Mohon tunggu...
Ahmad Wansa Al faiz
Ahmad Wansa Al faiz Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

Pengamat - Peneliti - Data Analis _ Sistem Data Management - Sistem Risk Management -The Goverment Interprestation Of Democrasy Publik Being.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Caping 6 : Analisis, 375 & 378. (Membaca Goenawan Mohammad).

31 Desember 2024   22:20 Diperbarui: 31 Desember 2024   22:20 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Catatan Pinggir 6 (Caping) (Sumber Gambar. Goodreads).

Caping 6 : Analisis, 375 & 378. (Membaca Goenawan Mohammad).

Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz

Sebelum, komentar dari saya, saya mengutip halaman "Catatan Pinggir". (Caping) dari buku "Caping 6" sebagai berikut :

Catatan Pinggir 6 (Caping) (Sumber Gambar. Goodreads).
Catatan Pinggir 6 (Caping) (Sumber Gambar. Goodreads).

ANALISIS 

Lin Che Wei menganalisis angka-angka,

I Made Pastika menelaah jejak. 

SEORANG analis membutuhkan sebuah ruang yang hening. Bukan saja hening, juga tak terjangkau. Ia memang bukan rahib. Tapi menganalisis adalah kesendirian yang mirip meditasi. Hanya dia yang tahu adakah di dalamnya berlangsung pembersihan diri dari nafsu menghantam, dari semangat untuk memaafkan, dari praduga dan prasangka. Hal-hal itu---sejumlah keributan tersendiri---dengan mudah akan mengarahkan proses analisis ke sebuah tujuan. Setiap analis yang baik tahu bahwa sebuah tujuan yang telah diletakkan bagaikan satu titik yang harus dituju akan mengarahkan proses analisis ke titik itu: berpikir secara teleologis adalah awal sebuah analisis yang selingkuh. Sebab itu, untuk bersih dan lurus, analisis harus bermula dari reduksi: aku meletakkan dalam kurung segala hal-ihwal yang akan menggangguku sebagai subyek yang sadar. Tapi kemiripan antara meditasi dan analisis berakhir di situ. Antara keduanya ada perbedaan yang radikal. Meditasi sepenuhnya mengosongkan diri untuk menerima, sedangkan analisis melangkah maju, ulet, setahap demi setahap. Meditasi membuka diri secara langsung untuk misteri, untuk meresapkan ihwal yang paling remang sekalipun. Sebaliknya analisis bersiaga. Ia menghadapi apa yang terlontar di hadapan manusia---kata lain dari "problem"---dan di hadapan itu, ia mengidentifikasi, menyoroti, mencincang-urai. Dalam arti tertentu, analisis mengubah dunia. Ia melahirkan ilmu modern: kimia yang mengurai anasir alam, kedokteran yang membongkar dan mengerti mekanisme tubuh, matematika yang melepaskan kuantitas dari kualitas. Alam kehilangan auranya yang magis ketika di abad ke-9 Yuhanna bin Masawayh memulai sebuah analisis: ia melihat badan manusia dengan dingin; dipelajarinya badan itu, ditemukannya anatominya---dengan membedah mayat monyet. Seabad kemudian, Al-Razi menulis sebuah uraian tentang cacar air dan campak. Takhayul pun mundur. Yang menakjubkan telah bisa di-"ketahui". Jika sejarah pemikiran ditulis dari Bagdad, "hilangnya pesona dunia" yang disebut Weber sebagai ciri modernitas mungkin bisa ditemukan di sana, dan semangat analitis pertama mungkin bisa disimpulkan dari Ibn Ahmad al-Bairuni (973-1048), ilmuwan besar yang menghendaki "metode logis" untuk memisahkan "fantasi" dari ilmu. Ia mengatakan: "Kita harus membersihkan pikiran kita... dari semua hal yang membutakan orang pada kebenaran---adat lama, semangat kelompok, gairah dan persaingan pribadi, niat berpengaruh." Dan jika sejarah pemikiran ditulis dari Eropa, hasil analisis pertama yang termasyhur barangkali dimulai ketika Descartes memisahkan res cogitans dari res extensa, yakin bahwa antara subyek yang berpikir dan dunia (termasuk tubuh sendiri) di luar subyek itu ada beda dan batas yang tegas. Yang terkadang tak disebutkan adalah bahwa dalam pemikiran analitis ilmu itu ada kehendak untuk mengatasi persoalan dasar manusia: bagaimana manusia bisa melihat hal-ihwal dari sebuah pandangan yang mutlak, seakan-akan dari langit yang mahaluas, seperti ketika Adam masih di surga. Dengan kata lain, bagaimana res extensa tak mempengaruhi res cogitans. Atau, dalam bahasa Al-Bairuni, bagaimana seseorang bisa sepenuhnya bebas dari "adat lama, semangat kelompok, gairah pribadi". Begitu banyak orang, begitu banyak analis, hadir dengan perspektif masing-masing, yang saling menyusup bagaikan sebuah labirin. Dengan dituntun benang apa gerangan manusia bisa keluar dari labirin itu? Descartes percaya akan metode matematis. Al-Bairuni metode "logis" seperti Socrates. Tapi mungkin kini orang terpaksa melihat ke arah yang lain. Inilah masa ketika kebenaran dilecut untuk menjadi sesuatu yang aktif, yang tak dengan sendirinya diterima oleh siapa saja dan kapan saja. Tak ada lagi kesimpulan yang tak ditawarkan, dirundingkan, dan kemudian diputuskan. Tak ada konklusi yang di luar proses politik, di luar kegigihan pengaruh dan mempengaruhi dan desak-mendesak---dengan kata lain, di luar suara gaduh mereka yang mengepalkan tinju dan berseru-seru. Sebab di luar sana orang ramai. Di luar sana ada bagian masyarakat yang prihatin atau berharap, yang terhimpun atau menghimpun diri di dalam sebuah kekuatan. Antara ruang hening sang analis dan keriuhan itu tak ada keterkaitan, tapi tak jarang selalu ada sebuah jalan yang tersembunyi. Apalagi kita tahu analisis adalah bagian dari ilmu dan pemikiran modern, dan seseorang pernah mengatakan bahwa ilmu itu adalah scientia activa et operative, ilmu yang agresif. Sudah di abad ke-17 Descartes (1596-1650) menghendaki filsafat yang praktis, yang akan "membuat kita jadi tuan dan pemilik alam". Dari dorongan itulah ilmu modern memang mengubah dunia, tapi benarkah ia mengubahnya sendirian? Tidak, Anda akan menjawab. Orang ramai itu penting. Hanya ada sebuah caveat, sepotong catatan: kita kini hidup dalam kehausan nilai. Lembaga publik gagal memutuskan mana yang jahat dan yang tak jahat, dan orang pun kembali bersandar pada acuan moral yang pribadi. Bukan "melanggar hukum" yang dipertaruhkan, melainkan "keji" dan "tak keji", "adil" dan "tak adil". Di situ politik pun menjadi passi, problem seakan-akan jadi soal to be or not to be.... Hati gemuruh, panas, dan analisis berhenti Apalagi tiap kali di sekitar sang analis hadir pelbagai anasir, juga hal-hal yang hendak dihindari Al-Bairuni: adat lama, semangat kelompok, gairah dan persaingan pribadi, niat berpengaruh. Res extensa berkecamuk. Politik pun mulai, advokasi berangkat. Dan sang analis? Bagi saya, ia tetap membutuhkan sebuah ruang yang hening, yang tak terjangkau. Ada selalu saat ketika kita tahu: politik dan orang ramai bukanlah segala-galanya. 

Tempo, 9 Maret 2003 

Buku Membaca Goenawan Mohamad (Sumber Gambar. Tempo.co).
Buku Membaca Goenawan Mohamad (Sumber Gambar. Tempo.co).

Komentar, Saya :

375 & 378.

Perihal pertama adalah :

Tulisan ini, ditempatkan sebagai bagian dari Catatan Pinggir 6 di halaman 375-378, memiliki signifikansi khusus dalam refleksi Goenawan Mohamad tentang peran analisis dalam ruang publik.

Dua karakter yang disebutkan di awal - Lin Che Wei dan I Made Pastika - digunakan sebagai pembuka untuk mengontraskan dua pendekatan: analisis numerik dan investigasi lapangan. Ini mencerminkan gaya khas Catatan Pinggir yang sering menggunakan figur aktual sebagai pintu masuk ke diskusi filosofis yang lebih luas.

Posisi tulisan ini dalam buku menarik karena membahas ketegangan antara objektivitas analitis dan keterlibatan publik - tema yang sering muncul dalam koleksi Catatan Pinggir. Goenawan menggambarkan analisis sebagai aktivitas yang membutuhkan jarak, mirip meditasi, namun berbeda karena sifatnya yang aktif dan metodis.

Yang menarik adalah bagaimana tulisan ini menempatkan tradisi analitis dalam konteks sejarah intelektual Islam (menyebut Yuhanna bin Masawayh, Al-Razi, Al-Bairuni) sebelum beralih ke tradisi Cartesian Eropa. Ini mencerminkan perspektif khas Goenawan yang sering menghubungkan wacana Timur dan Barat.

Bahwa, tentang kebutuhan akan "ruang yang hening" di tengah hiruk-pikuk politik kontemporer merefleksikan posisi Goenawan sendiri sebagai intelektual publik yang berusaha mempertahankan jarak kritis sambil tetap terlibat dalam diskursus publik.

Dalam esai yang ditempatkan pada halaman 375-378 Catatan Pinggir 6, dimensi numerologis menawarkan lapisan interpretasi yang menarik. Pembacaan ini mengungkap bagaimana angka-angka tertentu memiliki resonansi mendalam dalam konteks sosio-kultural Indonesia. Angka 3 menghadirkan pola trinitas yang muncul berulang dalam konsep-konsep fundamental seperti trilogi dan trisila. Angka 5 memanifestasikan diri dalam struktur dasar negara (Pancasila) dan rukun Islam, menunjukkan konvergensi antara identitas nasional dan religius. Angka 7 membawa beban historis khusus, terutama dalam konteks peristiwa G30S/PKI, sambil juga membawa dimensi personal melalui penandaan biografis seperti tanggal kelahiran.

Angka 8, yang diposisikan sebagai simbol infinitas dalam matematika, menambah dimensi filosofis pada pembacaan ini. Bentuknya yang menyerupai simbol tak hingga () mencerminkan tegangan antara keterbatasan analisis manusia dan kompleksitas realitas yang tak terbatas. Kehadiran pola-pola numeris ini dalam kesadaran kolektif dan individual membentuk semacam struktur bawah sadar yang mempengaruhi cara kita memahami dan menganalisis realitas sosial.

Konsep rasionalitas yang diajukan tidak lagi sekadar tentang komputasi atau kalkulasi logis, tetapi juga melibatkan dimensi simbolis yang tertanam dalam kesadaran kultural. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam upaya analitis yang paling objektif, kita tidak bisa sepenuhnya lepas dari kerangka simbolis yang telah terbentuk melalui pengalaman kolektif dan personal. Pendekatan ini memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas antara objektivitas analitis dan subjektivitas kultural yang menjadi tema sentral dalam esai Goenawan Mohamad.

Dan, ketika, kita masuk kepada pendekatan ini memberikan perspektif baru terhadap esai Goenawan Mohamad, menunjukkan bagaimana bahkan dalam upaya analisis yang paling "objektif", kita tidak bisa sepenuhnya lepas dari kerangka simbolis yang telah terbentuk dalam budaya dan pengalaman personal.

Yakni, hal yang pertama, ada beberapa subjek perbincangan yang meluas dalam konotasi sosiologis yang bersifat historis dan juga identitas peristiwa yang menyebutkan angka tersebut juga identik dalam menyoal kapasitas dalam logika tertentu, seperti, 3 : "trilogi", trinitas, trisila, dsb. dan pada angka 7, meliputi beberapa topik identik, 7 jendral dalam peristiwa monumental sejara g/30/s/pki, dsb. tanggal lahir saya 7 april 1984, dan lima, pada "pancasila" cover buku, ke-islaman dan keindonesian yang memuat foto, cak nur, dengan lima jari. lima prinsip keislaman, syahadat, mendirikan solat, puasa bulan ramadhan, zakat, dan hajji ke baitullah (jika mampu). ada semacam integritas dari kesadaran di bawah alam bawah sadar dalam menerima interprestasi dari angka tersebut, terkait fakta dan realitas serta konstelasi, terkait beberapa paradigma yang berlaku dari kapasitas kolektif maupun personal dalam merespons keberadaan struktur dan kombinasi dari angka yang dimaksud dan berpengaruh terhadap logika dan cara pandang sebagai suatu parameter dalam type analisis dan pengamatan. bagi saya, secara struktur simbolis yang identik dan melekat pada ruang realitas kehidupan dan peradaban manusia baik secara personal maupun kolektif dalam pengertian kelompok sosial dimana, mendudukan banyak konsep terhadap numerisasi tersebut dalam perdebatan yang resistens dalam ruang sosial atau dimensi publik dan segala korelasi dan serta komponen dari ruang publik yang dimaksud. sehingga, bagi saya apa yang disebut sebagai ratio, yang kerap didefiniskan sebagai rasionalitas, yang berarti akuntabiltas, computasi, termasuk kristografi di dalamnya, dalam hal ini adalah perkara keterhitungan suatu subjek nalar fungsi kognitif dan afeksi, dalam menghitung objek persoalan problematis yang tumbuh bersama ingatan individu sebagai dominasi keyakinan dan berpengaruh terhadap logika dan cara pandang. (baca, hipotesa).

Yang singkatnya, dalam kategori bahasa dalam klasifikasi observasi yang saya lakukan ialah :

Yakni, beberapa observasi kunci:

  1. Penggunaan angka 375-378 sebagai lokasi teks dalam buku menjadi titik awal untuk mengeksplorasi makna numerologis yang lebih luas.
  2. Anda mengidentifikasi pola angka yang signifikan dalam konteks Indonesia:
  • Angka 3: trinitas, trilogi, trisila
  • Angka 5: Pancasila, rukun Islam
  • Angka 7: peristiwa G30S/PKI, pengalaman personal (tanggal lahir)
  1. Argumen utama Anda adalah bahwa angka-angka ini membentuk semacam struktur bawah sadar yang mempengaruhi cara kita menganalisis dan memahami realitas sosial.
  2. Konsep rasionalitas ("ratio")  untuk, menyarankan bahwa kemampuan kognitif kita untuk menganalisis masalah sosial tidak bisa dipisahkan dari pengaruh simbolis angka-angka yang telah tertanam dalam kesadaran kolektif.

Dan, angka 8 memiliki konotasi dalam penilaian saya sebagai struktur yang menggambarkan infinitas yang juga secara simbolis dalam matematika dipakai dengan bentuk datar (baca, identik). Dimana, angka 8 memiliki makna simbolis yang kuat sebagai representasi infinitas/ketakhinggaan () dalam matematika. Dalam konteks esai GM tentang analisis, ini bisa dibaca sebagai paradoks: upaya analitis yang selalu berusaha membatasi dan mendefinisikan berhadapan dengan realitas yang tak terbatas. Simbol ini juga menarik dihubungkan dengan konsep ruang "hening yang tak terjangkau" yang dibicarakan GM - sebuah ruang analisis yang idealnya tak terbatas namun harus berhadapan dengan batasan-batasan dunia material.

Salam, "Membaca Goenawan Moehamad".

Bandar Lampung, 31 Desember 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun