Mohon tunggu...
Ahmad Wansa Al faiz
Ahmad Wansa Al faiz Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

Pengamat - Peneliti - Data Analis _ Sistem Data Management - Sistem Risk Management -The Goverment Interprestation Of Democrasy Publik Being.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Lelaka : Perspektif Kesetaraan Gender Dalam Konteks Hak Politik Dan Kemanusian.

31 Desember 2024   16:56 Diperbarui: 31 Desember 2024   16:56 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bias Gender (Nu Online).

Diskursus mengenai bias gender dalam konteks akses terhadap keadilan telah menjadi fokus perhatian dalam kajian hukum dan gender selama beberapa dekade terakhir. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan ketimpangan struktural dalam sistem peradilan, tetapi juga mengungkapkan kompleksitas interaksi antara norma sosial, struktur kelembagaan, dan praktik-praktik budaya yang membentuk lanskap keadilan gender. Menurut UN Women (2020), akses terhadap keadilan masih menjadi tantangan signifikan bagi perempuan di berbagai belahan dunia, dengan manifestasi yang beragam namun saling terkait.

Dalam konteks Indonesia, bias gender dalam akses keadilan memiliki dimensi yang kompleks dan berlapis. Komnas Perempuan, melalui Catatan Tahunan (CATAHU) 2023, mengidentifikasi berbagai hambatan sistemik yang dihadapi perempuan dalam mengakses keadilan. Hambatan-hambatan ini tidak hanya bersifat prosedural, seperti kompleksitas sistem hukum dan birokrasi, tetapi juga mencakup dimensi sosio-kultural yang lebih mendalam. Praktik-praktik diskriminatif yang mengakar dalam tradisi dan norma sosial seringkali menjadi penghalang bagi perempuan untuk mendapatkan keadilan yang setara.

Struktur kelembagaan dalam sistem peradilan Indonesia masih mencerminkan ketimpangan gender yang signifikan. Data dari Mahkamah Agung RI (2023) menunjukkan bahwa representasi perempuan dalam lembaga peradilan masih belum mencapai tingkat yang ideal. Keterbatasan ini bukan sekadar persoalan numerik, melainkan berimplikasi pada sensitivitas gender dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan perempuan. Sebagaimana diargumentasikan oleh Savitri (2021), kehadiran perspektif gender dalam sistem peradilan menjadi crucial dalam memastikan keadilan yang berkesetaraan.

World Bank (2022) menggarisbawahi bahwa hambatan dalam akses keadilan bagi perempuan seringkali bersifat multidimensional. Faktor ekonomi, seperti keterbatasan sumber daya untuk mengakses bantuan hukum, berinteraksi dengan faktor sosial seperti stigma dan tekanan komunitas. Situasi ini diperburuk oleh interpretasi hukum yang bias gender dan praktik-praktik tradisional yang diskriminatif. Irianto (2020) menegaskan bahwa reformasi hukum harus mempertimbangkan kompleksitas ini untuk dapat secara efektif mengatasi ketimpangan gender dalam akses keadilan.

Upaya untuk mengatasi bias gender dalam akses keadilan telah dilakukan melalui berbagai instrumen hukum dan kebijakan. Ratifikasi CEDAW melalui UU No. 7 Tahun 1984 memberikan kerangka hukum yang kuat untuk mempromosikan kesetaraan gender dalam sistem peradilan. Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum merupakan langkah konkret dalam mengintegrasikan perspektif gender ke dalam praktik peradilan. Namun, sebagaimana dicatat oleh CEDAW Committee (2021), implementasi instrumen-instrumen ini masih memerlukan penguatan kapasitas kelembagaan dan perubahan mindset di kalangan penegak hukum.

Program-program pemberdayaan hukum berbasis komunitas telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam meningkatkan akses perempuan terhadap keadilan. Inisiatif bantuan hukum pro bono dan pendampingan hukum berbasis komunitas memberikan alternatif bagi perempuan yang menghadapi hambatan dalam mengakses sistem peradilan formal. Namun, keberlanjutan dan skalabilitas program-program ini masih menjadi tantangan yang perlu diatasi melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas akademik.

Penguatan akses keadilan bagi perempuan memerlukan pendekatan yang holistik dan transformatif. Reformasi sistem peradilan harus dibarengi dengan transformasi sosial-budaya yang mendukung kesetaraan gender. Peningkatan literasi hukum, penguatan jaringan pendampingan, dan pengembangan mekanisme pengaduan yang ramah gender merupakan langkah-langkah konkret yang perlu diprioritaskan. Sebagaimana ditekankan dalam studi-studi terkini, keberhasilan upaya ini akan sangat bergantung pada komitmen politik, dukungan institusional, dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan dalam mewujudkan keadilan yang berkesetaraan gender.

b. Menyoal: Kesetaraan Bukan Kesamaan - Analisis Kritis Bias Gender.

Dalam diskursus gender kontemporer, penting untuk memahami perbedaan mendasar antara konsep kesetaraan (equality) dan kesamaan (sameness). Pemahaman yang keliru antara kedua konsep ini seringkali menimbulkan bias dalam interpretasi dan implementasi kebijakan gender. Kesetaraan gender tidak berarti menyamakan secara absolut antara laki-laki dan perempuan, melainkan memberikan ruang yang adil dengan mempertimbangkan kekhasan masing-masing gender.

Konsep kesetaraan mengakui adanya perbedaan biologis dan fisiologis antara laki-laki dan perempuan sebagai sebuah realitas alamiah. Perbedaan ini mencakup aspek fisik, hormonal, dan fungsi reproduksi yang tidak bisa dinafikan. Namun, perbedaan biologis ini tidak seharusnya menjadi dasar untuk diskriminasi atau pembatasan akses terhadap hak-hak fundamental dalam kehidupan bernegara. Kesetaraan justru menjembatani perbedaan ini dengan memberikan perlakuan yang adil sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing gender.

Dalam konteks hukum dan politik, kesetaraan menjamin akses yang sama terhadap keadilan dan partisipasi politik tanpa mengabaikan kekhususan gender. Misalnya, pemberian cuti melahirkan bagi perempuan bukan merupakan bentuk diskriminasi, melainkan pengakuan atas fungsi biologis khusus yang dimiliki perempuan. Begitu pula dengan kebijakan affirmative action dalam politik, yang memberikan kuota minimal keterwakilan perempuan, merupakan bentuk kesetaraan yang mempertimbangkan realitas sosial-budaya yang ada.

Adat istiadat dan perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai kultur juga perlu dipahami dalam kerangka kesetaraan, bukan kesamaan. Setiap budaya memiliki ekspektasi dan peran gender yang berbeda, namun kesetaraan menuntut bahwa perbedaan ini tidak boleh mengarah pada subordinasi atau marginalisasi salah satu gender. Kesetaraan mengakui keragaman budaya sambil tetap menjamin hak-hak fundamental yang universal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun