Persaingan yang ketat dalam pendidikan dapat memicu stres karena siswa merasa tekanan untuk mencapai hasil yang tinggi dalam ujian, tes, atau penilaian lainnya. Mereka mungkin merasa perlu untuk bersaing dengan teman-teman sekelasnya, mencapai peringkat tertinggi, atau memenuhi harapan dari orang tua atau guru.Â
Selain itu, kecemasan juga dapat muncul karena ketidakpastian tentang masa depan, terutama dalam konteks persaingan yang ketat untuk masuk ke sekolah atau perguruan tinggi bergengsi. Siswa mungkin merasa cemas tentang kemampuan mereka untuk bersaing dengan siswa lain yang memiliki bakat atau prestasi yang lebih tinggi.
Stres dan kecemasan yang berkepanjangan dapat memiliki dampak negatif pada kesejahteraan mental dan emosional siswa, serta kinerja akademik mereka. Oleh karena itu, penting bagi pendidikan untuk menyediakan lingkungan yang mendukung, serta strategi untuk mengelola stres dan kecemasan. Ini dapat melibatkan pendekatan seperti penyediaan dukungan psikologis dan konseling, promosi kesehatan mental di sekolah, dan pengajaran keterampilan manajemen stres kepada siswa.Â
Selain itu, penting untuk mempromosikan budaya sekolah yang memprioritaskan kesejahteraan siswa di atas hasil akademik semata, serta menghargai berbagai jenis bakat dan keberhasilan di luar prestasi akademik.
3. Materialisme: Penilaian pendidikan dilakukan berdasarkan pada nilai dan reputasi, bukan pada kualitas pembelajaran dan pembentukan karakter. Materialisme dalam konteks pendidikan merujuk pada kecenderungan untuk menilai atau mengukur pendidikan berdasarkan pada nilai atau reputasi yang dapat diukur secara materiil atau prestise yang diperoleh, bukan pada proses pembelajaran yang sebenarnya atau pengembangan karakter yang mendasar.Â
Dalam pendidikan yang terpengaruh oleh materialisme, aspek-aspek seperti nilai ujian, peringkat sekolah, atau seberapa terkenalnya sebuah institusi pendidikan menjadi fokus utama dalam menilai kualitas pendidikan. Hal ini sering kali berdampak pada pengorbanan aspek-aspek penting seperti pengembangan keterampilan, pemahaman mendalam, atau pembentukan karakter yang seharusnya menjadi inti dari proses pendidikan.
Penekanan pada nilai dan reputasi dalam pendidikan juga dapat menciptakan lingkungan yang sangat kompetitif di antara siswa dan lembaga pendidikan. Siswa mungkin merasa terdorong untuk mencapai nilai tinggi atau masuk ke sekolah bergengsi, bahkan jika itu berarti mengorbankan proses pembelajaran yang sehat atau pengembangan karakter yang penting.Â
Dampak dari pendidikan yang terpengaruh oleh materialisme bisa sangat merugikan, karena dapat mengaburkan nilai-nilai inti pendidikan yang seharusnya dijunjung tinggi. Pendidikan seharusnya lebih dari sekadar persiapan untuk karier atau mencapai prestise sosial; itu juga harus menjadi sarana untuk pembentukan individu yang berdaya, beretika, dan berkontribusi positif pada masyarakat.
Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi kembali prioritas dalam pendidikan dan memastikan bahwa kualitas pembelajaran dan pengembangan karakter tetap menjadi fokus utama. Pendidikan harus mendorong siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka, memahami dunia dengan lebih dalam, dan berkembang sebagai individu yang berempati, kreatif, dan berpikiran kritis. Ini memerlukan pendekatan yang lebih seimbang dan holistik dalam menilai kualitas pendidikan, yang melampaui sekadar aspek material atau prestise semata.
4. Penurunan mutu pendidikan: Pusat perhatian pada standar dan ujian mungkin menghambat kreativitas dan kemampuan berpikir kritis. Penurunan mutu pendidikan merujuk pada situasi di mana kualitas pembelajaran dan pencapaian siswa menurun dari standar yang diharapkan atau diinginkan.Â
Salah satu faktor yang dapat menyebabkan penurunan ini adalah ketika fokus pendidikan terlalu banyak pada standar yang harus dicapai dan ujian yang harus dilakukan, sehingga mengurangi ruang bagi kreativitas dan pemikiran kritis.