Genealogi Konsep Ibu Pertiwi.
Akar Filosofis dan Kultural.
Makna, yang salah satu diantaranya, adalah, sebagai kapasitas, "Tradisi Nusantara" yakni, diantaranya, nilai konsepsional, menegenai, Dewi Sri dan kesuburan tanah yang terkait pandangan akan, pemahaman indigenous tentang kesatuan manusia-alam, juga nilai dan pandangan falsafah yang filosofis "memayu hayuning bawana" (menjaga keharmonisan dunia). Yang tidak lain, adalah, "dimensi dan semangat, spiritualitas," dalam hal, "Tanah sebagai entitas sakral", dan, "Hubungan kosmologis manusia-tanah-semesta", dan, "Konsep "sangkan paraning dumadi" (asal dan tujuan kehidupan)".
Negasi Kepemilikan Personal.
Di Dalam, Dimensi Filosofis.
Yang perlu disadari sebagai bagian ialah, Transcendental Ownership, yang secara filosofis, mengartikan, Tanah air sebagai entitas yang melampaui kepemilikan individual, dan juga, "Konsep "titipan" dan "amanah" dalam pengelolaan tanah," atau juga, "Prinsip berkelanjutan lintas generasi". Hal ini tanpa terlepas, korelasinya, dalam dimensi, "Kolektivitas Yang Sakral."Â Bahwa, "Tanah air sebagai wadah bersama" yang "Negasi absolutisme kepemilikan pribadi" sebagaimana, "Konsep "ruang bersama" dalam tradisi Nusantara.
 Sebuah - Epilog Dalam Menyoal, Kolektifitas & Dimensi Sosial.
Pemahaman bahwa Indonesia "bukan milik personal" harus diterjemahkan dalam kebijakan konkret dan praktik sehari-hari. Ini bukan sekadar slogan, melainkan prinsip fundamental yang harus mendasari setiap aspek pengelolaan negara dan sumber daya nasional.
Negara sebagai Pelindung: Manifestasi Tanggung Jawab Konstitusional terhadap Anak Yatim dan Fakir Miskin.
Melihat Kembali, Sarana, & Landasan Konstitusional Dalam Amanat UUD 1945.
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan: "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Ketentuan ini merupakan manifestasi dari sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Frase, Metafora bahwa, negara sebagai "ibu-bapak" bagi anak yatim dan fakir miskin merupakan suatu manifestasi, logis dari nilai puitik bahasa, dalam membincangkan korelasi, "tanggung jawab konstitusional yang fundamental". Â Terutama, dalam, hal, dan perihal, implementasi- sebagai eksistensi negara secara esensi baik, nilai atau realitas dalam kebijakan nasional dan tolak ukurnya yang membutuhkan, seperti, "Komitmen politik yang kuat" dan, "Sistem yang efektif dan efisien" dan, "Partisipasi seluruh elemen masyarakat" serta, "Pendekatan holistik dan berkelanjutan".
Epilog ke-dua.
Bahwa, Perwujudan amanat konstitusi ini bukan sekadar kewajiban legal, tetapi merupakan manifestasi kemanusiaan dan keadilan sosial yang menjadi fondasi negara Indonesia. Keberhasilan dalam melindungi dan memberdayakan anak yatim dan fakir miskin menjadi ukuran keberhasilan negara dalam menjalankan fungsi pengayomannya. Dan, tolak ukur, bagi eksistensinya dan esensinya, di mata dunia Internasional, dan rakyatnya sendiri.
 Referensi.
- Asshiddiqie, J. (2010). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
- Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
- Mahfud MD. (2009). Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu
- Soemitro, R.H. (1990). Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri
- Wignjosoebroto, S. (2002). Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya
- Anderson, B. (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism
- Magnis-Suseno, F. (1984). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa
- Mulder, N. (1996). Inside Indonesian Society: Cultural Change in Java
- Shiva, V. (1988). Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India
- Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang Budaya
Referensi Tambahan.