Sebuah Narasi Pembuka, Untuk Kita Yang Berakal Sehat : Kedai Kopi, Di KLASIKA.
Klasika, Definisi, Wik-Wik, Ala Wikipedia.
Klasika
Klasika (Serapan dari bahasa Latin: classica) adalah cabang dari Humaniora yang meliputi bahasa, sastra, filsafat, sejarah, seni, arkeologi, dan kebudayaan lainnya di dunia Mediterania kuno (Zaman Perunggu, sekitar 300 SM - Antikuitas Akhir sekitar 300-600 M), khususnya Yunani Kuno dan Romawi Kuno selama masa Antikuitas Klasik (sekitar 600 SM – 600 M). Pada awalnya, studi Klasika merupakan studi utama dalam Humaniora.
     Tergerak di atas definisi, ini terutama, saya pernah mengecap perkuliahan di Fakultas UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, di jurusan Sejarah Peradaban Islam, yang tidak selesai atas beberapa alasan, secara pribadi.
      Saya, pun kemudian melintasi objek dalam berbabagai petualangan dimensial, dalam fenomena, dan artikulasi kata, terkait, dengan motif yang kurang lebih sama. Dan, memutuskan, meyinggahi, di seputaran, Sukarame, sebuah ruang dalam pengertiannya sendiri adalah, "Rumah Ideologi" di Kota Bandar Lampung, yang bernama, KLASIKA. Sebagai, persinggahan, dan orang tak diundang, layaknya, pejalan yang meminta secercah air minum.
Sebuah Narasi Pembuka, Untuk Kita Yang Berakal Sehat.
        Suatu ketika, saya berkunjung, ke tempat, bernama KLASIKA, sebuah rumah Ideologi dan pengkaderan secara aktif, beberapa kelas dalam materi filsafat, terkait pembelajaran peserta didik, terutama mahasiswa, perguruan tinggi. Dan, kemudian bertemu para kader -pemikiran- pada angkatan ke- 13, kelas mondok di KLASIKA, sedang merumuskan "akal sehat" (common sense) mereka kembali. Saya, pikir tidak jarang para pembelajar dan penuntut ilmu, di ruang-ruang study, di perguruan tinggi, tidak menemukan etos bagi passion atau semangat, dan kecenderungan belajar mereka, yang bisa saja karena faktor badai dari arus kebudayaan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, memberi terpaan yang berarti, dan membuat kuada-kuda yang lemah terhempas oleh paradigma, dari kesenjangan terhadap artikulasi realitas, objek, dan spiritual juga, terhadap kontradiksi cara pandang individu, dan parameter kolektif sosial, serta ruang publik, akan moralitas, dan tradisi, serta arus modermisasi, terutama di era yang global dunia industri, yang bersamaan, dengan lajunya, motif, sumberdaya, perekonomian Indonesia, yang menggerus imajinasi dan akal sehat seseorang.
     Dalam hal, ini saya sangat berharap dengan ruang study, seperti halnya, KLASIKA, dalam langkah yang mengafirmasi pembinaan, bagi kader para mahasiswa, perguruan-perguruan tinggi, tanpa terkecuali. Sebagai, yang dimaksudkan dalam artikulasi yang tentu saja menghasilkan atau menciptakan suatu idiom dalam pengertian yang positif, menjembatani, parameter berpikir yang sehat, dan menumbuhkan, sumberdaya, energi dan semangat, yang mendorong, kepada antusiasisme, dengan membina etos, bagi generasi mahasiswa di perguruan tinggi.
Kedai Kopi, Di KLASIKA.
      Ada hal, yang kemudian, menghampiri saya sebagai bentuk, semanagat nilai, yang fundamental, yang membangun eksistensi bagi ruang kaderisasi yang saya singgahi ini, sebagai sebuah fenomena dari dimensi, yang menawarkan secara hangat, "keakraban" dalam beberapa parameter hal, yang berada di tengah, tengah, kehidupan yang secara umum, ada di setiap masyarakat kota ini (Bandar Lampung). Seperti, berada di sebuah ruang kafe-tariant, atau "kedai kopi", dengan menu kopi pilihan, dalam menikmati suasana potret senjakala, dari sana. Juga, seperti, musik, puisi, dari beberapa pengurus, dan nuansa-nuansa, yang klise, dan puitik, sebagai romantika yang abadi, serta, pertanyaan, eksistensial, dan juga seni kepenulisan, hal yang berada di luar koridor, di luar atensi saya, pada parameter prioritas dari agenda kegiatan kaderisasinya, yang lebih merupakan suara yang jernih dari ruang berpikir yang dialektis dalam kerangka, yang cenderung, filosofis. Meski, sempat ikut turut serta nimbrung, tanpa alasan yang kongkrit, namun, saya rasa, ada hal, yang melatarbelakangi ke-integralitasan bagi nilai-nilai komponennya, yang ada. Yang, merasakan, seperti telah akrab sebelumnya, dalam suatu pokok dasar kesadaran dalam permasalahan yang sama. Selain, obrolan-obrolan, saya nikmati, sebagai ruang kartal, dalam katarsisi, dari pelepasan emosi yang negatif, semacam stressing-point, yang terlalu berlebih. Dalam, benak pikiran saya.
      Hal-hal, yang tercecer di luar aktivitas dan inti persoalan, seperti, musik, dan majas dari bahasa-bahasa problematika para pegiat KLASIKA, yang beberapa saya kenal, meski tidak terlampau intens, dalam sisi yang temu dan intensitasnya.Â
      Saat, kegagapan kita, mengucapkan hal-hal yang mungkin saja sangat primer, dalam relasi keterhubungan yang relatif, mengukur interaksi, yang saling memberi celah ruang bagi relate, dalam realitas menjembatani, pokok persoalan masing-masing orang, dalam mengahasilkan, peluang bagi ruang lingkup lingkungan, kehidupan dan habitat, kebiasaan yang sejalan dengan nilai dan cita-cita bagi kemanusiaan, masing-masing subjek individu dalam menjalin kemitraan dan persahabatan yang saling memberi ruang manfaat secara timbal balik. Seolah-olah, setiap orang, di dalam kesadarannya, sempat mempertanyakan, "siapa?" Yang bahkan, seperti mempertanyakan keberadaan diri sendiri. Di hadapan, sebuah proyeksi cermin, akan halnya, bayang-bayang diri sendiri. Namun, saya rasa jelas secara suatu hal yang di takdir kan, dan dimana panas tubuh kita menghantarkan sinyalemen bagi ruang yang sejalan, bagi gagasan dan ide, tentang suatu subjek yang melekat dengan suatu asumsi perihal akan sesuatu, atau branding dari skup persoalan yang sama. Ya, katakan, saja demikian sebagai upaya dalam menjelaskan, akan hal yang mungkin belum kita pahami sebagai realitas yang terjadi di masa yang akan datang, yang mungkin baik bagi semua orang, dan sebuah pertemuan dalam ruang yang interaktif tersebut dapat kita kenang sebagai sebuah momentum dari batu loncatan yang menuju arah pengaruh, dan perubahan serta pergantian kepada suatu nilai yang lebih diharapkan, sebagai pintu yang bertitik tumpu, pada kemaslahatan, dan keselarasan di atas majemukkan yang ada, di kemudian hari. Saya, harap demikian, amin.
      Mungkin, apa yang saya pikirkan dalam frase berikut tadi, (Kedai Kopi) yang adalah, sejalan, jika hal ini kemudian sebagai ruang kreativitas baru, dalam nuansa yang lama, yang telah ada sebagai motifasi dan polarisasi, keakraban terutama dalam bermusik, menjadi komposisi pelengkap, dalam struktur ideal, nama KLASIKA, dalam memberdayakan musik dalam lintas KLASIKA, dalam kapasitas sebagai, "Rumah Ideologi" atau pun juga, dalam kapasitas terkait Ruang-Kader, dan subtansi lain sebagai nilai, yang tidak kalah pentingnya, bagi KLASIKA, sebagai suatu ungkapan di tengah masyarakat, dalam klaritasnya, untuk mengucapkan nama tersebut, baik, sebagai nomina, atau verba, sebagai, kerja-kerja yang berdimensi ruang idealisme founding-parentnya.
Kedai Kopi.
    Sebagai, presfektif, presgentif dimana bagi saya, seperti menikmati, bagian-bagian dari syair, musik, dan lagu, tersendiri, yang bisa saya nikamati, sebagai empirisme, dan eksperince, dalam dunia petualangan saya, merambah, densi dari partikular-partikularitas kehidupan di tengah-tengah dimensi sosial, masyarakat, di kota Bandar Lampung. Yang, bukanlah, pewarta sesungguhnya, dalam formalitas id, namun, inilah sebagai bagian dari kesan yang saya dapatkan. (A.W.E).
Bandar Lampung, 30 September 2023.
source.Â
https://www.facebook.com/klasika.kader?mibextid=ZbWKwL
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Klasika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H