Mohon tunggu...
Ahmad Wansa Al faiz
Ahmad Wansa Al faiz Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

Pengamat - Peneliti - Data Analis _ Sistem Data Management - Sistem Risk Management -The Goverment Interprestation Of Democrasy Publik Being.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Perebutan Gelar Di lapisan Elite : "Tanda-Tanda Apakah ?"

5 Januari 2025   11:19 Diperbarui: 5 Januari 2025   11:19 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Gelar Menjadi Pertaruhan: Refleksi atas Fenomena Perebutan Status Akademis di Indonesia.

"Kesetaraan Adalah Hak-Hak Politik Secara Konstitusional Yang Dijamin Negara Dalam Juga Meliputi : Hak Pendidikan Dan Hak Akademis Sebagai Tuntutan Dalam Menjalani Fungsi Aktif Negara".

 

Rokcy Komentari Gelar Doktoral Bahlil Lahadalia (Sumber Gambar. Youtube).
Rokcy Komentari Gelar Doktoral Bahlil Lahadalia (Sumber Gambar. Youtube).

Kesetaraan dan Hak Konstitusional: Refleksi atas Pemenuhan Hak Pendidikan dan Akademis dalam Kerangka Negara Hukum Indonesia.

Indonesia, sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan, telah mengamanatkan dalam UUD 1945 bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi akademisnya. Namun, dalam implementasinya, kita masih menyaksikan berbagai kesenjangan yang menantang perwujudan ideal ini.

Landasan Konstitusional.

Pasal 31 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Lebih jauh, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memperkuat komitmen negara dalam menjamin akses pendidikan yang merata dan berkualitas. Regulasi ini menjadi fondasi penting dalam pemenuhan hak pendidikan sebagai bagian dari hak politik warga negara.

Realitas dan Tantangan Implementasi.

Meskipun kerangka hukum telah tersedia, disparitas akses pendidikan masih menjadi persoalan serius. Data BPS (2023) menunjukkan kesenjangan yang signifikan dalam Angka Partisipasi Murni (APM) antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara kelompok ekonomi atas dan bawah.

Hak Pendidikan dan Kesetaraan Akademis: Refleksi atas Tanggung Jawab Konstitusional Negara.

Kontraversi Gelar Doktoral Bahlil Lahadalia (Sumber Gambar. Kompas.com).
Kontraversi Gelar Doktoral Bahlil Lahadalia (Sumber Gambar. Kompas.com).

Dalam perjalanan bangsa Indonesia sebagai negara hukum yang berdemokrasi, pemenuhan hak pendidikan dan kesetaraan akademis menjadi salah satu tonggak utama dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Konstitusi kita, melalui UUD 1945, telah dengan tegas menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas. Namun, dalam implementasinya, jalan menuju pemenuhan hak ini masih berliku dan penuh tantangan.

Saat ini, kita masih menyaksikan kesenjangan yang menganga dalam akses dan kualitas pendidikan di berbagai wilayah Indonesia. Di satu sisi, kota-kota besar menikmati fasilitas pendidikan modern dengan teknologi mutakhir, sementara di sisi lain, masih banyak daerah yang bahkan kesulitan mendapatkan guru tetap. Data Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa hingga tahun 2023, masih terdapat kesenjangan Angka Partisipasi Murni (APM) yang signifikan antara kawasan perkotaan dan pedesaan.

Tantangan ini semakin kompleks ketika kita berbicara tentang pendidikan tinggi. Meskipun jumlah perguruan tinggi terus bertambah, akses terhadap pendidikan tinggi berkualitas masih menjadi privilese bagi sebagian kecil masyarakat. Biaya pendidikan yang tinggi, ditambah dengan persaingan yang ketat, seringkali menjadi tembok penghalang bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Dalam konteks hak politik dan konstitusional, pendidikan tidak bisa dipandang sebelah mata. Pendidikan adalah instrumen fundamental dalam membentuk warga negara yang kritis dan mampu berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi. Ketika akses pendidikan tidak merata, yang terjadi adalah kesenjangan partisipasi politik dan ketimpangan dalam proses pengambilan keputusan publik.

Negara, sebagai pemegang mandat konstitusional, memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam mengatasi kesenjangan ini. Program-program afirmatif seperti Kartu Indonesia Pintar dan beasiswa Bidik Misi merupakan langkah positif, namun masih perlu diperkuat dan diperluas jangkauannya. Lebih dari itu, diperlukan reformasi sistemik dalam tata kelola pendidikan nasional.

Salah satu aspek krusial yang perlu dibenahi adalah distribusi sumber daya pendidikan. Penempatan guru berkualitas, pembangunan infrastruktur, dan pengadaan fasilitas pembelajaran harus dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip pemerataan. Daerah-daerah tertinggal seharusnya mendapat perhatian lebih besar untuk mengejar ketertinggalan mereka.

Di level pendidikan tinggi, otonomi akademik perlu diperkuat dengan tetap memperhatikan aspek pemerataan akses. Perguruan tinggi negeri, sebagai institusi yang didanai publik, harus mampu menjadi motor penggerak mobilitas sosial melalui pendidikan berkualitas yang terjangkau. Sistem kuota dan beasiswa perlu diperluas untuk memberi kesempatan lebih besar bagi kelompok marginal.

Tak kalah pentingnya adalah penguatan pendidikan vokasi sebagai alternatif pendidikan tinggi konvensional. Dalam era ekonomi digital, kebutuhan akan tenaga kerja terampil semakin meningkat. Pendidikan vokasi yang berkualitas dapat menjadi jembatan bagi generasi muda untuk memasuki dunia kerja dengan kompetensi yang relevan.

Pada akhirnya, pemenuhan hak pendidikan dan kesetaraan akademis bukan sekadar kewajiban konstitusional negara. Ini adalah investasi jangka panjang dalam membangun sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Ketika setiap warga negara memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas, maka cita-cita Indonesia sebagai negara yang adil dan makmur akan lebih mudah diwujudkan.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Bung Hatta, "Kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan seluruh bangsa, bukan kemerdekaan segelintir orang." Dalam konteks pendidikan, prinsip ini berarti bahwa kemajuan pendidikan harus bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi mereka. Hanya dengan demikian, pendidikan dapat benar-benar menjadi motor penggerak kemajuan bangsa dan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Memenuhi Tanggung Jawab Pendidikan.

Pemenuhan hak pendidikan dan akademis merupakan tanggung jawab konstitusional negara yang tidak bisa ditawar. Implementasinya membutuhkan komitmen politik yang kuat dan strategi komprehensif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Hanya dengan demikian, cita-cita kesetaraan dalam pendidikan dapat diwujudkan sebagai bagian dari penguatan demokrasi Indonesia.

Seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, "Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak." Dalam konteks modern, prinsip ini harus diperluas menjadi jaminan kesetaraan akses dan kualitas pendidikan bagi seluruh warga negara, sebagai perwujudan tanggung jawab konstitusional negara.

Supra-Struktur Pendidikan: Ketika Nalar Kritis Bertemu Akal Sehat dalam Ruang Akademis.

Suprastruktur & Infrastruktur (Sumber Gambar. Slideshare).
Suprastruktur & Infrastruktur (Sumber Gambar. Slideshare).

Dalam lanskap pendidikan kontemporer, pertemuan antara nalar kritis dan akal sehat menjadi titik tumpu penting dalam memahami supra struktur pendidikan. Dimensi ini tidak hanya berbicara tentang kerangka formal sistem pendidikan, tetapi juga menyentuh aspek yang lebih fundamental: bagaimana manusia berpikir dan bernalar dalam konteks pembelajaran.

Ketika Dr. Mochtar Buchori, seorang pemikir pendidikan Indonesia, menulis dalam "Pendidikan Antisipatoris" (2023), ia menyoroti bahwa krisis dalam pendidikan modern sebenarnya adalah krisis nalar. Di satu sisi, kita memiliki sistem pendidikan yang semakin canggih secara teknologis, namun di sisi lain, kemampuan bernalar kritis justru mengalami degradasi yang mengkhawatirkan.

Suprastruktur (Sumber Gambar. detik.news).
Suprastruktur (Sumber Gambar. detik.news).
Fenomena ini menciptakan paradoks dalam supra struktur pendidikan kita. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi berlomba-lomba mengejar ranking dan akreditasi, sementara kualitas pemikiran lulusannya tidak selalu mencerminkan tingkat pendidikan yang dicapai. Prof. Yudi Latif, dalam seminar pendidikan nasional (2024), menyebut ini sebagai "kemiskinan nalar di tengah kelimpahan informasi."

Di tengah era digital yang membanjiri kita dengan informasi, kemampuan menerapkan akal sehat dalam mengolah dan menganalisis informasi menjadi semakin crucial. Namun, sistem pendidikan kita seringkali terjebak dalam apa yang disebut Paulo Freire sebagai "banking model of education" - di mana peserta didik diperlakukan sebagai wadah kosong yang harus diisi pengetahuan, bukan sebagai subjek yang aktif mengembangkan nalar kritisnya.

Supra struktur pendidikan modern seharusnya mampu memfasilitasi pertemuan yang produktif antara nalar kritis dan akal sehat. Ini bukan sekadar tentang mengajarkan logika formal atau metode penelitian, tetapi lebih pada membangun kapasitas untuk memahami kompleksitas dunia dengan cara yang mendalam dan bermakna.

Dalam konteks ini, beberapa aspek penting perlu diperhatikan:

Pertama, perlunya rekonstruksi metodologi pembelajaran yang memberikan ruang lebih besar bagi pengembangan nalar kritis. Pembelajaran tidak boleh berhenti pada level pengetahuan faktual, tetapi harus mendorong peserta didik untuk mengembangkan kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi kritis.

Kedua, pentingnya membangun budaya akademik yang menghargai proses berpikir mendalam. Di era yang mengutamakan kecepatan dan efisiensi, kita perlu mempertahankan ruang-ruang untuk contemplative thinking dan diskusi mendalam. Seperti yang dikatakan filosof Martha Nussbaum, pendidikan harus mampu mengembangkan "kapasitas untuk berpikir kritis tentang diri sendiri dan tradisi yang kita warisi."

Ketiga, urgensi untuk mengintegrasikan kearifan lokal dengan pemikiran kritis modern. Akal sehat yang berakar pada pengalaman kolektif masyarakat dapat memperkaya perspektif kritis yang dikembangkan dalam pendidikan formal. Ini sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang berakar pada budaya sendiri namun terbuka pada pembaruan.

Dalam implementasinya, transformasi ini membutuhkan perubahan paradigma dalam berbagai level:

Di level kebijakan, perlu ada reorientasi dari pendekatan yang terlalu menekankan standardisasi dan pengukuran kuantitatif menuju pendekatan yang lebih menghargai proses pengembangan nalar kritis.

Di level institusi, perguruan tinggi perlu menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan pemikiran kritis melalui penelitian, diskusi, dan dialog lintas disiplin. Forum-forum akademik harus menjadi ruang yang aman untuk mengeksplorasi ide-ide baru dan menantang asumsi-asumsi yang ada.

Di level pedagogis, pendidik perlu mengembangkan metode pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk tidak hanya memahami "apa" tetapi juga "mengapa" dan "bagaimana." Metode Socratic questioning, problem-based learning, dan critical reflection perlu menjadi bagian integral dari proses pembelajaran.

Akhirnya, supra-struktur pendidikan yang mengintegrasikan nalar kritis dan akal sehat bukan sekadar kebutuhan akademis, tetapi juga kebutuhan sosial. Di tengah kompleksitas tantangan global dan lokal yang kita hadapi, kemampuan untuk berpikir kritis sambil tetap berpegang pada akal sehat menjadi kunci dalam mengembangkan solusi yang efektif dan berkelanjutan.

Seperti yang dikatakan filsuf pendidikan Maxine Greene, "Pendidikan harus membuka kemungkinan-kemungkinan baru." Dalam konteks ini, pertemuan antara nalar kritis dan akal sehat dalam supra struktur pendidikan menjadi fondasi penting untuk membuka kemungkinan-kemungkinan tersebut, menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga bijak dalam menghadapi kompleksitas kehidupan.


Perebutan Gelar Akademis Di Lapisan Elite : Rokcy Gerung "Ijazah Tanda Pernah Belajar, "Bukan Tanda Pernah Berpikir", Tanda-Tanda Fenomena Sosial Ekonomi Terhadap Kebutuhan Licency Sebagai Landasan Keterangan Kompehensifitas Bidang Akademis.

Merawat Kebutuhan Nalar Kritis Mahasiswa (Sumber Gambar. Kumparan).
Merawat Kebutuhan Nalar Kritis Mahasiswa (Sumber Gambar. Kumparan).

Di tengah hiruk pikuk perdebatan tentang kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, pernyataan Rocky Gerung yang viral di berbagai platform media sosial tentang "Ijazah sebagai tanda pernah belajar, bukan tanda pernah berpikir" menjadi cermin reflektif bagi masyarakat Indonesia. Pernyataan ini, yang dikutip oleh berbagai media nasional termasuk Kompas dan Tempo, membuka diskusi lebih luas tentang makna sesungguhnya dari sebuah gelar akademis.

Fenomena perebutan gelar akademis di kalangan elite Indonesia bukanlah hal baru. Media Indonesia pada tahun 2023 melaporkan bahwa terdapat peningkatan signifikan dalam jumlah pendaftar program pascasarjana, terutama di universitas-universitas ternama. Namun, di balik angka-angka yang mengesankan ini, tersembunyi sebuah paradoks yang mengkhawatirkan: apakah peningkatan kuantitas ini sejalan dengan peningkatan kualitas pemikiran? 

Dalam konteks sosial-ekonomi Indonesia, gelar akademis telah bertransformasi menjadi lebih dari sekadar pengakuan atas pencapaian akademik. Ia telah menjadi simbol status sosial, tiket masuk ke lingkaran elite, dan bahkan menjadi prasyarat wajib dalam perebutan posisi-posisi strategis. Fenomena ini menciptakan apa yang oleh sosiolog pendidikan sebut sebagai "kredensialisme" - sebuah kondisi di mana kredensial formal lebih dihargai dibandingkan kompetensi aktual. Di sisi lain, pemberitaan media nasional seperti Detik dan CNN Indonesia kerap melaporkan kasus-kasus pemalsuan ijazah di kalangan pejabat publik. Hal ini menjadi bukti nyata bagaimana gelar akademis telah menjadi komoditas yang diperebutkan, bahkan dengan cara-cara yang tidak etis. Fenomena ini semakin mempertegas kritik Rocky Gerung tentang disparitas antara kepemilikan ijazah dan kemampuan berpikir kritis.

Dalam konteks pasar kerja, survei Willis Towers Watson yang dirilis pada 2023 menunjukkan bahwa 78% perusahaan di Indonesia masih menjadikan gelar akademis sebagai kriteria utama dalam proses rekrutmen. Namun, ironisnya, survey yang sama juga mengungkapkan bahwa 65% pengusaha merasa ada kesenjangan antara kualifikasi formal kandidat dengan kompetensi riil yang dibutuhkan di lapangan. Problem kredensialisme ini semakin diperparah oleh munculnya apa yang disebut "gelar instan" - program-program yang menjanjikan gelar akademis dalam waktu singkat dengan proses yang dipersingkat. Meskipun Kementerian Pendidikan telah mengeluarkan berbagai regulasi untuk membatasi praktik ini, fenomena ini tetap marak, terutama di kalangan profesional dan pejabat yang mengejar legitimasi akademis. Solusi dari permasalahan ini tentunya tidak sesederhana menghapus sistem gelar akademis atau mengabaikan pentingnya pendidikan formal. Yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh dalam cara kita memandang dan menilai kompetensi. Beberapa universitas terkemuka di Indonesia mulai mengadopsi sistem penilaian berbasis kompetensi, di mana kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah menjadi fokus utama.

Lebih jauh lagi, diperlukan perubahan paradigma dalam masyarakat tentang makna kesuksesan dan prestasi. Media massa memiliki peran penting dalam mengubah narasi ini, dengan lebih banyak mengangkat kisah-kisah sukses yang tidak selalu berkorelasi dengan gelar akademis tinggi, namun lebih pada inovasi dan kontribusi nyata pada masyarakat. Akhirnya, kritik Rocky Gerung harus dipahami bukan sebagai penolakan terhadap pentingnya pendidikan formal, melainkan sebagai pengingat bahwa esensi pendidikan sejati terletak pada kemampuan mengolah pikiran dan menghasilkan gagasan yang bermakna. Dalam era di mana informasi dan pengetahuan begitu mudah diakses, yang membedakan seorang terpelajar sejati bukanlah ijazah di dinding, melainkan kemampuannya untuk berpikir kritis, menganalisis masalah, dan memberikan solusi inovatif bagi permasalahan di sekitarnya.

Senjakala Pendidikan dalam Senjakala Nalar Kritis: Sebuah Refleksi atas Degradasi Kualitas Berpikir di Era Digital.

Senjakala Berhala & Anti-Krist (Sumber Gambar. Balai Buku Progresif).
Senjakala Berhala & Anti-Krist (Sumber Gambar. Balai Buku Progresif).

Di tengah gemerlap kemajuan teknologi dan ledakan informasi digital, kita menyaksikan fenomena yang paradoksal: semakin memudarnya kemampuan nalar kritis dalam sistem pendidikan kita. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai "senjakala nalar", menjadi cermin buram bagi masa depan pendidikan Indonesia.


Degradasi Nalar dalam Pusaran Teknologi.

Era digital telah menghadirkan akses informasi yang tak terbatas, namun justru menciptakan generasi yang cenderung berpikir dangkal dan instan. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Pendidikan Nasional pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 67% mahasiswa Indonesia lebih memilih mencari jawaban cepat melalui mesin pencari dibandingkan melakukan analisis mendalam terhadap suatu permasalahan.

Fenomena "copy-paste" dan ketergantungan pada artificial intelligence seperti ChatGPT semakin memperparah situasi ini. Para pendidik melaporkan peningkatan signifikan dalam kasus plagiarisme dan penurunan kemampuan menulis original di kalangan mahasiswa. Ironisnya, kemudahan akses informasi justru berbanding terbalik dengan kedalaman pemahaman dan kemampuan analisis.

Krisis Metodologi Pembelajaran.

Sistem pendidikan kita masih terjebak dalam paradigma pembelajaran yang menekankan hafalan dan pengulangan informasi, bukan pada pengembangan kemampuan analitis dan sintesis. Model pembelajaran yang bersifat monolog dan hierarkis membuat peserta didik kehilangan ruang untuk mengembangkan pemikiran kritis dan kreativitas.

Dr. Bambang Wisudo, seorang pengamat pendidikan, dalam artikelnya di Jurnal Pendidikan Indonesia (2024) menyatakan: "Kita telah menciptakan generasi yang pandai menjawab ujian tetapi gagap ketika berhadapan dengan kompleksitas permasalahan nyata. Ini adalah kegagalan sistemik dalam metodologi pendidikan kita."


Krisis Epistemologis.

Lebih dalam lagi, kita menghadapi krisis epistemologis - cara memandang dan memproses pengetahuan. Budaya "instant gratification" telah menggerus kesabaran dalam proses pencarian kebenaran. Mahasiswa lebih tertarik pada "apa" daripada "mengapa" dan "bagaimana", mencerminkan pendangkalan proses berpikir.


Dampak Sosial dan Kultural.


Degradasi nalar kritis memiliki implikasi luas dalam konteks sosial. Masyarakat menjadi lebih rentan terhadap hoaks dan manipulasi informasi. Survei Kementerian Komunikasi dan Informatika (2023) menunjukkan korelasi kuat antara rendahnya kemampuan berpikir kritis dengan tingginya tingkat penerimaan informasi palsu.

Dalam ranah akademis, kita menyaksikan fenomena yang disebut Prof. Yudi Latif sebagai "pembusukan intelektual" - di mana gelar akademis tidak lagi mencerminkan kapasitas intelektual pemegangnya. Kasus-kasus plagiarisme dan jual-beli gelar akademis menjadi manifestasi nyata dari krisis ini.


Mencari Jalan Keluar.

Untuk mengatasi senjakala nalar ini, diperlukan reformasi mendasar dalam sistem pendidikan:

1. Revitalisasi Metodologi Pembelajaran
Perlu dikembangkan model pembelajaran yang menekankan pada pengembangan kemampuan analitis, sintesis, dan evaluasi. Metode Socratic questioning dan problem-based learning harus menjadi arus utama dalam proses pembelajaran.

2. Penguatan Literasi Digital Kritis
Di era digital, kemampuan memilah dan menganalisis informasi menjadi keterampilan vital. Program literasi digital harus diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan di semua level.

3. Pembangunan Kultur Akademik
Menciptakan lingkungan yang mendorong diskusi, debat, dan eksplorasi intelektual. Budaya akademik yang sehat akan mendorong tumbuhnya pemikiran kritis.

4. Evaluasi Berbasis Kompetensi
Sistem evaluasi harus bergeser dari pengukuran kemampuan menghafal menuju penilaian kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah.
Senjakala nalar kritis yang kita hadapi bukanlah takdir yang tidak bisa diubah. Ini adalah tantangan yang membutuhkan respons sistemik dan kulturak. Membangun kembali tradisi berpikir kritis adalah investasi jangka panjang yang vital bagi masa depan pendidikan dan peradaban kita. Seperti yang dikatakan filsuf pendidikan Paulo Freire, "Pendidikan sejati tidak hanya mengisi wadah kosong dengan pengetahuan, tetapi menyalakan api keingintahuan." Dalam konteks ini, menyelamatkan nalar kritis berarti menyelamatkan esensi pendidikan itu sendiri.

Akal Sehat yang Terpasung: Ketika Manuver Politik Menggerus Rasionalitas Publik.

Indonesia Darurat Akal Sehat (Sumber Gambar. Nu Online).
Indonesia Darurat Akal Sehat (Sumber Gambar. Nu Online).

Dalam lanskap politik kontemporer Indonesia, kita menyaksikan fenomena yang memprihatinkan: bagaimana akal sehat kolektif seringkali terkalahkan oleh kepentingan politik pragmatis. Dinamika ini telah menciptakan situasi di mana rasionalitas publik seolah tertutup awan mendung yang tebal - digelapkan oleh manuver politik dan perebutan jabatan.


Erosi Rasionalitas dalam Arena Politik.

Di tengah hiruk pikuk politik elektoral, kita menyaksikan bagaimana pertimbangan rasional sering dikesampingkan demi kepentingan politik jangka pendek. Media mainstream seperti Kompas dan Tempo kerap melaporkan bagaimana kebijakan-kebijakan publik lebih didasarkan pada kalkulasi elektoral dibanding analisis mendalam tentang manfaat bagi masyarakat.

Para pengamat politik seperti Burhanuddin Muhtadi mencatat bahwa fenomena ini semakin menguat menjelang periode pemilihan umum. Politisi dan pembuat kebijakan cenderung mengambil keputusan populis yang tidak selalu sejalan dengan pertimbangan rasional jangka panjang.

Distorsi Informasi dan Manipulasi Narasi.

Politik identitas dan polarisasi sosial telah menciptakan ruang di mana fakta objektif sering kali dimanipulasi demi kepentingan politik. Survei LSI Denny JA (2023) menunjukkan bahwa 65% masyarakat Indonesia kesulitan membedakan antara fakta dan propaganda politik. Situasi ini diperparah oleh maraknya hoaks dan disinformasi di media sosial.

Dalam artikel yang dimuat di Jurnal Politik Indonesia (2024), Prof. Firmanzah menuliskan: "Kita sedang menghadapi krisis epistemologis dalam ruang publik, di mana kebenaran dan fakta menjadi komoditas yang bisa dimanipulasi sesuai kepentingan politik."


Degradasi Kualitas Diskursus Publik.

Dampak paling nyata dari fenomena ini adalah menurunnya kualitas diskursus publik. Debat-debat penting tentang kebijakan publik seringkali tereduksi menjadi pertarungan retorika kosong dan serangan personal. Forum-forum publik yang seharusnya menjadi arena pertukaran gagasan bermutu malah berubah menjadi panggung teatrikal politik.

Implikasi Terhadap Tata Kelola Pemerintahan.

Ketika akal sehat terpasung oleh kepentingan politik, kualitas tata kelola pemerintahan menjadi taruhan. Beberapa dampak nyata terlihat dalam:

1. Pengambilan Kebijakan
Kebijakan publik sering diambil berdasarkan popularitas jangka pendek, bukan analisis dampak jangka panjang.
2. Penempatan Pejabat
Praktik penempatan pejabat lebih didasarkan pada loyalitas politik dibanding kompetensi dan track record.
3. Alokasi Anggaran
Distribusi anggaran negara tidak selalu mencerminkan prioritas pembangunan yang rasional.

Tantangan Memulihkan Akal Sehat.

Untuk mengembalikan peran akal sehat dalam ruang publik, beberapa langkah strategis perlu diambil:

1. Penguatan Literasi Politik
Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk menganalisis isu-isu politik secara kritis dan rasional.
2. Reformasi Sistem Politik
Diperlukan reformasi sistem yang mendorong kompetisi berbasis gagasan dan program, bukan sekadar popularitas dan kekuatan modal.
3. Revitalisasi Media
Media massa perlu kembali ke fungsi fundamentalnya sebagai penyedia informasi berkualitas dan ruang diskusi publik yang sehat.
4. Penguatan Masyarakat Sipil
Organisasi masyarakat sipil harus diperkuat sebagai penyeimbang dan pengawas kekuasaan politik.


Penutup.

Pemulihan akal sehat dalam ruang publik bukanlah tugas mudah, namun ini adalah prasyarat bagi terciptanya demokrasi yang sehat dan bermartabat. Seperti yang dikatakan cendekiawan Nurcholish Madjid, "Politik yang sehat adalah politik yang didasarkan pada akal sehat dan moralitas publik."

Tantangan kita bukan hanya menyingkirkan awan mendung yang menutupi akal sehat, tetapi juga membangun sistem dan kultur politik yang menghargai rasionalitas dan kepentingan publik di atas kepentingan politik sempit. Hanya dengan demikian, kita bisa berharap terciptanya tata kelola pemerintahan yang benar-benar mengabdi pada kesejahteraan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun