Mohon tunggu...
El Sabath
El Sabath Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

"Akar sosial adalah masyarakat dan kajemukan, dan "Fenomena Sosial Di dasarkan pada gambaran nilai normatif Individu, terhadap ruang interaktif relasi sosial, hal yang mendasar adalah sosial sebagai fenomena individu yang tidak terlepas dari sumberdaya, yang relatif dan filosofis, dan apakah ranah sosial adalah sesuatu yang sesuai makna filosofis, atau justru gambaran dari kehampaan semata, yang tidak dapat di ukur sikap atau ruang lingkup sosialkah, yang berarti suatu ilutrasi pamplet kekacauan revolusi massa, atau komunisme historis dalam sejarah pergerakan politik?"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Kritisisme, Sebagai Bentuk "Amal Soleh"

18 Oktober 2024   16:26 Diperbarui: 18 Oktober 2024   16:41 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kritisisme Publik. Medator.id

"Wa Amila Soliha": Fundamentalisme Kesalehan dalam Fragmentasi Dalil Qur'an dan Pemikiran Kritis.


Kritisisme Publik. Medator.ID

Frasa "wa amila soliha" (dan mengerjakan amal saleh) sering muncul dalam Al-Qur'an, biasanya berpasangan dengan "amanu" (beriman). Frasa ini menekankan pentingnya kesalehan dan perbuatan baik dalam Islam. Namun, interpretasi yang sempit terhadap konsep ini dapat mengarah pada fundamentalisme kesalehan yang problematis. Fundamentalisme kesalehan cenderung mereduksi ajaran Islam menjadi serangkaian ritual dan aturan eksternal, tanpa mempertimbangkan esensi spiritual dan moral yang lebih dalam. Pendekatan ini sering menggunakan fragmentasi dalil Al-Qur'an - memilih ayat-ayat tertentu secara terisolasi untuk mendukung pandangan yang kaku, tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas atau tujuan utama wahyu.

Fenomena ini dapat menimbulkan beberapa masalah:

1. Formalisme berlebihan: Fokus pada aspek-aspek lahiriah agama dengan mengabaikan substansi spiritual. 2. Intoleransi: Kecenderungan untuk menganggap interpretasi sendiri sebagai satu-satunya kebenaran. 3. Stagnasi intelektual: Penolakan terhadap pembaruan pemikiran dan ijtihad. 4. Pengabaian konteks: Gagal memahami relevansi ajaran agama dalam konteks sosial-budaya yang berbeda. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih kritis dan holistik dalam memahami ajaran Islam. Pemikiran kritis (critical thinking) memainkan peran penting dalam hal ini. Beberapa aspek pemikiran kritis yang relevan meliputi:
1. Analisis kontekstual: Memahami ayat-ayat Al-Qur'an dalam konteks historis dan sosial-budayanya. 2. Pendekatan tematik: Mengkaji tema-tema besar dalam Al-Qur'an, bukan hanya ayat-ayat terisolasi. 3. Ijtihad kontemporer: Mengaplikasikan prinsip-prinsip Islam dalam konteks modern dengan metode yang dinamis. 4. Dialog interdisipliner: Mengintegrasikan wawasan dari berbagai disiplin ilmu dalam memahami agama. 5. Refleksi etis: Mengevaluasi interpretasi dan praktik keagamaan berdasarkan prinsip-prinsip etika universal. Dengan menerapkan pemikiran kritis, umat Islam dapat menghindari jebakan fundamentalisme kesalehan dan mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam dan relevan tentang ajaran agamanya. Ini memungkinkan mereka untuk mewujudkan esensi "wa amila soliha" dalam konteks kehidupan modern, menggabungkan keimanan dengan tindakan yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat dan kemanusiaan.


"Wa Amila Soliha": Menguraikan Problematika Fundamentalisme Kesalehan dalam Fragmentasi Dalil Qur'an.

Frasa "wa amila soliha" (dan mengerjakan amal saleh) yang sering muncul dalam Al-Qur'an menjadi titik tolak untuk menguraikan problematika fundamentalisme kesalehan dalam konteks pemahaman dan penerapan ajaran Islam. Berikut adalah analisis kritis yang mengurai masalah-masalah utama:

1. Reduksi Makna Kesalehan.

Problematika: Fundamentalisme kesalehan cenderung mereduksi konsep "amila soliha" menjadi serangkaian ritual dan aturan eksternal yang kaku. Uraian: Pengabaian aspek spiritual dan moral yang lebih dalam dari konsep amal saleh, fokus berlebihan pada formalitas ibadah tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan etisnya, kecenderungan untuk mengukur kesalehan hanya dari penampilan dan ritual, bukan substansi tindakan.


2. Fragmentasi Dalil Al-Qur'an.

Problematika: Penggunaan ayat-ayat Al-Qur'an secara terisolasi untuk mendukung pandangan yang sempit.

Uraian: pengabaian konteks historis dan sosial-budaya dari ayat-ayat yang dikutip, dan, kegagalan dalam memahami hubungan antar ayat dan tema-tema besar dalam Al-Qur'an, serta, penafsiran literal yang mengabaikan aspek metaforis dan allegoris dalam Al-Qur'an. 

3. Rigiditas Pemahaman.

Problematika: Penolakan terhadap interpretasi alternatif dan pembaruan pemikiran. Uraian, klaim monopoli kebenaran atas tafsir tertentu, dan resistensi terhadap ijtihad kontemporer dan dialog interdisipliner, serta, ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun