Mohon tunggu...
Ahmad Wansa Al faiz
Ahmad Wansa Al faiz Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

Pengamat - Peneliti - Data Analis _ Sistem Data Management - Sistem Risk Management -The Goverment Interprestation Of Democrasy Publik Being.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Perebutan Gelar Di lapisan Elite : "Tanda-Tanda Apakah ?"

5 Januari 2025   11:19 Diperbarui: 5 Januari 2025   11:19 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merawat Kebutuhan Nalar Kritis Mahasiswa (Sumber Gambar. Kumparan).

Era digital telah menghadirkan akses informasi yang tak terbatas, namun justru menciptakan generasi yang cenderung berpikir dangkal dan instan. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Pendidikan Nasional pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 67% mahasiswa Indonesia lebih memilih mencari jawaban cepat melalui mesin pencari dibandingkan melakukan analisis mendalam terhadap suatu permasalahan.

Fenomena "copy-paste" dan ketergantungan pada artificial intelligence seperti ChatGPT semakin memperparah situasi ini. Para pendidik melaporkan peningkatan signifikan dalam kasus plagiarisme dan penurunan kemampuan menulis original di kalangan mahasiswa. Ironisnya, kemudahan akses informasi justru berbanding terbalik dengan kedalaman pemahaman dan kemampuan analisis.

Krisis Metodologi Pembelajaran.

Sistem pendidikan kita masih terjebak dalam paradigma pembelajaran yang menekankan hafalan dan pengulangan informasi, bukan pada pengembangan kemampuan analitis dan sintesis. Model pembelajaran yang bersifat monolog dan hierarkis membuat peserta didik kehilangan ruang untuk mengembangkan pemikiran kritis dan kreativitas.

Dr. Bambang Wisudo, seorang pengamat pendidikan, dalam artikelnya di Jurnal Pendidikan Indonesia (2024) menyatakan: "Kita telah menciptakan generasi yang pandai menjawab ujian tetapi gagap ketika berhadapan dengan kompleksitas permasalahan nyata. Ini adalah kegagalan sistemik dalam metodologi pendidikan kita."


Krisis Epistemologis.

Lebih dalam lagi, kita menghadapi krisis epistemologis - cara memandang dan memproses pengetahuan. Budaya "instant gratification" telah menggerus kesabaran dalam proses pencarian kebenaran. Mahasiswa lebih tertarik pada "apa" daripada "mengapa" dan "bagaimana", mencerminkan pendangkalan proses berpikir.


Dampak Sosial dan Kultural.


Degradasi nalar kritis memiliki implikasi luas dalam konteks sosial. Masyarakat menjadi lebih rentan terhadap hoaks dan manipulasi informasi. Survei Kementerian Komunikasi dan Informatika (2023) menunjukkan korelasi kuat antara rendahnya kemampuan berpikir kritis dengan tingginya tingkat penerimaan informasi palsu.

Dalam ranah akademis, kita menyaksikan fenomena yang disebut Prof. Yudi Latif sebagai "pembusukan intelektual" - di mana gelar akademis tidak lagi mencerminkan kapasitas intelektual pemegangnya. Kasus-kasus plagiarisme dan jual-beli gelar akademis menjadi manifestasi nyata dari krisis ini.


Mencari Jalan Keluar.

Untuk mengatasi senjakala nalar ini, diperlukan reformasi mendasar dalam sistem pendidikan:

1. Revitalisasi Metodologi Pembelajaran
Perlu dikembangkan model pembelajaran yang menekankan pada pengembangan kemampuan analitis, sintesis, dan evaluasi. Metode Socratic questioning dan problem-based learning harus menjadi arus utama dalam proses pembelajaran.

2. Penguatan Literasi Digital Kritis
Di era digital, kemampuan memilah dan menganalisis informasi menjadi keterampilan vital. Program literasi digital harus diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan di semua level.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun