Mohon tunggu...
Ahmad Yani
Ahmad Yani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Makan gak makan tetap harus memikirkan orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kawin Lari di Bima Bukanlah Adat tapi Kebiasaan

7 Januari 2013   04:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:25 1527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kawin atau nikah dalam Agama Islam merupakan fitrah manusia agar dapat memelihara jenis kelangsungan manusia, keturunan, dan menjaga ketentraman jiwa bagi manusia. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebelum melakukan perkawinan, terlebih dahulu sepasang laki-laki dan perempuan harus melalui tahap-tahap yang sudah ditentukan antara lain : peminangan (Khithbah), tunangan, mendapat restu orang tua si perempuannya dan lain-lain.

Yang menarik di Bima NTB ada fenomena Budaya dan Agama yang orang Bima menyebut “Londo Iha” atau dalam bahasa Indonesianya Kawin Lari. Kawin lari ini merupakan suatu alternatif yang ditempuh sepasang muda-mudi jika dalam hubungan mereka tidak direstui oleh orang tua si gadis. Kawin lari yang terjadi di Bima NTB adalah merupakan suatu kebiasaan yang sudah lama terjadi dan turun temurun, tetapi bukan merupakan suatu adat. Seperti halnya di masyarakat adat Suku Sasak di Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), bahwa kawin lari itu merupakan adat, sehingga bagi masyarakat yang akan melaksanakan perkawinan harus didahului oleh kawin lari, sehingga kawin larinya tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi tetapi orang lain ikut mengetahui kepergiannya.Lain halnya dengan Kawin Lari di Bima, dalam melarikan si gadis itu, si laki-laki menitipkan si gadis ke tempat yang telah ditentukan oleh laki-laki tersebut. Yaitu semisal ke tempat ketua RT atau sesepuh Desa yang dinilai memiliki pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat.

Si gadis itu ditempatkan selama 1 X 24 jam dan keesokan harinya  ketua RT tersebut melaporkan ke orang tua si gadis bahwa anaknya sudah di bawah lari oleh laki-laki dan dititipkan di rumahnya. Selanjutnya si gadisnya merasa malu jika dalam kawin lari tersebut tidak direstui oleh orang tuanya karena penilaian masyarakat sudah negatif. Maka mau tidak mau perkawinan tersebut harus dilaksanakan demi menjaga nama baik si gadis dan menjaga kehormatan dan martabat orang tua dan keluarganya. Padahal tata cara kawin lari(londo iha) dengan apapun jenis dan bentuknya, menurut saya sebenarnya tidak dibenarkan. Karena dengan cara ini berdampak kepada terputusnya komunikasi antara anak dengan orang tua antara keluarga wanita dengan keluarga laki-laki dan termasuk celaan dari masyarakat itu sendiri.

Menurut saya lagi, kasus kawin lari adalah suatu perbuatan yang tidak menyenangkan dan tidak terpuji serta tidak bermartabat, karena perbuatan tersebut akan mempengaruhi status sosial orang tua dan keluarga. Dalam artian anak tidak menghormati dan mentaati perintah orang tuanya, karena dalam Islam menerapkan Birrul Walidain berbuat baik kepada kedua orang tua. Selain itu juga pandangan Islam bahwa perbuatan kawin lari tersebut bertentangan dengan agama, karena tidak dibenarkan bagi kaum muslim untuk berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, sehingga haram hukumya. Kawin lari juga tidak mengindahkan asas musyawarah dan mufakat, terjadinya pemaksaan kehendak dan terbukanya aib keluarga maupun masyarakat, karena konotasi dari kawin lari akan berpeluang terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat.

Nah, hal itu perlu adanya penelitian agama dan sosial. Yang menarik kenapa kawin lari di Bima harus dijadikan sebuah sasaran penelitian Agama dan Sosial, karena kawin lari tersebut telah melunturkan nilai-nilai Islam di Bima, yang mana masyarakat Bima adalah penduduknya mayoritas Islam.  Bisa diteliti juga pandangan Islam terhadap kawin lari dari hukum syari’inya, selain faktor ketidaksukaan orang tua, mungkin ada faktor lain yang memicu terjadinya kawin lari sehingga perlu diketahui lebih sebab-sebabnya apa. Bagaimana penerapan hukum adat di Bima dengan hukum Islam itu sendiri. Dan kawin lari di Bima bukan merupakan suatu adat(keharusan) melainkan kebiasaan saja, sehingga menarik untuk diteliti kenapa fenomena tersebut masih dilakukan oleh masyarakat Bima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun