Mohon tunggu...
Ahmad Sofian
Ahmad Sofian Mohon Tunggu... Dosen -

Ahmad Sofian. senang jalan-jalan, suka makanan tradisional dan ngopi di pinggir jalan :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Prostitusi Anak Laki-laki Online

4 September 2016   18:53 Diperbarui: 4 September 2016   19:13 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.amazon.co.uk

Belakangan publik dikejutkan dengan maraknya kasus prostitusi anak lak-laki yang diperjualkan kepada konsumen seks anak. Bareskrim Mabes Polri berhasil memgongkar satu sindikat kejahatan ini.  Anak laki-laki yang “diperjualbelikan” tersebut tidak saja dilakukan secara off-line tetapi juga dilakukan secara online. Dalam kasus ini, seorang residivis terlibat.

Keterlibatan residivis ini sudah dapat dipastikan karena bisnis seks anak merupakan sebuah bisnis yang sedang mengalami booming di Indonesia, karena berbagai faktor. Upaya penanggulangan dan pencegahan masalah ini tidak maksimal dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah sehingga kasus demi kasus terjadi.

Anak-anak yang diperjualbelikan kepada  penikmat seks merupakan tindak pidana, tidak peduli apakah anak-anak tersebut setuju untuk diperjualbelikan, karena secara hukum internasional dan hukum nasional anak yang berusia di bawah 18 tahun belum memiliki kapasitas dalam memberikan persetujuan untuk menjadi objek seks komersial. Tulisan ini akan mengungkap sedikit fakta akademik soal kejahatan ini terutama anak-anak yang diperjualbelikan melalui media online dalam persfektif kriminologi. Jual beli anak melalui media online merupakan bagian dari dari Sexual Exploitation of Children Online(SECO).

Sexual Exploitation of Children  Online (SECO) dapat diartikan sebagai kejahatan yang ditujukan kepada anak-anak dengan memanfaatkan informasi dan teknologi sebagai media untuk mengkomunikasikan, mempertunjukkan, mempertontonkan atau mendistribusikan material pornografi anak atau aktivitas seksual anak. 

Anak-anak dijadikan objek kekerasan seksual dan menjadi objek seks komersial (Catherine Beaulieu, 2011). SECO ini pun tidak sebatas pada pendistribusian atau mempertontonkan anak sebagai objek seks dan objek komersial, termasuk juga memiliki gambar-gambar porno, suara anak yang direkam yang mengandung konten erotisme, dan segala seuatu yang mengandung kontens seksual anak yang disimpan di dalam komputer karena memilki potensi untuk disebarluaskan.

Secara umum  kasus-kasus  SECO sangat memprihatinkan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di banyak negara. Bentuk SECO yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah prostitusi anak online dan pornografi anak online yang banyak memanfaatkan fasilitas internet. Pemanfaatan anak-anak untuk tujuan seksual online melalui internet telah banyak ditemukan oleh penegak hukum. 

Beberapa kasus berhasil dibawa ke pengadilan namun sebagian besar kasus tidak berhasil menghukum pelaku karena sulitnya mengakses korban tindak pidana. Kasus-kasus kejahatan seksual online pada anak di masa depan diperkirakan mengalami peningkatan seiring dengan tingginya pengguna internet di Indonesia.

Menurut Kementrian Informasi dan Komunikasi, pengguna internet di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 93,4 juta dan pada tahun 2016 ini diperkirakan meningkat menjadi 102,8 dan pada pada tahun 2017 diperkirakan melonjak menjadi 112, 6 juta atau menjadi peringkat 5 dunia terbesar pengguna internet setelah China, Amerika Serikat, India dan Brazil.

Tidak ada statistik resmi yang menunjukkan penyebaran kasus-kasus seksual anak online. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencaatat pada kurun waktu 2015 ada 1366 kasus pornografi dan kejahatan siber pada anak. Meski demikian, laporan ini tidak menunjukkan validitas data yang akurat, karena hanya didasarkan pada  temuan media, dan yang didasarkan pada kasus-kasus yang dilapokan kepada komisi ini. Namun demikian, sekurang-kurangnya sudah ada statistik kasus yang berhasil dikumpulkan sehingga mendorong institusi lain untuk melakukan validitas atau bahkan pengumpulan data.

Pemetaan yang dilakukan oleh sebuah NGO nasional yaitu  ECPAT Indonesia (End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes)  tentang tindak ini tahun 2013 menunjukkan bahwa ditemukan sejumlah fakta terjadinya SECO di beberapa wilayah Indonesia.

Pemetaan yang dilakukan oleh ECPAT ini mendapat dukungan dari sebuah organisasi perlindungan anak asal belanda yaitu Terre des Hommes. Pemetaan  ini dilakukan di tiga kota yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung dan menemukan bahwa karakteristik anak yang menjadi korban tindak pidana SECO adalah anak-anak yang menggunakan media sosial dan anak-anak lain yang dijadikan korban. 

Ditemukan fakta,   media sosial menjadi alat untuk mempromosikan anak-anak kepada konsumen, sejumlah forum online terbentuk dalam rangka mengeksploitasi anak-anak, tukar-menukar gambar dan video yang dilakukan oleh para kelompok sebaya, dan ditemukannya sejumlah jaringan anonymus yang terlibat dalam eksploitasi seks ini, sulit mengakses dan menemukan korban sehingga minim sekali kasus SECO yang dibawa ke ranah penegakan hukum.

Pelaku kejahatan seksual anak online ini tidak melakukan kontak fisik dengan anak, mereka mengeksploitasi gambar dan video anak-anak tersebut dengan memproduksi, menyaksikannya, lalu mendistribusikannya, bahkan menggandakannya. Berbagai saluran digunakan untuk mengeksploitasi gambar dan video anak tersebut, seperti web, social media, networks group. Para pelaku tidak hanya datang dari satu negara tetapi juga dari berbagai negara. Batas-batas negara dalam kejahatan ini tidak terlihat lagi.

Tiga kota yang menjadi target pemetaan menemukan  kasus-kasus SECO yang memiliki karakreristik berbeda. Sebuah NGO lokal di Surabaya dalam kurun waktu 2013 menemukan 6 kasus SECO, anak-anak yang menjadi korban ini dieksploitasi melalui media sosial. Lima orang anak korban SECO di Bandung berhasil diwawancarai. Sebagian dari mereka “dijual” oleh germo melalui sebuah web khusus. Web ini mempromosikan sejumlah gadis belia kepada para pelanggan.

Anak-anak juga “dipasarkan” melalui sejumlah media sosial dan pesan singkat. Sejumlah anak-anak pun secara voluntary mendistribusikan gambar-gambar porno kepada pembeli seks anak dan kepada rekan-rekan sebaya mereka.

Sebuah informasi mengejutkan dari anak, ditemukan pengalaman seorang anak melakukan hubungan seksual online dengan video streaming kepada seorang pelaku kejahatan seksual anak dari negara lain. Sementara itu, di Jakarta sejumlah anonymus networkgroups berkembang, group-group ini mendistribusikan gambar-gambar dan video porno anak. Anggota networksgroup menyebar di seluruh Indonesia.

Evaluasi Penanganan SECO di Indonesia

Indonesia sendiri telah memiliki sejumlah undang-undang yang melindungi anak-anak dari kejahatan seksual online yaitu Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002 jo UU No. 35/2014), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11/2008) dan Undang-Undang Pornografi (UU No. 44/2008). Ketiga undang-undang ini secara substansi memberikan porsi terbatas dalam melindungi anak dari  tindak pidana seksual online.  Undang-undang ini belum dapat mengakomodir SECO secara komprehensif dan  masih bersifat  parsial.

Ketiga undang-undang ini tidak mendefinisikan kejahatan seksual anak online.  Undang-Undang Perlindungan Anak misalnya hanya mengatur tentang sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual anak yang meliputi persetubuhan dan pencabulan. Tidak ada aturan khusus tentang kejahatan seksual anak online dalam undang-undang ini. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008  tidak  menyebutkan permasalahan SECO sebagai bagian dari dari tindak pidana eksploitasi seksual anak  tetapi malah mengkategrikannya sebagai bagian dari  tindak pidana kesusilaan.

Sedangkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah mengatur semua hal terkait kejahatan pornografi pada umumnya tetapi penyusun undang-undang tidak mengatur secara khusus tentang tindak pidana pornografi anak termasuk definisi dan unsur-unsur tindak pidana ini.

Dapat dikatakan bahwa pengaturan SECO dalam perundang-undangan di Indonesia masih belum sejalan dengan standard internastional terutama sebagaimana diatur dalam Opsional Protokol tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak. Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi opsional protokol ini melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2012.

Di Indonesia belum tersedia focal point  yang secara khusus menangani soal SECO. Telah terbentuk gugus tugas pencegahan dan penanganan pornografi sebagai konsekuensi disyahkannya undang-undang No. 44/2008.

Namun ketua gugus berada Kementerian Agama, sehingga tindak pidana pornografi (yang merupakan dari SECO) dinilai sebagai kejahatan moral bukan sebagai kejahatan yang menggunakan perangkat tehnologi informasi. Gugus tugas ini tidak mampu menangani masalah tindak pidana pornografi anak, karena konseptualisasi  tindak pidana pornografi yang didefinisikan  terlalu luas sehingga menimbulkan overcriminalisation.

Saat ini ada inisiatif dari pemerintah dalam  menyusun peta jalan perlindungan anak di internet. Penyusunan peta ini dimaksudkan untuk  melindungi  anak dari kejahatan siber baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun stakeholder.

Diharapkan dengan adanya peta jalan pelindungan anak di internet ini akan dapat lebih mensinergikan program yang sudah ada sehingga dapat dilaksanakan secara serentak dan mengakomodir seluruh sasaran. Peta jalan ini akan menjadi rujukan dalam menyusun kebijakan maupun regulasi pelindungan anak di internet. Sayangnya, program ini belum berhasil mengungkap dan memetakan modus operandi kejahatan ini, belum juga melakukan langkah-langkah penegakan hukum kepada pelaku dan akses perlindungan kepada korban.

Kementrian Informasi dan Komunikasi giat melakukan pembatasan konten internet yang mengandung unsur pornografi dengan  filtering  sehingga anak-anak tidak terpapar konten pornografi dan anak-anak tidak dijadikan target pornografi. Program ini belum menyasar secara khusus tentang SECO, masih sebatas pada muatan internet yang mengandung pornografi baik pornografi dewasa maupun pornografi anak. 

Tentu saja program ini tidak sepenuhnya mampu menanggulangi SECO karena SECO bukan saja sebatas pada pornografi anak. Karena itu diperlukan langkah-langkah strategis dan penguatan kapasitas institusi ini dalam menanggulangi SECO.

Markas Besar Kepolisian RI telah membentuk sub direktorat untuk pemberantasan cybercrime dan salah satu yang menjadi perhatian unit ini  adalah kejahatan seksual online. Namun karena keterbatasn sumber daya manusia maupun sumber dana maka kasus-kasus SECO yang berhasil ditangani juga sangat sedikit sekali.

Unit ini hanya ada di Markas Besar Kepolisian RI dan ditambah dengan 3 Kepolisian Daerah di Indonesi.  Oleh karena itu,  kasus-kasus SECO yang masuk dalam pengadilan juga sangat minim. Praktis tidak banyak kasus yang diproses penegak hukum Indonesia. Kesulitan yang dihadapi adalah ruang lingkup SECO yang luas sehingga memerlukan keahlian khusus dari penegak hukum.

Penutup

Paparan yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa kasus-kasus kejahatan seksual online pada anak akan masih terjadi. Program penanggulangan masalh ini masih sangat terbatas. Pemahaman yang keliru atas SECO dan bentuk-bentuknya sehingga terkesan menyederhanakan trendkejahatan ini Penegak hukum masih belum mampu menanggal kejahatan seksual online pada anak.

Perangkat hukum yang lemah, keahlian penegak hukum yang terbatas, serta sulitnya mengakses korban tindak pidana ini karena berada dalam lingkup online. Hukum nasional kita masih menghendaki adanya berita acara yang memeriksa korban tindak pidana ini, dan korban yang harus hadir di pengadilan baik secara fisik maupun virtual.

Selain itu, masih adanya persepsi yang keliru dikalangan penegak hukum bahwa ketika korban menyetujui dirinya menjadi objek seks komersial maka langkah penyidikan terhenti.  Penguatan kapasitas terhadap unit cybercrime kepolisian  perlu dilakukan, bahkan jika dimungkinkan unit ini tidak hanya berada di beberapa propinsi saja tetapi memperluas wilayah kerjanya di  Indonesia agar korban dapat terlindungi.  

Hal penting lainnya yang perlu dilakukan adalah menghentikan permintaan seks pada anak.  Penghentian ini dapat dilakukan dengan pemberian hukuman kepada pembeli seks anak, stakeholder yang memfasilitasi bisnis seks ini termasuk sektor swasta, karena “TKP” berlangsungnya hubungan seks ini kebanyakan berlangsung di hotel atau fasilitas akomodasi lainnya.  Kampanye yang terus menerus harus dilakukan agar penikmat seks anak “tersadar”, bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kejahatan mendasar atas harkat dan martabat anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun