Mohon tunggu...
Ahmad Wansa Al faiz
Ahmad Wansa Al faiz Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

Pengamat - Peneliti - Data Analis _ Sistem Data Management - Sistem Risk Management -The Goverment Interprestation Of Democrasy Publik Being.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Analisis Komperatif Zonasi Wilayah: Sumberdaya Nasional. - Ketahanan Pangan (1).

9 Oktober 2024   14:14 Diperbarui: 9 Oktober 2024   14:18 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komparasi Zonasi Laut & Darat.

Analisis Komparatif Zonasi Wilayah Laut dan Darat Indonesia: Implikasi terhadap Pengelolaan Sumber Daya Nasional.

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki tantangan unik dalam mengelola sumber daya alamnya, baik di darat maupun di laut. Analisis komparatif zonasi wilayah laut dan darat memberikan wawasan berharga tentang bagaimana negara ini mengalokasikan dan memanfaatkan sumber dayanya. Pemahaman ini penting untuk merumuskan kebijakan yang lebih efektif dalam pengelolaan sumber daya nasional.

Komparasi Zonasi Laut & Darat.


Zonasi Wilayah Laut:

Berdasarkan estimasi, zonasi wilayah laut Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa kategori utama. Perikanan tangkap menempati sekitar 35% dari total wilayah laut, menjadikannya salah satu sektor terpenting dalam pemanfaatan sumber daya kelautan. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan perairan lepas mencakup proporsi terbesar, yaitu sekitar 45%. Ini menunjukkan besarnya potensi ekonomi dan strategis yang dimiliki Indonesia di wilayah maritim.

Wisata pantai, meskipun hanya mencakup sekitar 3% dari wilayah laut, memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Sementara itu, zona konservasi laut yang mencakup 4% area menunjukkan komitmen Indonesia terhadap pelestarian ekosistem laut. Jalur pelayaran yang mencakup 7% area menegaskan peran penting Indonesia dalam jalur perdagangan maritim global. Sisanya, sekitar 6%, digunakan untuk berbagai keperluan lain termasuk eksplorasi minyak dan gas lepas pantai.

Zonasi Wilayah Darat:

Di sisi lain, zonasi wilayah darat Indonesia menunjukkan pola yang berbeda namun memiliki beberapa kesamaan konseptual. Pertanian, yang dapat dianggap sebagai padanan dari perikanan tangkap di laut, mencakup sekitar 30% wilayah daratan. Hutan, yang memiliki fungsi ekologis serupa dengan perairan lepas, mendominasi dengan 50% coverage. Ini menunjukkan pentingnya sektor kehutanan dalam konteks lingkungan dan ekonomi nasional.

Pemukiman dan industri, yang bersama-sama mencakup sekitar 20% wilayah daratan, tidak memiliki padanan langsung di zonasi laut. Hal ini mencerminkan perbedaan fundamental dalam pemanfaatan ruang antara darat dan laut. Zona wisata darat yang mencakup 3% area memiliki proporsi yang mirip dengan wisata pantai di zonasi laut, menunjukkan konsistensi dalam alokasi sumber daya untuk sektor pariwisata.

Implikasi dan Tantangan:
Perbandingan ini mengungkapkan beberapa implikasi penting untuk pengelolaan sumber daya nasional:

1. Keseimbangan Pemanfaatan dan Konservasi: Baik di darat maupun di laut, Indonesia menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan pemanfaatan ekonomi dengan upaya konservasi. Proporsi area konservasi yang relatif kecil di kedua wilayah menunjukkan perlunya peningkatan upaya perlindungan lingkungan. 2. Potensi Ekonomi Maritim: Besarnya proporsi ZEE dan perairan lepas (45%) menunjukkan potensi besar ekonomi maritim yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Diperlukan strategi yang lebih agresif namun berkelanjutan untuk mengoptimalkan potensi ini. 3. Tekanan pada Wilayah Darat: Tingginya proporsi wilayah darat yang digunakan untuk pemukiman dan industri (20%) dibandingkan dengan laut menunjukkan tekanan yang lebih besar pada ekosistem darat. Ini menekankan pentingnya perencanaan tata ruang yang lebih efisien dan berkelanjutan. 4. Integrasi Pengelolaan Darat-Laut: Kesamaan proporsi beberapa zona (seperti wisata) antara darat dan laut menunjukkan perlunya pendekatan terpadu dalam pengelolaan sumber daya. Kebijakan yang mengintegrasikan pengelolaan wilayah pesisir, darat, dan laut menjadi semakin penting. 5. Diversifikasi Ekonomi: Dominasi sektor pertanian di darat dan perikanan di laut menunjukkan ketergantungan yang tinggi pada sektor primer. Diperlukan strategi diversifikasi ekonomi yang memanfaatkan potensi sektor sekunder dan tersier di kedua wilayah.

Analisis komparatif zonasi wilayah laut dan darat Indonesia memberikan gambaran komprehensif tentang alokasi dan pemanfaatan sumber daya nasional. Perbedaan dan kesamaan yang terungkap menunjukkan kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya di negara kepulauan ini. Diperlukan pendekatan holistik dan terintegrasi yang mempertimbangkan karakteristik unik masing-masing wilayah, sambil tetap menjaga keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang pola zonasi ini, Indonesia dapat merumuskan kebijakan yang lebih efektif untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, baik di darat maupun di laut.

Jika, melihat gambaran keseluruhan yang mengintegrasikan zonasi laut dan darat dalam satu persentase total. Mari kita lakukan ini dengan mempertimbangkan luas total wilayah Indonesia, termasuk daratan dan perairan.

Zonasi Integral.
Zonasi Integral.

Zonasi Integral.

Berikut adalah esai yang menjelaskan zonasi integral wilayah Indonesia berdasarkan persentase keseluruhan:

Zonasi Integral Wilayah Indonesia: Analisis Proporsi Laut dan Darat.

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki karakteristik unik dalam komposisi wilayahnya. Dengan mempertimbangkan total luas wilayah Indonesia yang mencakup daratan dan perairan, kita dapat memperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang zonasi dan pemanfaatan sumber daya nasional. Analisis ini akan membagi wilayah Indonesia menjadi dua kategori utama: laut (60%) dan darat (40%), yang kemudian akan dirinci lebih lanjut.

1. Wilayah Laut (60% dari total wilayah):

a. Perikanan Tangkap (21% dari total wilayah):
   Zona ini merupakan area utama untuk aktivitas penangkapan ikan dan sumber daya laut lainnya. Besarnya proporsi ini menunjukkan potensi besar sektor perikanan dalam ekonomi nasional dan ketahanan pangan. b. Perairan Lepas / ZEE (27% dari total wilayah):
   Zona Ekonomi Eksklusif dan perairan lepas merupakan proporsi terbesar, mencerminkan luasnya wilayah maritim Indonesia. Area ini memiliki potensi besar untuk eksplorasi sumber daya, penelitian ilmiah, dan menjaga kedaulatan maritim. c. Wisata Laut (3% dari total wilayah): Meskipun relatif kecil, zona ini memiliki nilai ekonomi tinggi melalui industri pariwisata bahari. d. Lain-lain Laut (9% dari total wilayah): Mencakup area untuk pelayaran, konservasi laut, dan kegiatan lainnya seperti eksplorasi minyak dan gas lepas pantai.

2. Wilayah Darat (40% dari total wilayah):

a. Pertanian (12% dari total wilayah):
   Zona ini mencakup lahan untuk produksi pangan dan komoditas pertanian lainnya, menjadi kunci dalam ketahanan pangan nasional. b. Hutan (20% dari total wilayah):
   Merupakan proporsi terbesar di daratan, menunjukkan pentingnya ekosistem hutan dalam konteks lingkungan dan ekonomi Indonesia. c. Pemukiman (6% dari total wilayah):
   Mencakup area perkotaan dan pedesaan, menggambarkan distribusi populasi di seluruh nusantara. d. Lain-lain Darat (2% dari total wilayah): Termasuk area untuk industri, infrastruktur, dan penggunaan lahan lainnya.

Analisis Proporsi:


1. Dominasi Wilayah Laut:
   Dengan 60% total wilayah, laut memainkan peran krusial dalam geopolitik, ekonomi, dan ekologi Indonesia. Hal ini menegaskan pentingnya kebijakan maritim yang kuat dan berkelanjutan. 2. Keseimbangan Pemanfaatan dan Konservasi: Proporsi yang besar untuk perikanan (21%) dan pertanian (12%) menunjukkan fokus pada ketahanan pangan. Namun, ini juga menimbulkan tantangan dalam menjaga keseimbangan dengan upaya konservasi. 3. Potensi Ekonomi Maritim: Zona Perairan Lepas/ZEE (27%) menyoroti potensi besar yang masih belum sepenuhnya dimanfaatkan, termasuk untuk energi terbarukan, bioteknologi laut, dan mineral laut dalam. 4. Tekanan pada Ekosistem Darat: Meskipun hanya 40% dari total wilayah, daratan menghadapi tekanan yang lebih intensif, terutama dengan 6% area untuk pemukiman dan tambahan 2% untuk kegiatan lainnya. 5. Hutan sebagai Aset Kritis: Dengan 20% dari total wilayah, hutan berperan vital dalam mitigasi perubahan iklim dan pelestarian biodiversitas. 6. Potensi Wisata: Kombinasi wisata laut (3%) dan potensi wisata darat dalam kategori lain-lain (2%) menunjukkan peluang besar untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan.

Kesimpulan:

Bahwa, zonasi integral wilayah Indonesia menggambarkan kompleksitas dan kekayaan sumber daya negara ini. Dominasi wilayah laut (60%) menegaskan identitas Indonesia sebagai negara maritim, sementara keragaman zonasi di darat mencerminkan tantangan dalam mengelola sumber daya yang terbatas dengan berbagai kebutuhan. Pemahaman yang lebih baik tentang proporsi ini dapat membantu dalam merumuskan kebijakan yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan. Misalnya, pengembangan ekonomi biru yang menyelaraskan pemanfaatan sumber daya laut dengan konservasi, atau pendekatan lanskap terpadu yang mengintegrasikan pengelolaan hutan, pertanian, dan pemukiman di daratan. Tantangan ke depan adalah mengoptimalkan pemanfaatan setiap zona sambil menjaga keseimbangan ekologis dan memastikan distribusi manfaat yang adil bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan pendekatan yang holistik dan berbasis data, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi wilayahnya untuk pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan rakyat.

Referensi:

  1. Badan Pusat Statistik. (2023). Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2045.
  2. Kementerian Pertanian. (2023). Laporan Tahunan Program Food Estate.
  3. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (2022). Dampak Teknologi Presisi pada Produktivitas Pertanian Indonesia.
  4. Kementerian Kesehatan. (2024). Pedoman Gerakan Konsumsi Pangan B2SA.
  5. Kementerian Pertanian. (2023). Statistik Ketenagakerjaan Sektor Pertanian.

Berikut adalah daftar referensi akademis yang lebih komprehensif dan relevan dengan topik tersebut:

1. Rosegrant, M. W., Paisner, M. S., Meijer, S., & Witcover, J. (2001). Global food projections to 2020: Emerging trends and alternative futures. International Food Policy Research Institute.
2. Tilman, D., Balzer, C., Hill, J., & Befort, B. L. (2011). Global food demand and the sustainable intensification of agriculture. Proceedings of the National Academy of Sciences, 108(50), 20260-20264.
3. Godfray, H. C. J., Beddington, J. R., Crute, I. R., Haddad, L., Lawrence, D., Muir, J. F., ... & Toulmin, C. (2010). Food security: the challenge of feeding 9 billion people. Science, 327(5967), 812-818.
4. Pingali, P. L. (2012). Green revolution: impacts, limits, and the path ahead. Proceedings of the National Academy of Sciences, 109(31), 12302-12308.
5. Spielman, D. J., & Pandya-Lorch, R. (Eds.). (2009). Millions fed: proven successes in agricultural development. Intl Food Policy Res Inst.
6. Pretty, J., Toulmin, C., & Williams, S. (2011). Sustainable intensification in African agriculture. International Journal of Agricultural Sustainability, 9(1), 5-24.
7. Timmer, C. P. (2014). Food security in Asia and the Pacific: The rapidly changing role of rice. Asia & the Pacific Policy Studies, 1(1), 73-90.
8. Garnett, T., Appleby, M. C., Balmford, A., Bateman, I. J., Benton, T. G., Bloomer, P., ... & Godfray, H. C. J. (2013). Sustainable intensification in agriculture: premises and policies. Science, 341(6141), 33-34.
9. Hazell, P. B. (2009). The Asian green revolution. IFPRI Discussion Paper 00911. Washington, DC: International Food Policy Research Institute.
10. Lobell, D. B., Burke, M. B., Tebaldi, C., Mastrandrea, M. D., Falcon, W. P., & Naylor, R. L. (2008). Prioritizing climate change adaptation needs for food security in 2030. Science, 319(5863), 607-610.
11. Alexandratos, N., & Bruinsma, J. (2012). World agriculture towards 2030/2050: the 2012 revision. ESA Working Paper No. 12-03. Rome: FAO.
12. Naylor, R. L., Falcon, W. P., Goodman, R. M., Jahn, M. M., Sengooba, T., Tefera, H., & Nelson, R. J. (2004). Biotechnology in the developing world: a case for increased investments in orphan crops. Food Policy, 29(1), 15-44.
13. Pingali, P. (2007). Westernization of Asian diets and the transformation of food systems: Implications for research and policy. Food Policy, 32(3), 281-298.
14. Foley, J. A., Ramankutty, N., Brauman, K. A., Cassidy, E. S., Gerber, J. S., Johnston, M., ... & Zaks, D. P. (2011). Solutions for a cultivated planet. Nature, 478(7369), 337-342.
15. De Schutter, O. (2010). Report submitted by the Special Rapporteur on the right to food. UN Human Rights Council.

Referensi-referensi ini mencakup penelitian dan analisis mendalam tentang proyeksi kebutuhan pangan global, intensifikasi pertanian berkelanjutan, dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan, transformasi sistem pangan, dan kebijakan pertanian di negara berkembang. Sumber-sumber ini dapat memberikan landasan akademis yang kuat untuk memahami dan menganalisis isu ketahanan pangan dan ledakan populasi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun