"Aku Harap Engkau Bersabar!".
Matahari tenggelam di bawah cakrawala, melukis langit dengan warna jingga dan merah muda. Sarah berdiri di dekat jendela, jarinya menelusuri pola tak terlihat di kaca yang dingin. Hatinya terasa berat, tertindih oleh keheningan yang telah menetap antara dia danSudah tiga bulan sejak James berangkat untuk penugasannya di luar negeri. Tiga bulan yang panjang dengan panggilan telepon yang sporadis, pesan teks singkat, dan rasa sakit yang tampaknya semakin bertambah setiap harinya. Dia memahami pentingnya misi James, dedikasi yang dibutuhkan, tapi itu tidak membuat perpisahan menjadi lebih mudah.
Mata Sarah tertuju pada tanaman kecil dalam pot di ambang jendela -- hadiah perpisahan dari James. "Rawatlah," katanya dengan senyum, "dan pada saat ia berbunga, aku akan kembali." Tunas-tunas hijau kecil baru saja mulai muncul dari tanah.
Dia menarik napas dalam-dalam, memaksa dirinya untuk menemukan kekuatan dalam janji tunas-tunas rapuh itu. "Aku harap engkau bersabar," bisiknya, baik kepada tanaman itu maupun kepada dirinya sendiri. "Pertumbuhan membutuhkan waktu, begitu juga dengan kepulangan."
Saat malam tiba, Sarah berpaling dari jendela, membawa beban harapan dan kerinduan bersamanya. Dia tahu bahwa seperti tanaman itu, cinta mereka akan membutuhkan pemeliharaan, perawatan, dan di atas segalanya, kesabaran untuk berkembang kembali ketika James pulang.
"Kesabaran yang Berbuah Manis".
Sarah menatap tanaman kecil di pot itu, simbol harapan yang James tinggalkan. Setiap hari, dia menyiramnya dengan hati-hati, berbicara lembut padanya, seolah-olah tanaman itu bisa mendengar kerinduan dalam suaranya.
Minggu berganti bulan. Tunas-tunas kecil tumbuh menjadi daun-daun hijau yang kuat. Sarah melihat perubahan ini sebagai metafora untuk hubungan mereka - tumbuh perlahan namun pasti, menghadapi tantangan cuaca dan waktu.
Enam bulan berlalu. Suatu pagi, Sarah terbangun dan melihat sesuatu yang membuatnya terkesiap. Sebuah kuncup bunga mungil muncul di antara dedaunan. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Ini adalah tanda yang dia tunggu-tunggu.
Tepat saat itu, ponselnya berdering. Suara James yang familiar menyapanya, "Aku pulang besok, Sarah."
Keesokan harinya, saat James melangkah masuk ke apartemen, matanya langsung tertuju pada tanaman di ambang jendela. Bunga pertamanya telah mekar sempurna, merah muda dan indah.
Sarah memeluknya erat, berbisik, "Lihat, kesabaran kita berbuah manis."
James tersenyum, mengerti makna dalam dari kata-kata itu. Cinta mereka, seperti bunga itu, telah bertahan melalui musim-musim yang sulit dan kini mekar lebih indah dari sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H