Mohon tunggu...
Ahmad Sofian
Ahmad Sofian Mohon Tunggu... Dosen -

Ahmad Sofian. senang jalan-jalan, suka makanan tradisional dan ngopi di pinggir jalan :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenapa Harus Menolak Kebiri?

1 November 2015   16:27 Diperbarui: 1 November 2015   16:45 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemberian pemberatan hukuman pada pelaku kejahatan seksual anak dengan mengebirinya melalui suntikan carian kimiawi, menunjukkan cara berfikir balas dendam yang merupakan pendekatan hukuman yang sudah lama ditinggalkan. Pendekatan ini pun dinilai merupakan pendekatan hukuman yang dilakukan oleh masyarakat primitif dan terkesan barbarisme. Penghukuman pemberatan dengan kebiri hampir tidak memiliki korelasi dengan berkurangnya kejahatan seksual pada anak, di banyak Negara hukuman balas dendam kepada pelaku kejahatan sudah tidak popular lagi, bahkan menimbulkan banyak protes dari masyarakat dan berbagai organisasi hak asasi manusia.[8] Secara akademik hukuman ini juga tidak memberikan efek pemulihan pada korban. Seorang ahli kriminal anak Jocelyn B. Lamm dari Yale University, mengatakan bahwa krimimalisasi tidak memberikan efek jera sama sekali kepada pelaku tindak pidana ini, karena itu diperlukan pola-pola penuntutan yang dapat memberikan rasa “terlindungi” dan rasa “pemuliaan” yang dihadiahkan kepada korban kejahatan ini. Anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual apakah perkosaan, incest atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak lainnya jarang sekali mendapatkan apa yang dia sebut dengan “deserving of legal protection and remedies”. Menurutnya hukum telah gagal menyediakan apa yang dia sebut dengan “meaningful relief”. Korban tindak pidana ini telah mengalami dan menderita “psycological injuries”, karena itu sudah sepantasnya korban menerima perlakuan restitusi dan kompensasi yang wajar akibat dari tindakan pelaku ini.[9]

Soal restitusi yang dikaitkan dengan hukum pidana sudah mendapat banyak perhatian dan pembahasan, salah satunya adalah Anne O’Driscoll dari Victoria University. Dia mengatakan bahwa untuk korban-korban kejahatan terutama kejahatan seksual pada prinsipnya tidak selamanya menyetujui pidana yang seberat-beratnya pada pelaku, tetapi bagaimana agar mereka memperhatikan luka fisik, luka mental dan luka seksual yang dialami oleh korban. Hal ini jauh lebih penting daripada mengirimkan para pelaku bertahun-tahun di dalam penjara-penjara atau benuk hukuman fisik lainnya. Karena itu lebih baik-baik mereka diperkenankan bekerja dan uang hasil kerjanya dipergunakan untuk membayar sesuatu yang hilang dari diri korban. Dia mencontohkan anak-anak dan perempuan yang menjadi korban perdagangan orang untuk keperluan seksual. Bertahun-tahun anak-anak dan perempuan ini tenaganya diperas, lalu melayani para tetamu, dan ketika polisi berhasil membongkar sindikasi dan menangkap pelaku, maka yang terjadi mereka dipulangkan ke keluarga dan dibiarkan begitu saja, dimanakah hasil rampasan dari pelaku? Dan bagaimana tanggung jawab pelaku kepada korban ? Karena itu korban harus segera dipulangkan dengan biaya dari pelaku, korban juga harus dipulihkan hak-hak dari biaya pelaku, ketika Negara gagal memaksa pelaku membayar, maka negaralah yang bertanggung jawab dalam bentuk kompensasi untuk mengganti dan memulihkan anak, karena Negara telah gagal melindungi anak-anak dari kejahatan seksual, gagal memberikan rasa aman pada anak-anak.[10] 

Jalan Keluar

Mengkebiri pelaku bukan jalan keluar yang adil bagi korban, tidak ada hubungan yang significan antara kebiri dan berkurangnya kejahatan seksual anak, tidak ada efek yang ilmiah, korban akan pulih dengan diberikannya hukuman tambahan kebiri kepada pelaku. Karena itu, pengkebiriaan merupakan respons yang emosional dan bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang hakiki. Kebiri juga sebagai upaya Negara untuk melakukan balas dendam yang tidak secara signifan meminta tanggung jawab hukum pelaku pada korban. 

Diperlukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) yang memberikan hukuman tambahan dalam bentuk “Resitusi dan Kompensasi kepada Korban dan Perawatan Psikologis pada Pelaku” dalam rangka memulihkan hak-hak korban secara total, mekanisme ini harus diciptakan dalam PERPU tersebut. Restitusi dan kompensasi memiliki akar pemidanaan yang kuat karena arah pemidanaan Indonesia ke depan adalah pada pemulihan hak-hak pada korban   (victim oriented) yang diakibatkan oleh pelaku tindak pidana. Dengan demikian, tanggung jawab pelaku dalam bentuk restitusi ini dimasukan dalam PERPU tersebut sebagai bagian dari hukuman tambahan. Namun Negara pun harus bertanggung jawab kepada korban, karena gagal dalam melindungi anak dari praktek kekerasan seksual, sehingga wujud dari kegagalan maka Negara memberikan kompensasi kepada korban, ketika pelaku tidak mampu memberikan restitusi. Bentuk kongkrit kompensasi adalah memberikan layanan medis, layanan psikologis hingga ganti keugian pada korban yang ditujukan untuk memulihkan hak-haknya yang hilang. Perawatan psikologis pada pelaku juga penting diberikan, agar pelaku sembuh dan tidak melakukan kejahatan seksual lainnya. Pemulihan psikologis ini harus diberikan selama pelaku menjalani hukuman.

  

[1] Pasal 10 KUHP

[2] Zachary Edmods Oswald, “Off With His....” Analyzing the Sex Disparity in Chemical Castration Sentences”, Michigan Journal of Gender and Law, Vol 19:471, 2012-2013, hlm. 484

[3] Ibid

[4] Ryan Cauley, “Is Chemical Castration a Progressive or Primitive Punishment, Balls are in Your Court, Iowa Legislature” The Journal of Gender, Race and Justice, Vol 493, 2014, hlm. 496-497

[5] Zachary Edmods Oswald, “Off With His....” Analyzing the Sex Disparity in Chemical Castration Sentences”, Michigan Journal of Gender and Law, Vol 19:471,2012-2013, hlm. 495

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun