Mohon tunggu...
El Sabath
El Sabath Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

"Akar sosial adalah masyarakat dan kajemukan, dan "Fenomena Sosial Di dasarkan pada gambaran nilai normatif Individu, terhadap ruang interaktif relasi sosial, hal yang mendasar adalah sosial sebagai fenomena individu yang tidak terlepas dari sumberdaya, yang relatif dan filosofis, dan apakah ranah sosial adalah sesuatu yang sesuai makna filosofis, atau justru gambaran dari kehampaan semata, yang tidak dapat di ukur sikap atau ruang lingkup sosialkah, yang berarti suatu ilutrasi pamplet kekacauan revolusi massa, atau komunisme historis dalam sejarah pergerakan politik?"

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Cawe-cawe Politik : Intonasi Kekuasaan yang Terasa Minor

4 Oktober 2024   11:40 Diperbarui: 4 Oktober 2024   11:59 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RRI.co.id. Image - "Cawe-cawe".

Cawe-cawe Politik : Intonasi Kekuasaan yang Terasa Minor: Analisis dan Implikasi.

- Persatuan dalam Keberagaman: Kekuatan dari Kemajemukan dan Pluralitas -

RRI.co.id. Image - "Cawe-cawe".

Persatuan dalam Keberagaman: Intonasi Kekuasaan yang Terasa Minor dalam Koridor Positif.

Konsep "intonasi kekuasaan yang terasa minor meski positif koridornya" mengacu pada situasi di mana ekspresi atau implementasi kekuasaan, meskipun secara umum positif atau konstruktif, tetap terasa lemah atau kurang signifikan. Ini adalah fenomena kompleks yang memiliki beberapa implikasi penting, dimana, paradoksnya, memang, "Kekuasaan Terasa Lunak" sehingga, kekuasaan yang diimplementasikan secara halus atau "lunak" mungkin kurang terasa, namun bisa lebih efektif dalam jangka panjang. Sebagai, contoh: Diplomasi budaya yang tampak "minor" namun memiliki dampak signifikan dalam hubungan internasional. 

Namun, pada. sisi yang dilematis, adalah menyoal "Dilema Legitimasi" dimana, kekuasaan yang terlalu eksplisit riskan dianggap otoriter, sementara yang terlalu implisit bisa dianggap lemah. Padahal, toh, tantangannya, adalah, menemukan keseimbangan antara ketegasan dan kelenturan dalam menjalankan kekuasaan. Terlebih, lagi, pada "Subtilitas Pengaruh" yang mana, pengaruh yang halus dan tidak mencolok dapat lebih mudah diterima dan kurang menimbulkan resistensi. Sementara, "Relevansi" yang, penting dalam konteks masyarakat multikultural untuk menghindari dominasi kultural yang terlalu eksplisit.

Jika, kita mencoba menilik, masuk ke dalam struktur arus "Kekuatan Narasi Kecil" yang mana, narasi-narasi kecil atau "minor" dapat memiliki dampak kumulatif yang signifikan dalam membentuk wacana dan kebijakan. Sehingga, aplikasi yang kemudian, mendorong partisipasi grassroots dan inisiatif komunitas dalam pengambilan keputusan. Setidaknya, kita tahu, dalam hal ini, juga mempersoalkan, "Ambiguitas Persepsi" yang, intonasi kekuasaan yang minor dapat menimbulkan ambiguitas dalam persepsi publik. Lebih sebagai, tantangan yang, memastikan bahwa pesan dan kebijakan tetap jelas dan efektif meski disampaikan dengan cara yang halus. 

Terutama, sebagai line, dari kesadaran, "Dinamika Kekuasaan dalam Keberagaman" di dalam masyarakat yang beragam, intonasi kekuasaan yang minor dapat memfasilitasi dialog dan negosiasi antar kelompok. Secara, "Strategis" yang menggunakan pendekatan inklusif dan partisipatif dalam pengambilan keputusan. Dalam harapan ditengah contradiktio, "Efektivitas vs. Visibilitas" dimana, kekuasaan yang efektif tidak selalu harus terlihat atau terdengar keras. 

Mampu untuk dapat melahirkan, gema "Refleksi" di dalam, mengevaluasi dampak kebijakan berdasarkan hasil, bukan hanya pada seberapa "keras" atau "terlihat" implementasinya. Untuk mencegah, "Resistensi Terhadap Dominasi" dalam, intonasi minor dapat menjadi strategi untuk menghindari kesan dominasi dalam konteks multikultural. Yang, ber-"Implikasi" dalam, mempertimbangkan sensitivitas budaya dalam implementasi kebijakan.

Kemudian, "Intonasi Kekuasaan" yang terasa minor namun berada dalam koridor positif mencerminkan kompleksitas dalam mengelola keberagaman dan kekuasaan. Pendekatan ini, meskipun tampak kurang tegas, dapat menjadi strategi efektif untuk membangun persatuan dalam keberagaman. Tantangannya adalah memastikan bahwa "keminoran" ini tidak mengurangi efektivitas atau kejelasan kebijakan, sambil tetap menghormati dinamika multikultural masyarakat.

Dalam konteks Indonesia yang beragam, pendekatan ini dapat sejalan dengan prinsip "Bhinneka Tunggal Ika", di mana kekuasaan dijalankan dengan cara yang menghormati dan mengakomodasi keberagaman, tanpa mengorbankan kesatuan dan efektivitas pemerintahan.

Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks, konsep persatuan telah berevolusi melampaui gagasan keseragaman yang kaku. Kini, persatuan yang sejati justru tumbuh subur di tanah yang diperkaya oleh kemajemukan, keberagaman, dan pluralitas. Esai ini akan mengeksplorasi bagaimana perbedaan, alih-alih menjadi penghalang, justru dapat menjadi fondasi kokoh bagi persatuan yang lebih dalam dan bermakna.

Kekayaan Kemajemukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun