Mohon tunggu...
Ahmad Wansa Al faiz Sip
Ahmad Wansa Al faiz Sip Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

Pengamat - Peneliti - Data Analis _ Sistem Data Management - Sistem Risk Management -The Goverment Interprestation Of Democrasy Publik Being.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Beyond Religio

18 Desember 2024   17:36 Diperbarui: 18 Desember 2024   17:36 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan masa kecil sebagai ruang laboratorium pertama di mana konsep ketuhanan mulai dirajut. Di sini, konsep "Yang Ilahi" pertama kali tidak datang dari teologi akademis, melainkan dari sentuhan orangtua, dari cerita-cerita yang didengar, dari ketakutan dan kekaguman yang belum terformulasi secara sempurna.

Setiap anak memiliki peta spiritual pribadinya. Ada yang memperoleh konsep ketuhanan dari figur ayah yang otoriter, ada yang menemukannya dari kelembutan seorang ibu, ada pula yang mengonstruksinya dari fragmen pengalaman traumatis atau momen-momen magis yang tak terlupakan. Beginilah awal mula kesadaran spiritual---tidak murni, tidak steril, namun sangat personal.

Proses transformasi spiritual bukanlah perjalanan linear. Ia bergerak seperti gelombang, kadang mundur, kadang maju, selalu berinteraksi dengan memori dan pengalaman. Masa lalu tidak sekadar menjadi arsip, melainkan menjadi bahan konstruksi ulang bagi kesadaran spiritual yang terus berkembang.

Dalam perjalanan ini, agama berperan bukan sebagai institusi kaku, melainkan sebagai medium dialog antara pengalaman personal dengan kesadaran universal. Setiap ritual, setiap doa, setiap praktik keagamaan adalah upaya individu untuk mentransendenkan keterbatasan pengalamannya.

Kesadaran spiritual dewasa ditandai dengan kemampuan untuk:
- Merekonstruksi ulang mitos personal
- Membongkar dogma yang diwariskan tanpa kritis
- Menciptakan ruang makna yang lebih mendalam

Di titik inilah, perjalanan spiritual menjadi proses individuasi sejati. Bukan sekadar menerima warisan spiritual, melainkan aktif mereka-ulang, mempertanyakan, dan menghadirkan dimensi baru dalam beragama.

Setiap individu adalah penyair spiritual pribadinya. Ia menulis ulang narasi keberagamaan dengan bahasa personal, dengan metafora yang lahir dari pergumulannya sendiri. Agama bukan tentang kepatuhan membuta, melainkan tentang pencarian yang tak pernah usai.

Dan dalam perjalanan itu, masa lalu tidak hilang---ia bertransformasi. Setiap kenangan masa kecil menjadi bahan konstruksi bagi kesadaran spiritual yang lebih kompleks, lebih dewasa, lebih manusiawi.

Inilah hakikat sejati beragama: sebuah perjalanan pulang, pulang ke diri sejati, pulang ke ruang di mana segala pengalaman bertemu dalam harmoni yang mendalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun