Mohon tunggu...
Ahmad Wansa Al faiz
Ahmad Wansa Al faiz Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

Pengamat - Peneliti - Data Analis _ Sistem Data Management - Sistem Risk Management -The Goverment Interprestation Of Democrasy Publik Being.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

"Kesunyian Kita Meledak" : Membedah Dimensi Eksistensial Dalam Puisi Ahmad Yulden Erwin "Dari 9 Tembikar Asimetri Peter Voulkos".

9 Januari 2025   16:01 Diperbarui: 9 Januari 2025   15:11 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kesunyian Kita Meledak" :
Membedah Dimensi Eksistensial Dalam - Puisi - "Dari 9 Tembikar Asimetri Peter Voulkos" Karya Ahmad Yulden Erwin.

Mari kita simak puisi Ahmad Yulden Erwin berikut ini :

DARI 9 TEMBIKAR ASIMETRI PETER VOULKOS

0/
Kesunyian kita meledak
Dalam pertanyaan, sebelum
Kekosongan mengunci permainan

1/
Aku mesti pulang
Sekarang dan, benar, hal begini
Tak selalu tentang melankoli

2/
Dunia adalah
Soal bagaimana kau mengetuk
Pintu dan bergegas melupakannya

3/
Seorang lelaki
Belajar meletakkan kepalanya
Baik-baik dan, pasti, selalu baik-baik

4/
Ruang tak mengajarkan
Apa pun, kecuali bagaimana
Kau meletakkan mimpimu di luar pintu

5/
Kadang kita merasa
Tak siap menyimpan kenangan,
Kecuali saat kita menatap cermin

6/
Mereka harus mulai belajar
Membersihkan lumpur di kaki sendiri
Atau, sama sekali, melupakannya

7/
Waktu adalah
Soal bagaimana kau meletakkan
Tiga setelah empat

8/
Apa yang benar-benar
Berharga dalam hidup ini, kecuali
Saat kau terjaga dari mimpimu sendiri?

2016 -- 2019

Ahmad Yulden Erwin, melalui puisi "Dari 9 Tembikar Asimetri Peter Voulkos", menghadirkan eksplorasi mendalam tentang dimensi eksistensial manusia melalui metafora tembikar dan ruang. Puisi ini, yang terdiri dari sembilan bagian bernomor (0-8), mencerminkan perjalanan kontemplasi tentang keberadaan, waktu, dan memori yang dibangun dengan presisi dan kedalaman filosofis yang mengagumkan.

Pembukaan puisi dengan angka 0 menjadi titik penting yang menandai genesis dari sebuah permenungan. Baris "Kesunyian kita meledak Dalam pertanyaan, sebelum Kekosongan mengunci permainan" menghadirkan paradoks yang kuat antara kesunyian dan ledakan, menciptakan ketegangan dialektis yang menjadi fondasi bagi keseluruhan puisi. Ini mengingatkan kita pada teori Big Bang, di mana segala sesuatu bermula dari kekosongan yang kemudian meledak menjadi eksistensi.

Pergerakan dari bagian 0 ke bagian-bagian berikutnya menunjukkan perkembangan yang menarik dalam cara Yulden mengeksplorasi hubungan antara ruang, waktu, dan kesadaran manusia. Pada bagian 1, kalimat "Aku mesti pulang Sekarang dan, benar, hal begini Tak selalu tentang melankoli" menunjukkan upaya untuk melepaskan diri dari stereotip bahwa kepulangan selalu identik dengan kesedihan. Ini adalah pernyataan pembebasan dari narasi konvensional tentang kerinduan dan kehilangan.

Metafora pintu yang muncul di bagian 2 dan 4 menjadi simbol penting dalam puisi ini. "Dunia adalah Soal bagaimana kau mengetuk Pintu dan bergegas melupakannya" menggambarkan paradoks dari pengalaman hidup manusia - bagaimana kita seringkali terburu-buru meninggalkan momen-momen yang bahkan belum sepenuhnya kita alami. Ini diperkuat oleh bagian 4 yang berbicara tentang meletakkan mimpi di luar pintu, sebuah gambaran tentang bagaimana kita kadang perlu mendistansikan diri dari aspirasi kita sendiri.

Bagian 3 dan 5 menghadirkan refleksi tentang pembelajaran dan memori. "Seorang lelaki Belajar meletakkan kepalanya Baik-baik" menggambarkan proses pendewasaan dan penerimaan, sementara bagian tentang cermin dan kenangan menunjukkan bagaimana identitas kita terbentuk melalui refleksi dan memori. Yulden dengan cermat menggambarkan bagaimana manusia belajar untuk hidup dengan dirinya sendiri melalui proses introspeksi yang konstan.

Dimensi waktu mendapat perhatian khusus dalam bagian 7, "Waktu adalah Soal bagaimana kau meletakkan Tiga setelah empat." Ini bukan sekadar permainan angka, tetapi merupakan kritik halus terhadap cara kita memahami linearitas waktu. Yulden menggugat pemahaman konvensional kita tentang kronologi dan urutan, mengajak pembaca untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasar tentang temporalitas.

Bagian 6 tentang membersihkan lumpur menghadirkan metafora yang kuat tentang tanggung jawab personal dan penyucian diri. Ini adalah ajakan untuk introspeksi dan pemurnian yang dimulai dari diri sendiri, sebuah tema universal yang dihadirkan dengan cara yang sangat personal dan kontekstual.

Puisi ini mencapai klimaksnya pada bagian 8 dengan pertanyaan retoris tentang nilai kehidupan yang sejati. "Apa yang benar-benar Berharga dalam hidup ini, kecuali Saat kau terjaga dari mimpimu sendiri?" menjadi penutup yang powerful, mengajak pembaca untuk mempertanyakan kembali apa yang sungguh-sungguh bermakna dalam hidup.

Melalui puisi ini, Yulden berhasil menciptakan jalinan kompleks antara kesunyian, ruang, waktu, dan kesadaran manusia. Referensi pada Peter Voulkos, seniman keramik eksperimental Amerika, menambah lapisan makna pada puisi ini, mengaitkannya dengan tradisi seni visual yang mengeksplorasi asimetri dan ketidakteraturan sebagai bentuk keindahan. Puisi ini menjadi bukti kemampuan Yulden dalam mengolah tema-tema filosofis menjadi pengalaman puitis yang mendalam dan personal.

Landasan Teoretik Analisis Puisi "Dari 9 Tembikar Asimetri Peter Voulkos"
Pendekatan Multidisipliner dalam Kajian Puisi Ahmad Yulden Erwin.

Kumpulan Puisi Ahmad Yulden Erwin (Sumber Gambar. Inilampung.com).
Kumpulan Puisi Ahmad Yulden Erwin (Sumber Gambar. Inilampung.com).

"Kesunyian kita meledak
Dalam pertanyaan, sebelum
Kekosongan mengunci permainan" (Puisi Ahmad Yulden Erwin, DARI 9 TEMBIKAR ASIMETRI PETER VOULKOS).


1. Teori Fenomenologi dan Eksistensialisme

Analisis puisi "Dari 9 Tembikar Asimetri Peter Voulkos" dapat dipahami melalui kerangka fenomenologi Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Konsep "being-in-the-world" (Dasein) Heidegger sangat relevan dalam memahami bagaimana Yulden mengeksplorasi keberadaan manusia dalam ruang dan waktu. Terutama dalam baris "Kesunyian kita meledak Dalam pertanyaan", mencerminkan apa yang Heidegger sebut sebagai "throwness" - kondisi manusia yang terlempar ke dalam eksistensi.

2. Teori Dekonstruksi Derrida

Pendekatan Jacques Derrida tentang "diffrance" dan dekonstruksi dapat digunakan untuk memahami permainan makna dalam puisi ini. Penggunaan angka 0-8 dan struktur asimetris mencerminkan konsep "trace" Derrida, di mana makna selalu dalam kondisi penundaan dan pergeseran. Ini terlihat jelas dalam baris "Waktu adalah Soal bagaimana kau meletakkan Tiga setelah empat" yang mendekonstruksi pemahaman linear tentang waktu.

3. Teori Ruang dan Waktu Gaston Bachelard

"The Poetics of Space" karya Gaston Bachelard menjadi landasan penting dalam memahami metafora ruang dalam puisi ini. Konsep Bachelard tentang "topoanalisis" - studi tentang ruang personal dan intim - sangat relevan dalam menganalisis baris seperti "Ruang tak mengajarkan Apa pun, kecuali bagaimana Kau meletakkan mimpimu di luar pintu."

4. Teori Memori Kolektif Maurice Halbwachs

Konsep memori kolektif dari Maurice Halbwachs dapat digunakan untuk menganalisis aspek kenangan dalam puisi ini. Baris "Kadang kita merasa Tak siap menyimpan kenangan, Kecuali saat kita menatap cermin" mencerminkan bagaimana memori personal terkait dengan konteks sosial yang lebih luas.

5. Estetika Asimetri dalam Seni Rupa

Referensi pada Peter Voulkos membawa kita pada teori estetika asimetri dalam seni modern. Teori "wabi-sabi" Jepang tentang keindahan ketidaksempurnaan juga relevan di sini. Voulkos sendiri dikenal dengan pendekatan abstrak ekspresionismenya dalam keramik, yang menentang konvensi tradisional - paralel dengan cara Yulden memperlakukan struktur puisinya.

6. Teori Semiotika Roland Barthes

Pendekatan semiotika Barthes, terutama konsepnya tentang "mitologi" dan "studium/punctum", dapat digunakan untuk menganalisis lapisan-lapisan makna dalam puisi ini. Penggunaan simbol-simbol seperti pintu, cermin, dan lumpur dapat dibaca sebagai sistem tanda yang kompleks.

 7. Teori Postmodernisme Lyotard

Konsep Jean-Franois Lyotard tentang "petite rcit" (narasi kecil) vs "grand rcit" (narasi besar) berguna dalam memahami bagaimana Yulden menggunakan momen-momen personal untuk mengeksplorasi tema-tema universal.

8. Teori Waktu Henri Bergson

Konsep "dure" (durasi) dari Henri Bergson membantu memahami perlakuan non-linear terhadap waktu dalam puisi ini. Bergson membedakan antara waktu kronologis dan waktu yang dialami secara subjektif, yang tercermin dalam struktur puisi.

9. Psikoanalisis Lacan

Teori Jacques Lacan tentang "tahap cermin" dan hubungan antara yang Real, Imajiner, dan Simbolik dapat digunakan untuk menganalisis aspek-aspek identitas dan refleksi diri dalam puisi ini, terutama dalam penggunaan metafora cermin.

Implikasi Teoretis

Kerangka teoretis ini menunjukkan bagaimana puisi Yulden beroperasi pada berbagai tingkatan: fenomenologis, semiotik, psikologis, dan filosofis. Pendekatan multidisipliner ini memungkinkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang bagaimana puisi ini mengeksplorasi hubungan kompleks antara eksistensi, waktu, ruang, dan kesadaran manusia.

Puisi ini menjadi contoh bagaimana karya sastra kontemporer dapat menjembatani berbagai tradisi filosofis dan artistik, menciptakan ruang dialog antara pemikiran Timur dan Barat, antara tradisi dan modernitas, antara personal dan universal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun