Mohon tunggu...
Ahmad Wansa Al faiz
Ahmad Wansa Al faiz Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

Pengamat - Peneliti - Data Analis _ Sistem Data Management - Sistem Risk Management -The Goverment Interprestation Of Democrasy Publik Being.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tafsir Sosiologis Geertz : Membaca Dinamika Pesantren Dalam Bingkai Kebudayaan.

25 Desember 2024   02:17 Diperbarui: 25 Desember 2024   02:17 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Clifford Geertz : Santri, Abangan, Priyayi. (Sumber Gambar. Kompasiana.com).

Tafsir Sosiologis Geertz: Membaca Dinamika Pesantren Dalam Bingkai Kebudayaan.

Clifford Geertz, melalui pendekatan interpretatif simboliknya, memberikan sumbangan besar dalam memahami kompleksitas hubungan antara agama, tradisi, dan struktur sosial masyarakat. Dalam karyanya "The Interpretation of Cultures" (1973), Geertz menegaskan bahwa kebudayaan merupakan jaringan makna yang dirajut manusia, dan analisis terhadapnya haruslah bersifat interpretatif dalam mencari makna, bukan sekadar mencari hukum-hukum universal.

Ketika menyoroti pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, perspektif Geertz menawarkan pembacaan yang kaya akan nuansa kultural. Pesantren, dalam pandangan Geertz, bukan sekadar lembaga pendidikan agama, melainkan sebuah sistem budaya yang kompleks di mana berbagai elemen - spiritual, intelektual, dan sosial - saling berinteraksi membentuk sebuah "web of significance" (jaringan makna) yang khas.

Dalam "The Religion of Java" (1960), Geertz menggambarkan bagaimana pesantren menjadi pusat pembentukan identitas santri yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya. Tradisi pesantren, dengan berbagai ritual dan praktik kesehariannya, membentuk apa yang disebut Geertz sebagai "thick description" - deskripsi mendalam tentang bagaimana sebuah komunitas memaknai dan menghidupi nilai-nilai religiusnya.

Martin van Bruinessen dalam "Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat" (1995) mengembangkan perspektif Geertz dengan menunjukkan bagaimana transmisi pengetahuan di pesantren tidak hanya menyangkut transfer ilmu agama, tetapi juga pembentukan worldview yang kompleks. Sistem pengajaran kitab kuning, misalnya, bukan sekadar metode pembelajaran, tetapi merupakan praktik kultural yang memperkuat otoritas tradisi dan membentuk hierarki pengetahuan.

Dimensi sosial pesantren, dalam kerangka analisis Geertz, tercermin dalam konsep "cultural broker" di mana kyai dan pesantren menjadi penghubung antara tradisi Islam universal dengan konteks lokal. Abdurrahman Wahid dalam "Menggerakkan Tradisi" (2001) mengembangkan gagasan ini dengan menunjukkan bagaimana pesantren berperan sebagai agen perubahan sosial sekaligus penjaga tradisi.

Pendekatan interpretatif Geertz juga membantu kita memahami bagaimana pesantren menghadapi modernitas. Ronald Lukens-Bull dalam "A Peaceful Jihad" (2005) menggunakan kerangka Geertz untuk menganalisis bagaimana pesantren melakukan negosiasi kultural antara tradisi dan modernitas, menciptakan apa yang ia sebut sebagai "modernitas hibrida".

Dimensi sosial pesantren dalam tafsir Geertz tidak bisa dilepaskan dari konsep "local genius" - kemampuan masyarakat lokal untuk mengadaptasi dan mentransformasi pengaruh eksternal ke dalam sistem budaya mereka. Nurcholish Madjid dalam "Bilik-Bilik Pesantren" (1997) menjelaskan bagaimana pesantren mampu mempertahankan karakteristik lokalnya sambil tetap terbuka terhadap pembaruan.

Dalam konteks hubungan patron-klien, Geertz melihat pesantren sebagai institusi yang memelihara ikatan sosial berbasis moral-religius. Zamakhsyari Dhofier dalam "Tradisi Pesantren" (1994) mengembangkan analisis ini dengan menunjukkan bagaimana jaringan pesantren membentuk struktur sosial yang khas dalam masyarakat Muslim Indonesia.

Aspek ritual dan simbolik yang ditekankan Geertz membantu kita memahami bagaimana pesantren membangun dan mempertahankan otoritas kulturalnya. Ritual-ritual seperti barakah, tawassul, dan ijazah, sebagaimana dijelaskan oleh Julia Day Howell dalam "Sufism and the Indonesian Islamic Revival" (2001), merupakan mekanisme kultural yang memperkuat kohesi sosial dan legitimasi spiritual pesantren.

Kerangka analisis Geertz tentang "agama sebagai sistem budaya" juga membantu menjelaskan resiliensi pesantren menghadapi perubahan sosial. Azyumardi Azra dalam "Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru" (1999) menunjukkan bagaimana fleksibilitas kultural pesantren memungkinkannya bertahan dan berkembang di era modern.

Kesimpulannya, perspektif Geertz memberikan tools analitis yang berharga untuk memahami kompleksitas pesantren sebagai fenomena sosial-kultural. Pendekatannya yang menekankan interpretasi makna membantu kita melihat bagaimana tradisi, kebudayaan, dan dinamika sosial berinteraksi dalam membentuk dan mentransformasi institusi pesantren.

Referensi:

  1. Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Cultures
  2. Geertz, Clifford. (1960). The Religion of Java
  3. van Bruinessen, Martin. (1995). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat
  4. Wahid, Abdurrahman. (2001). Menggerakkan Tradisi
  5. Lukens-Bull, Ronald. (2005). A Peaceful Jihad
  6. Madjid, Nurcholish. (1997). Bilik-Bilik Pesantren
  7. Dhofier, Zamakhsyari. (1994). Tradisi Pesantren
  8. Howell, Julia Day. (2001). Sufism and the Indonesian Islamic Revival
  9. Azra, Azyumardi. (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun