Dalam lanskap pendidikan kontemporer, pertemuan antara nalar kritis dan akal sehat menjadi titik tumpu penting dalam memahami supra struktur pendidikan. Dimensi ini tidak hanya berbicara tentang kerangka formal sistem pendidikan, tetapi juga menyentuh aspek yang lebih fundamental: bagaimana manusia berpikir dan bernalar dalam konteks pembelajaran.
Ketika Dr. Mochtar Buchori, seorang pemikir pendidikan Indonesia, menulis dalam "Pendidikan Antisipatoris" (2023), ia menyoroti bahwa krisis dalam pendidikan modern sebenarnya adalah krisis nalar. Di satu sisi, kita memiliki sistem pendidikan yang semakin canggih secara teknologis, namun di sisi lain, kemampuan bernalar kritis justru mengalami degradasi yang mengkhawatirkan.
Fenomena ini menciptakan paradoks dalam supra struktur pendidikan kita. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi berlomba-lomba mengejar ranking dan akreditasi, sementara kualitas pemikiran lulusannya tidak selalu mencerminkan tingkat pendidikan yang dicapai. Prof. Yudi Latif, dalam seminar pendidikan nasional (2024), menyebut ini sebagai "kemiskinan nalar di tengah kelimpahan informasi."
Di tengah era digital yang membanjiri kita dengan informasi, kemampuan menerapkan akal sehat dalam mengolah dan menganalisis informasi menjadi semakin crucial. Namun, sistem pendidikan kita seringkali terjebak dalam apa yang disebut Paulo Freire sebagai "banking model of education" - di mana peserta didik diperlakukan sebagai wadah kosong yang harus diisi pengetahuan, bukan sebagai subjek yang aktif mengembangkan nalar kritisnya.
Supra struktur pendidikan modern seharusnya mampu memfasilitasi pertemuan yang produktif antara nalar kritis dan akal sehat. Ini bukan sekadar tentang mengajarkan logika formal atau metode penelitian, tetapi lebih pada membangun kapasitas untuk memahami kompleksitas dunia dengan cara yang mendalam dan bermakna.
Dalam konteks ini, beberapa aspek penting perlu diperhatikan:
Pertama, perlunya rekonstruksi metodologi pembelajaran yang memberikan ruang lebih besar bagi pengembangan nalar kritis. Pembelajaran tidak boleh berhenti pada level pengetahuan faktual, tetapi harus mendorong peserta didik untuk mengembangkan kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi kritis.
Kedua, pentingnya membangun budaya akademik yang menghargai proses berpikir mendalam. Di era yang mengutamakan kecepatan dan efisiensi, kita perlu mempertahankan ruang-ruang untuk contemplative thinking dan diskusi mendalam. Seperti yang dikatakan filosof Martha Nussbaum, pendidikan harus mampu mengembangkan "kapasitas untuk berpikir kritis tentang diri sendiri dan tradisi yang kita warisi."
Ketiga, urgensi untuk mengintegrasikan kearifan lokal dengan pemikiran kritis modern. Akal sehat yang berakar pada pengalaman kolektif masyarakat dapat memperkaya perspektif kritis yang dikembangkan dalam pendidikan formal. Ini sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang berakar pada budaya sendiri namun terbuka pada pembaruan.
Dalam implementasinya, transformasi ini membutuhkan perubahan paradigma dalam berbagai level:
Di level kebijakan, perlu ada reorientasi dari pendekatan yang terlalu menekankan standardisasi dan pengukuran kuantitatif menuju pendekatan yang lebih menghargai proses pengembangan nalar kritis.
Di level institusi, perguruan tinggi perlu menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan pemikiran kritis melalui penelitian, diskusi, dan dialog lintas disiplin. Forum-forum akademik harus menjadi ruang yang aman untuk mengeksplorasi ide-ide baru dan menantang asumsi-asumsi yang ada.