sakit, Bagus langsung terkesiap. Di hadapannya, bukan lagi rumah megah yang dulu mereka tempati, melainkan sebuah kontrakan sederhana berpagar kayu reyot. Linda sigap menjelaskan.

"Maaf, Yah," lirih Linda. "Rumah kita terpaksa dijual untuk melunasi sebagian hutang."

Bagus mengangguk pelan. Ia paham konsekuensi dari tindakannya. Ia tak lagi berhak mengeluh.

"Tapi, kita masih punya keluarga," lanjut Linda, suaranya bergetar. "Kita bisa memulai semuanya lagi, bersama-sama."

Karin, yang selama ini diam saja, mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Bagus erat. "Iya, Yah. Ayo kita bangun rumah tanpa tembok, rumah yang penuh cinta dan kebersamaan."

Bagus menatap Karin dan Linda bergantian. Air matanya mengalir tak tertahan. Ia sadar, meski banyak hal yang telah hilang, cinta keluarganya adalah harta yang tak ternilai dan tak bisa direnggut oleh siapa pun.

Dengan langkah mantap, Bagus memasuki rumah kontrakan sederhana itu. Ia tak lagi memikirkan kekuasaan, jabatan, apalagi mimpi yang telah pupus. Kini, yang ia inginkan hanyalah kebahagiaan keluarganya, kebahagiaan yang ia janjikan dan nyaris gagal ia wujudkan.

Mungkin, rumah mereka tak lagi berdinding megah, namun dengan cinta dan kebersamaan, mereka yakin bisa membangun kembali kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang diwarnai keikhlasan, kesederhanaan, dan cinta yang tak lekang oleh waktu.

Bab 6: Aroma Nasi Pecel dan Bisikan Masa Depan

Setahun berlalu sejak Bagus keluar dari rumah sakit jiwa. Kehidupan mereka jauh dari kata mewah, namun dipenuhi kehangatan dan rasa syukur. Mereka menghuni kontrakan sederhana, namun terasa luas karena dipenuhi cinta dan tawa.

Linda tetap berjualan nasi pecel, tapi kini ia dibantu oleh Bagus. Gerobak mereka selalu ramai pembeli, tak hanya karena rasanya yang lezat, tapi juga karena keramahan mereka.

Suatu sore, saat jam pulang kantor, Anton datang berkunjung. Wajahnya sumringah, tak seperti dulu yang tampak muram dan tertekan.

"Wah, ramai sekali!" seru Anton, matanya berbinar melihat antrean pembeli.

Linda dan Bagus tersenyum ramah. "Silahkan duduk, Ton," kata Linda, mempersilakan Anton duduk di bangku plastik yang disediakan.

"Sudah lama nih kita nggak ngobrol," ujar Anton. "Oh ya, aku mau kasih kabar baik."

Bagus dan Linda saling pandang, penasaran.

"Perusahaanku akhirnya bangkrut," ungkap Anton, membuat Linda dan Bagus terkesiap. Mereka tak menyangka Anton akan menyampaikan kabar tersebut.

"Tapi, jangan khawatir," Anton buru-buru melanjutkan, "sekarang aku kerja di perusahaan properti. Gaji lumayan, bisa buat hidup tenang."

Linda dan Bagus lega mendengarnya. Mereka turut bahagia atas pencapaian Anton.

"Oh ya," Anton kembali bersemangat, "aku juga mau minta maaf sekali lagi atas semua yang terjadi dulu. Aku benar-benar menyesal."

Bagus tersenyum tulus. "Sudahlah, Ton. Kita semua sudah sama-sama belajar dari kesalahan."

"Iya, benar kata Bagus," timpal Linda. "Yang penting sekarang kita sudah move on dan fokus ke masa depan."

Saat asyik mengobrol, Karin datang menghampiri mereka. Ia baru saja pulang kuliah.

"Eh, Karin sudah datang," sapa Anton ramah. "Semakin cantik saja ya."

Karin tersipu malu. "Terima kasih, Om Anton."

"Kamu kuliah di mana sekarang, Karin?" tanya Anton.

"Di jurusan Arsitektur, Om. Alhamdulillah, semester depan saya sudah bisa magang di kantor pemerintah," jawab Karin, suaranya bersemangat.

"Wah, hebat sekali!" seru Anton, matanya berbinar bangga. "Nanti kalau sudah jadi arsitek terkenal, jangan lupa bangunkan rumah bagus untuk Om ya!"

Karin dan yang lainnya tertawa. Pembicaraan mereka mengalir hangat, dipenuhi harapan dan semangat untuk masa depan.

Aroma nasi pecel yang sedap berpadu dengan obrolan hangat sore itu, seolah menjadi penanda bahwa kebahagiaan sejati bukanlah berasal dari jabatan, kemewahan, atau ambisi yang membabi buta. Kebahagiaan sejati justru hadir dari keikhlasan, kebersamaan, dan perjuangan bersama untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Meski masa lalu tak bisa diubah, mereka percaya bahwa masa depan masih bisa diukir dengan tangan mereka sendiri. Dan kini, mereka melangkah bersama, tak lagi terjebak dalam mimpi buruk kekuasaan, tapi menuju mimpi indah yang dibangun di atas fondasi cinta, ketulusan, dan harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun