Pernyataan yang mengklaim bahwa memilih pasangan calon nomor urut 01 merupakan kewajiban agama dan dilarang hukumnya jika tidak memilih mereka, harus dievaluasi secara hati-hati. Pertama-tama, penting untuk menegaskan bahwa dalam Islam, tidak terdapat ayat yang secara eksplisit memerintahkan untuk memilih pemimpin tertentu.Â
Dalam agama Islam, prinsip-prinsip seperti keadilan, integritas, dan kualifikasi kepemimpinan lebih ditekankan daripada sekadar memilih pemimpin berdasarkan afiliasi politik atau preferensi pribadi. Meskipun Islam mendorong partisipasi dalam urusan politik dan sosial, tidak ada panduan yang spesifik dalam Al-Qur'an atau hadis yang mengatur secara langsung pemilihan pemimpin politik.
Oleh karena itu, klaim yang menyatakan bahwa memilih paslon tertentu adalah kewajiban agama dan melanggar hukum jika tidak memilih mereka, perlu diselidiki lebih lanjut dan dikaji secara kritis. Penggunaan narasi agama dalam politik haruslah dilakukan dengan hati-hati dan tidak boleh disalahgunakan untuk memengaruhi pilihan politik individu atau menciptakan polarisasi dalam masyarakat.Â
Penting untuk memahami bahwa dalam demokrasi, hak untuk memilih adalah hak asasi manusia yang harus dihormati dan dilindungi. Setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih berdasarkan keyakinan, nilai, dan penilaian pribadi mereka sendiri, tanpa adanya tekanan atau pemaksaan dari pihak manapun, termasuk dari lembaga keagamaan.
Ayat-ayat yang sering dijadikan referensi, seperti QS An-Nisa ayat 59 dan QS Al-Maidah ayat 51, lebih menekankan pada ketaatan kepada pemimpin yang adil dan beriman.Â
Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa umat Islam memiliki kebebasan untuk memilih pemimpin yang mereka pandang terbaik, berdasarkan kriteria yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.Â
Dalam ayat-ayat tersebut, Allah menyeru umat Islam untuk mentaati pemimpin yang adil dan beriman, yang menjalankan kewajiban-kewajiban mereka dengan baik dan mengikuti ajaran agama Islam. Ini menunjukkan bahwa kewajiban memilih pemimpin tidaklah eksklusif kepada satu individu atau kelompok tertentu, melainkan merupakan tanggung jawab bersama dari umat Islam untuk memilih pemimpin yang mampu mewakili dan menjalankan kepentingan masyarakat secara adil dan beriman.
Dengan demikian, prinsip-prinsip dalam Al-Qur'an menegaskan pentingnya memilih pemimpin yang berkualitas dan memenuhi standar keadilan serta keimanan, daripada sekadar memilih berdasarkan afiliasi politik atau alasan yang tidak berdasar. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, memilih pemimpin tidaklah semata-mata tentang kewajiban agama yang bersifat mutlak, tetapi juga tentang tanggung jawab moral untuk memilih pemimpin yang terbaik untuk masyarakat.
Kedua, narasi semacam itu berpotensi menyebabkan perpecahan di antara umat dan memicu politisasi agama. Kampanye yang mencampuradukkan agama dan politik dapat mengakibatkan polarisasi serta kebencian di antara kelompok-kelompok masyarakat. Penggunaan agama dalam konteks politik sering kali mengarah pada pembentukan kubu-kubu atau aliansi berdasarkan identitas agama, yang dapat memperkuat pertentangan dan konflik di dalam masyarakat. Hal ini bisa merusak kerukunan sosial dan memengaruhi stabilitas politik serta kehidupan beragama di suatu negara.
Selain itu, politisasi agama juga dapat memperlemah otoritas keagamaan yang seharusnya mengedepankan nilai-nilai universal persatuan, perdamaian, dan toleransi. Ketika agama digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik, hal itu dapat merusak integritas spiritualitas dan moralitas agama itu sendiri.Â
Polarisasi dan konflik yang diakibatkan oleh politisasi agama memiliki dampak negatif yang jauh lebih luas, termasuk menurunkan kepercayaan publik terhadap proses politik, membatasi ruang bagi dialog yang konstruktif, serta menghalangi upaya bersama untuk mencapai kemajuan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.Â