Temuan mengejutkan ini terungkap melalui analisis similarity yang mendeteksi tingkat kemiripan sebesar 13% antara disertasi doktoral Bahlil dengan skripsi tingkat sarjana (S1) karya Pingki Pratiwi. Angka ini, meski mungkin tampak tidak signifikan bagi sebagian kalangan, telah memicu perdebatan serius di kalangan akademisi dan publik. Pertanyaan krusial yang mencuat bukan sekadar tentang persentase kemiripan, melainkan lebih jauh tentang esensi orisinalitas dan integritas akademik yang menjadi fondasi pendidikan doktoral.
Dalam tradisi akademik, sebuah disertasi doktoral diharapkan membawa kontribusi original terhadap khazanah pengetahuan. Ia seharusnya merupakan kulminasi dari penelitian mendalam, pemikiran kritis, dan terobosan intelektual yang belum pernah ada sebelumnya. Kenyataan bahwa ditemukan kemiripan substansial dengan karya tingkat sarjana menimbulkan tanda tanya besar tentang proses pengawasan dan penulisan disertasi tersebut.
Kasus ini semakin menarik perhatian mengingat posisi Bahlil sebagai tokoh publik yang pernah memegang jabatan strategis di kabinet. Ia bukan sekadar mahasiswa doktoral biasa, melainkan figur yang kebijakannya berdampak luas pada iklim investasi dan ekonomi nasional. Kredibilitas akademiknya, dengan demikian, berkaitan erat dengan kredibilitasnya sebagai pengambil kebijakan publik.
Dunia akademik Indonesia kini menghadapi ujian serius. Bagaimana institusi pendidikan tinggi merespons kontroversi ini akan menentukan standar integritas akademik ke depan. Apakah akan ada investigasi menyeluruh? Bagaimana proses verifikasi independen akan dilakukan? Dan yang terpenting, apa konsekuensi yang harus ditanggung jika tuduhan plagiasi terbukti?
Di tengah pusaran kontroversi ini, nasib gelar doktoral Bahlil bergantung pada hasil investigasi dan keputusan institusi terkait. Namun, terlepas dari hasilnya nanti, kasus ini telah membuka diskusi penting tentang kualitas pendidikan doktoral, mekanisme pengawasan, dan urgensi menjaga integritas akademik di Indonesia. Ini bukan sekadar tentang nasib satu gelar doktoral, melainkan tentang masa depan pendidikan tinggi Indonesia dan standar etika akademik yang ingin kita tegakkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H