Mohon tunggu...
El Sabath
El Sabath Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

"Akar sosial adalah masyarakat dan kajemukan, dan "Fenomena Sosial Di dasarkan pada gambaran nilai normatif Individu, terhadap ruang interaktif relasi sosial, hal yang mendasar adalah sosial sebagai fenomena individu yang tidak terlepas dari sumberdaya, yang relatif dan filosofis, dan apakah ranah sosial adalah sesuatu yang sesuai makna filosofis, atau justru gambaran dari kehampaan semata, yang tidak dapat di ukur sikap atau ruang lingkup sosialkah, yang berarti suatu ilutrasi pamplet kekacauan revolusi massa, atau komunisme historis dalam sejarah pergerakan politik?"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dialog Tiga Benua: "Black Monday" 19 Oktober 1987 - dan Bintaro: Menelusuri Jejak Kemanusian Kita Hari Ini

13 Oktober 2024   16:11 Diperbarui: 13 Oktober 2024   16:14 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanggerang Update.Com Bintaro 19 Oktober 1987.

18. Bruinessen, M. van (2002). "Genealogies of Islamic radicalism in post-Suharto Indonesia," South East Asia Research, 10(2), 117-154.

Karya-karya ini memberikan wawasan mendalam tentang dinamika Islam di Indonesia, termasuk perkembangan pesantren, peran organisasi-organisasi Islam tradisional seperti NU, dan munculnya gerakan-gerakan Islam radikal pasca-Orde Baru. Pemikiran van Bruinessen sangat berharga dalam memahami kompleksitas Islam Indonesia dalam konteks sosial, politik, dan budaya yang lebih luas.

 "Rekonsiliasi Sejarah: Jalan Menuju Ke-Indonesian yang Lebih Kokoh". -Suatu Itikad Yang Pudar & Hilang.

Indonesia, sebagai negara dengan sejarah yang kaya dan kompleks, menghadapi tantangan besar dalam membangun narasi nasional yang inklusif dan berkeadilan. Rekonsiliasi sejarah menjadi kunci penting dalam upaya ini, bukan hanya sebagai proses penyembuhan luka masa lalu, tetapi juga sebagai fondasi untuk membangun identitas nasional yang lebih kuat dan kohesif. Sejak kemerdekaan, Indonesia telah melalui berbagai peristiwa bersejarah yang kontroversial dan traumatis. Peristiwa 1965-1966, yang ditandai dengan pembantaian massal dan penangkapan besar-besaran, masih menyisakan luka mendalam dalam ingatan kolektif bangsa. Demikian pula dengan berbagai pelanggaran HAM selama era Orde Baru, serta konflik-konflik di daerah seperti Aceh dan Papua, yang terus membayangi perjalanan bangsa.

Proses rekonsiliasi sejarah di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Pertama, adanya perbedaan narasi dan interpretasi sejarah antar kelompok yang sering kali bertentangan. Kedua, resistensi dari pihak-pihak yang mungkin terlibat dalam pelanggaran masa lalu. Ketiga, ketakutan akan destabilisasi politik jika isu-isu sensitif diangkat ke permukaan. Keempat, kurangnya dokumentasi dan bukti yang memadai untuk beberapa peristiwa sejarah.

Namun, terlepas dari tantangan-tantangan tersebut, upaya rekonsiliasi sejarah tetap penting untuk dilakukan. Pendekatan yang komprehensif dan multidimensi diperlukan, melibatkan berbagai elemen masyarakat. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bisa menjadi langkah awal yang signifikan. KKR dapat berperan dalam menginvestigasi dan mendokumentasikan pelanggaran HAM masa lalu, serta memberikan ruang bagi para korban untuk bersuara.

Pendidikan sejarah juga memainkan peran krusial dalam proses rekonsiliasi. Revisi kurikulum sejarah untuk mencakup perspektif yang lebih beragam dan kritis sangat diperlukan. Ini akan membantu generasi muda untuk memahami kompleksitas sejarah bangsa dan mengembangkan pemikiran kritis terhadap narasi-narasi yang ada.

Membangun memori kolektif melalui museum, monumen, atau pusat dokumentasi juga penting untuk mengenang korban dan melestarikan sejarah. Ini bukan hanya berfungsi sebagai pengingat, tetapi juga sebagai sarana pembelajaran dan refleksi bagi generasi mendatang.

Dialog antar generasi juga perlu difasilitasi. Percakapan antara generasi yang mengalami peristiwa sejarah secara langsung dengan generasi muda dapat membantu menjembatani kesenjangan pemahaman dan membangun empati. Masyarakat sipil, termasuk organisasi non-pemerintah, akademisi, dan aktivis, memiliki peran penting dalam mendorong proses rekonsiliasi. Mereka dapat melakukan penelitian, dokumentasi, dan advokasi untuk isu-isu sejarah yang belum terselesaikan. Rekonsiliasi sejarah bukan proses yang mudah atau cepat. Ini membutuhkan komitmen jangka panjang dari semua pihak. Namun, jika berhasil, proses ini dapat membantu membangun "Ke-Indonesian Kita Hari Ini" yang lebih kuat, inklusif, dan berkeadilan.

"Konstelasi Bahasa Logis; Kenusantaraan : "Kebijaksanaan & Cinta Indonesia"Dalam Konotasi Nusantara".

Tema yang menarik yang menggabungkan beberapa konsep terkait bahasa, budaya, dan identitas Indonesia. Mari kita uraikan maknanya:

"Konstelasi Bahasa" mengacu pada hubungan atau pola antara berbagai bahasa, mungkin merujuk pada keragaman bahasa di Indonesia. "Logis Kenusantaraan" menunjukkan pendekatan rasional atau sistematis terhadap konsep Nusantara, yang merupakan istilah untuk kepulauan Indonesia. "Kebijaksanaan & Cinta Indonesia" menekankan nilai-nilai positif yang berakar pada budaya dan identitas nasional Indonesia. "Dalam Konotasi Nusantara" menunjukkan bahwa konsep-konsep ini dilihat melalui lensa budaya dan perspektif kepulauan Indonesia.

Secara keseluruhan, judul ini tampaknya mengeksplorasi bagaimana bahasa, logika, kebijaksanaan, dan cinta terhadap negara saling berhubungan dalam konteks budaya Indonesia yang luas dan beragam.

"Dialog Tiga Benua".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun