Jejak Tinju Sang Kyai: Pergulatan KH. Khairuddin Tahmid Dalam MUI Dan Lakpesdam NU.
sosok KH. Khairuddin Tahmid muncul sebagai figur ulama yang menjembatani berbagai dimensi kepemimpinan religius dan nasionalisme. Sebagai Ketua MUI Provinsi Lampung dan mantan Ketua PWNU Lampung, jejak langkahnya mencerminkan pergulatan seorang ulama dalam menghadapi kompleksitas tantangan zaman.
Di tengah dinamika keislaman dan kebangsaan Indonesia kontemporer,
Tiga Pilar Kepemimpinan, Â Moderasi Sebagai Landasan, Sinergi Militer dan Sipil.
Dalam sebuah momentum penting pada Rapat Kerja Daerah ke-3 dan Akademi Dai Wasathiyah ke-2 MUI Provinsi Lampung, KH. Khairuddin Tahmid menggarisbawahi tiga peran fundamental ulama yang ia istilahkan sebagai "al-himayah wal himayah tsummal himayah". Konsep ini membentang dalam tiga dimensi utama: himayatul ummah (peran keumatan), himayatuddin (peran keagamaan), dan himayatud daulah (peran kebangsaan).
Visi kepemimpinan KH. Khairuddin Tahmid terbangun di atas fondasi moderasi (wasathiyah) yang kokoh. Melalui Akademi Dai Wasathiyah, beliau aktif mengembangkan kader-kader ulama moderat yang memiliki pemahaman mendalam tentang Islam sekaligus wawasan kebangsaan yang kuat. Program ini menjangkau 15 kabupaten/kota di Provinsi Lampung, mencerminkan komitmennya dalam membangun jaringan dakwah yang inklusif dan berwawasan nusantara.
Salah satu terobosan strategis yang dilakukan adalah menyelenggarakan pelatihan dai di Markas Komando Brigif 4 Marinir, Pesawaran. Langkah ini bukan sekadar pilihan lokasi, melainkan manifestasi dari visinya tentang sinergi antara kekuatan militer dan sipil dalam menjaga keutuhan NKRI. Seperti yang ia tegaskan, "Jangan dikira yang sarungan ini (ulama) tidak ikut serta menjaga NKRI."
Modernisasi Dakwah dan Pengembangan Ekonomi, Tantangan Radikalisme dan Terorisme Dan  Warisan dan Masa Depan.
Di bawah kepemimpinannya, MUI Lampung tidak hanya fokus pada aspek keagamaan tradisional, tetapi juga merambah ke pengembangan ekonomi umat melalui program Wisata Halal. Workshop Wisata Halal yang diselenggarakan dengan tema "Meneguhkan Islam Wasathiyah dan Wisata Halal dalam Mewujudkan Lampung Berjaya dan Bermartabat" menunjukkan visinya dalam mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan pembangunan ekonomi daerah.
Kesadaran akan ancaman radikalisme dan terorisme tercermin dalam kurikulum Akademi Dai Wasathiyah yang komprehensif. Materi-materi seperti "Moderasi Islam Indonesia bagi Ketentraman Dunia dan NKRI" dan "Penangkalan Paham Radikal melalui Doktrin Tri Dharma Eka Karma" menunjukkan pendekatan holistik dalam menghadapi tantangan ideologis kontemporer.
Kepemimpinan KH. Khairuddin Tahmid di MUI Lampung meninggalkan warisan penting dalam bentuk institusionalisasi moderasi Islam dan penguatan peran ulama dalam pembangunan daerah. Melalui berbagai program dan inisiatif, beliau telah meletakkan fondasi bagi generasi ulama masa depan yang mampu menyeimbangkan tuntutan modernitas dengan nilai-nilai keislaman tradisional.
Perjalanan KH. Khairuddin Tahmid sebagai pemimpin MUI Lampung menggambarkan kompleksitas peran ulama di era kontemporer. Melalui pendekatan yang moderat dan inklusif, beliau telah menunjukkan bahwa kepemimpinan religius dapat menjadi kekuatan positif dalam pembangunan bangsa, sekaligus menjaga keutuhan nilai-nilai keislaman dan nasionalisme.
Lakpesdam NU: Auditori Data Pesantren Dan Pengembangan Kelembagaan Pendidikan Islam Di Tanah Air.
pesantren tidak hanya berfungsi sebagai institusi pendidikan keagamaan, tetapi juga berperan vital dalam pembangunan sosial-ekonomi masyarakat.
Dalam konteks sistem pendidikan nasional, pesantren menawarkan model pendidikan alternatif yang unik dengan penekanan pada pembentukan karakter dan pengembangan life skills. Sistem asrama yang menjadi ciri khas pesantren memungkinkan proses pembelajaran yang intensif dan pembentukan karakter yang komprehensif. Integrasi antara pendidikan formal dan non-formal dalam lingkungan pesantren menciptakan ekosistem pembelajaran yang holistik, dimana santri tidak hanya memperoleh pengetahuan akademis tetapi juga nilai-nilai moral dan keterampilan praktis.
Kapasitas akomodatif pesantren menjadi salah satu keunggulan dalam konteks pemerataan akses pendidikan. Dengan kemampuan menampung siswa dalam jumlah besar dan sistem pengelolaan mandiri, pesantren mampu menyediakan layanan pendidikan dengan biaya yang relatif terjangkau. Hal ini menjadikan pesantren sebagai solusi alternatif bagi masyarakat, khususnya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, untuk memperoleh pendidikan berkualitas.
Namun demikian, pesantren juga menghadapi berbagai tantangan dalam pengelolaannya. Keterbatasan sarana prasarana, kebutuhan peningkatan kualitas pengajar, dan standarisasi kurikulum menjadi isu-isu yang perlu mendapat perhatian serius. Pembiayaan operasional dan pemerataan akses pendidikan juga menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam upaya pengembangan pesantren.
Potensi pengembangan pesantren masih sangat besar, terutama dalam konteks modernisasi sistem pendidikan dan integrasi teknologi pembelajaran. Pengembangan keterampilan vokasional dan program pemberdayaan masyarakat menjadi area potensial yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan relevansi pesantren dengan kebutuhan zaman. Kerjasama dengan lembaga pendidikan formal juga membuka peluang untuk pengembangan program pendidikan yang lebih komprehensif.
Dari aspek sosial-ekonomi, pesantren memiliki peran strategis dalam pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Melalui berbagai program pemberdayaan ekonomi santri dan pengembangan wirausaha, pesantren berkontribusi pada pembangunan ekonomi daerah. Jaringan alumni pesantren yang tersebar di berbagai sektor juga menjadi modal sosial yang penting dalam pengembangan masyarakat.
Untuk pengembangan ke depan, diperlukan strategi yang komprehensif meliputi penguatan sistem manajemen, peningkatan kualitas SDM, dan pengembangan infrastruktur. Diversifikasi program pendidikan dan penguatan kerjasama dengan pemerintah juga menjadi prioritas dalam upaya pengembangan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas dan berkelanjutan.
Lakpesdam NU: Dan  Sepak Terjang Pesantren Dan Pemberdayaan -
Akar Historis dan Visi Pemberdayaan.
Lahirnya Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU tidak bisa dipisahkan dari semangat "Kembali ke Khittah 1926" yang dicanangkan pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984. Sebagai buah pemikiran KH. Abdurrahman Wahid dan Fahmi D. Syaifuddin, lembaga ini awalnya dimaksudkan sebagai instrumen untuk mencetak kader-kader NU yang mampu mengoptimalkan fungsi organisasi dalam pemberdayaan umat.
Transformasi Kelembagaan : Â Pesantren Sebagai Basis Gerakan, Dan Model Pemberdayaan Berbasis Pesantren.
Â
Perjalanan Lakpesdam mengalami dinamika yang menarik, dimulai dari statusnya sebagai Lajnah pada 6 April 1985 di bawah kepemimpinan Abdullah Syarwani. Meski mengalami masa vakum, revitalisasi yang dilakukan PBNU berhasil menghidupkan kembali lembaga ini hingga akhirnya mengalami transformasi menjadi lembaga penuh pada Muktamar Cipasung 1994, yang membuka jalan bagi ekspansinya ke berbagai wilayah dan cabang NU.
Dalam fase awal perkembangannya, pesantren memegang peran vital sebagai basis gerakan Lakpesdam. Program Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK) menjadi bukti nyata bagaimana lembaga ini berupaya memberdayakan para kiai muda untuk memiliki kepekaan sosial dan kemampuan merespons tantangan zaman. Para alumni PPWK kemudian menjadi motor penggerak pemberdayaan di tingkat lokal, menciptakan efek multiplikasi yang signifikan.
Strategi pemberdayaan Lakpesdam menunjukkan kebijaksanaan dalam memanfaatkan jaringan pesantren. Alih-alih berhubungan langsung dengan masyarakat, lembaga ini memposisikan diri sebagai fasilitator yang memberdayakan kiai dan pesantren sebagai agen perubahan. Model ini terbukti efektif dalam mengakar pada kultur masyarakat sekaligus menjaga legitimasi program di mata komunitas.
Ekspansi Program dan Jaringan, Â Era Baru Kepemimpinan - Suatu Tantangan Kontemporer.
Kesuksesan awal Lakpesdam terlihat dari munculnya Balai Latihan Pengembangan Masyarakat (BLPM-Lakpesdam) di Surabaya dan Ujung Pandang pada periode 1988-1990. Program-program rintisan seperti peternakan itik di Purbalingga dan penggemukan sapi di Gunung Kidul menunjukkan bagaimana lembaga ini mengintegrasikan pemberdayaan ekonomi dengan basis pesantren.
Meski telah bertransformasi menjadi lembaga modern dengan program yang beragam, Lakpesdam tetap dihadapkan pada tantangan mempertahankan relevansi pesantren sebagai basis gerakannya. Keseimbangan antara modernisasi program dan pelestarian nilai-nilai pesantren menjadi kunci dalam menjaga sustainability lembaga ini.
Perjalanan Lakpesdam NU dari sebuah lajnah menjadi lembaga pemberdayaan yang berpengaruh mencerminkan evolusi peran pesantren dalam pembangunan masyarakat Indonesia. Meskipun telah mengalami berbagai transformasi, fondasi pesantren tetap menjadi pilar penting yang menopang legitimasi dan efektivitas program-programnya. Ke depan, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa modernisasi program tetap sejalan dengan nilai-nilai dan kearifan pesantren yang telah mengakar dalam tradisi NU.
*Catatan:Â Artikel ini disusun berdasarkan dokumentasi sejarah Lakpesdam NU dan perkembangan terbarunya hingga tahun 2022.*
*Catatan: Artikel ini disusun berdasarkan sumber berita NU Online dan dokumentasi kegiatan MUI Provinsi Lampung. Beberapa detail biografis dan konteks historis mungkin memerlukan verifikasi lebih lanjut untuk kelengkapan dan akurasi.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H