Bayangkan seorang ibu yang hingga kini masih mencari anaknya yang hilang. Atau seorang perempuan yang harus hidup dengan trauma pemerkosaan. Bagi mereka, kategorisasi legal apakah ini "pelanggaran HAM berat" atau bukan mungkin tidak terlalu relevan. Yang mereka tahu: keadilan belum ditegakkan, luka belum disembuhkan.
Peristiwa 1998 juga membawa pertanyaan lebih besar tentang tanggung jawab negara. Ketika kekerasan terjadi dalam skala masif, bukankah negara - sebagai pemegang monopoli kekerasan yang sah - memiliki tanggung jawab untuk mencegah dan menghentikannya? Kegagalan melakukan ini, apakah bukan merupakan bentuk pelanggaran HAM tersendiri?
Lebih jauh lagi, kategorisasi ini memiliki implikasi praktis. Status "pelanggaran HAM berat" membawa konsekuensi hukum tertentu, termasuk mekanisme penyelesaian dan pemulihan korban. Menolak kategorisasi ini bisa berarti menutup jalur-jalur penyelesaian tertentu yang mungkin justru dibutuhkan untuk mencapai keadilan.
Mari kita ingat bahwa sejarah bukan sekadar catatan hitam di atas putih. Ia adalah pengalaman hidup, penderitaan nyata, dan perjuangan panjang mencari keadilan. Kategorisasi legal, betapapun pentingnya, tidak boleh mengaburkan dimensi kemanusiaan dari sebuah tragedi.
Yang mungkin perlu kita pertanyakan: Apakah perdebatan tentang kategorisasi ini membantu kita mencapai keadilan? Atau justru mengalihkan perhatian dari pertanyaan yang lebih mendasar tentang bagaimana memulihkan luka, menegakkan keadilan, dan memastikan tragedi serupa tidak terulang?
Terlepas dari kategorisasi formal, peristiwa 1998 tetap merupakan momentum penting yang menuntut pertanggungjawaban. Bukan sekadar pertanggungjawaban hukum, tetapi juga pertanggungjawaban moral dan historis. Sebagai bangsa, kita perlu menghadapi masa lalu ini dengan kejujuran dan keberanian.
Mungkin yang lebih penting dari perdebatan kategorisasi adalah bagaimana kita, sebagai bangsa, belajar dari peristiwa ini. Bagaimana memastikan mekanisme pencegahan yang lebih baik, bagaimana membangun sistem yang lebih adil, dan bagaimana menyembuhkan luka-luka yang masih menganga.
Karena pada akhirnya, keadilan bukan sekadar soal definisi legal. Ia adalah tentang pengakuan atas penderitaan, pemulihan martabat, dan komitmen bersama untuk membangun masa depan yang lebih baik. Dalam konteks ini, pernyataan Yusril mungkin perlu dilihat bukan sebagai titik akhir diskusi, melainkan sebagai bagian dari dialog yang lebih luas tentang bagaimana kita sebagai bangsa memahami, menghadapi, dan belajar dari masa lalu kita.
DILEMA KATEGORISASI PELANGGARAN HAM - MERESPONS PANDANGAN YUSRIL.
Dalam sebuah diskusi tentang hak asasi manusia, pernyataan Yusril bahwa "Setiap Kejahatan adalah Pelanggaran HAM" menghadirkan paradoks yang menarik untuk ditelaah lebih dalam. Layaknya mengupas lapisan bawang, kita perlu menyingkap berbagai dimensi dari pernyataan yang tampak sederhana namun sarat makna ini.
Pada tataran permukaan, argumentasi Yusril memang memiliki logikanya sendiri. Setiap tindak kejahatan, dari pencurian hingga pembunuhan, pada dasarnya melanggar hak asasi korbannya. Seorang pencuri melanggar hak milik seseorang, seorang pembunuh melanggar hak hidup korbannya. Namun, apakah sesederhana itu?
Mari kita bayangkan dua skenario berbeda. Pertama, sebuah kasus perampokan di minimarket oleh seorang individu. Kedua, pembantaian sistematis terhadap sekelompok etnis minoritas atas perintah penguasa. Keduanya adalah kejahatan, keduanya melanggar hak asasi korban, tetapi benarkah keduanya dapat disetarakan sebagai pelanggaran HAM dengan bobot yang sama?