Mohon tunggu...
Ahmad Wansa Al faiz
Ahmad Wansa Al faiz Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

Pengamat - Peneliti - Data Analis _ Sistem Data Management - Sistem Risk Management -The Goverment Interprestation Of Democrasy Publik Being.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Dialektika Etik : "Tidak ada Kebebasan Dan Demokrasi," Bagi Yang Tidak Membebaskan Dan Tidak Demokratis".

21 Desember 2024   10:18 Diperbarui: 21 Desember 2024   10:18 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
'Freedom" (SumberGambar. Adnan Husaini).

Asas Konsekuensi: Dialektika Etika dalam Ruang Keadilan.

"Tidak Kebebasan Dan Demokrasi, Bagi Yang Yang Tidak Membebaskan Dan Tidak Demokratis".

Dalam ruang diskursus filsafat etika, asas konsekuensi merupakan manifestasi dari prinsip kausalitas moral yang telah lama menjadi kajian para pemikir. Ketika Immanuel Kant berbicara tentang imperatif kategoris, ia menekankan bahwa tindakan moral harus didasarkan pada prinsip universal yang dapat diberlakukan secara konsisten. Asas konsekuensi, dalam konteks ini, menjadi cerminan dari universalitas tersebut - bahwa setiap tindakan membawa konsekuensi yang setimpal dan dapat dipertanggungjawabkan.

John Stuart Mill, dengan utilitarianismenya, memberikan perspektif berbeda namun saling melengkapi. Ia menegaskan bahwa konsekuensi dari suatu tindakan menjadi ukuran nilai moralnya. Dalam konteks asas "tidak tepat janji bagi yang tidak tepat janji", kita melihat bagaimana prinsip utilitarian ini beroperasi - konsekuensi negatif dari pengingkaran janji harus dihadapi oleh pelakunya sebagai bentuk keadilan sosial.

Lebih jauh lagi, filsuf kontemporer John Rawls dalam "A Theory of Justice" mengembangkan konsep keadilan sebagai fairness. Perspektif ini memperkuat pemahaman bahwa pembatasan kebebasan dapat dibenarkan ketika ditujukan kepada pihak yang justru mengancam kebebasan itu sendiri. Ini sejalan dengan prinsip "tidak kebebasan dan demokrasi bagi yang tidak membebaskan dan demokratis" - sebuah paradoks yang justru menegakkan nilai-nilai demokratis itu sendiri.

Dalam tradisi filsafat timur, konsep karma yang ditemukan dalam pemikiran Buddha juga meresonansikan asas konsekuensi ini. Setiap tindakan memiliki akibat yang tak terelakkan, menciptakan siklus sebab-akibat yang tak terputus. Namun, berbeda dengan determinisme kaku, konsep ini memberi ruang bagi kesadaran dan pilihan moral individu.

Friedrich Nietzsche, meski dengan pendekatan yang berbeda, berbicara tentang "will to power" dan tanggung jawab individual. Perspektifnya mengingatkan bahwa dalam menerapkan asas konsekuensi, kita harus waspada terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan. Konsekuensi harus diterapkan bukan sebagai pembalasan, melainkan sebagai mekanisme untuk menjaga keseimbangan moral dalam masyarakat.

Jean-Paul Sartre, dengan eksistensialisme-nya, menekankan bahwa kebebasan selalu disertai tanggung jawab. Ketika seseorang memilih untuk tidak menepati janji atau menindas kebebasan orang lain, mereka sebenarnya telah memilih konsekuensi yang akan mereka terima. Ini menegaskan bahwa asas konsekuensi bukanlah hukuman eksternal, melainkan hasil logis dari pilihan bebas individu.

Dalam konteks kontemporer, Jrgen Habermas dengan teori tindakan komunikatifnya memberikan kerangka untuk memahami bagaimana asas konsekuensi ini dapat diterapkan dalam ruang publik yang demokratis. Ketika seseorang melanggar prinsip-prinsip komunikasi dan kesepakatan bersama, mereka secara logis kehilangan hak untuk berpartisipasi dalam dialog tersebut.

Asas konsekuensi, dengan demikian, bukanlah sekadar prinsip pembalasan sederhana, melainkan manifestasi dari keadilan distributif yang kompleks. Ia merupakan mekanisme etis yang menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab, dalam konteks kehidupan sosial yang semakin kompleks. Namun, penerapannya tetap membutuhkan kebijaksanaan dan pertimbangan kontekstual, agar tidak jatuh pada absolutisme moral yang justru dapat mengingkari nilai-nilai kemanusiaan yang hendak dijaganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun