Mohon tunggu...
Ahmad Sofian
Ahmad Sofian Mohon Tunggu... Dosen -

Ahmad Sofian. senang jalan-jalan, suka makanan tradisional dan ngopi di pinggir jalan :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Generasi Tawuran (Ahmad Sofian, SH, MA - Fak. Hukum UI)

3 Desember 2011   12:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:53 1501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Ahmad Sofian[1]

Seolah tak ada hentinya tawuran di negeri ini, dan uniknya tawuran bukan saja terjadi pada kalangan pelajar, tetapi juga meningkat pada lapisan sosial yang lebih tinggi yaitu di kalangan mahasiswa, dan bahkan wartawan pun "terperangkap" dalam tawuran dengan segerombolan pelajar salah satu sekolah di Jakarta. Yang tak kalah serunya juga adalah tawuran antar warga yang kerap terjadi, keterlibatan warga dalam tawuran dipicu oleh beragam masalah, mulai dari masalah lama yang tak kunjung selesai, sampai kepada masalah yang diciptakan oleh kelompok tertentu.

Serangkaian tawuran yang terjadi antar kelompok-kelompok dalam masyarakat ternyata juga terjadi pada elit politik. Elit politik melakukan "tawuran" dalam bentuk lain, jika pelajar dan masyarakat "bertawuran" dalam bentuk fisik, maka tawuran pada elit politik dalam bentuk "perang kata-kata", tak ada batu yang berterbangan tetapi serangkaian pernyataan yang muncul di berbagai media. Tak ada pula yang terluka secara fisik, tetapi situasi politik menjadi runyam dan tak menentu.

Tulisan ini tidak membahas negeri yang carut marut dengan beragam tawuran ini, tetapi memberikan kontribusi pada tawuran yang berlangsung pada kalangan pelajar. Bila ditilik dari kosa katanya tawuran atau perkelahian ini sebenarnya merupakan bagian dari pada kenakalan remaja (juvenile deliguency) yang merupakan bagian dari pada proses berkembangnya pola tingkah laku yang menyimpang pada anak-anak dan remaja. Namun dalam prakteknya, jika kenakalan ini tidak bisa dikelola dengan baik, maka perbuatan ini akan menjadi salah satu bentuk tindak pidana yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat.

Tawuran Vs Penyimpangan Norma Hukum

Ternyata tawuran antar pelajar di Indonesia sudah berlangsung selama hampir tiga dekade dan tawuran menurut kacamata Winarini Wilman merupakan manifestasi dari perilaku kelompok (Kompas, 26 November 2011). Pandangan ini tentu saja bisa dibenarkan jika dilihat dari optik psikologi, namun pandangan psikologi ini tidak memberikan jalan keluar yang konkrit untuk penyelesaian tawuran, karena manifestasi kelompok sebagai pemicu tawuran bentuknya sangat abstrak dan tidak bisa diselesaikan dalam periode waktu tertentu yang terukur.

Melihat tawuran sepatutnya harus dikaitkan dengan pelangggaran norma hukum yang hidup di dalam masyarakat. Masyarakat menginginkan terjadinya ketertiban antar individu maupun antar kelompok. Tawuran yang berlangsung selama puluhan tahun tidak akan memujudkan keteraturan yang didambakan masyarakat dan bahkan masyarakat senantiasa dihantui rasa takut atas tawuran yang dapat berlangsung setiap saat. Penyelenggara negara termasuk penegak hukum tidak mampu mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Tanggung jawab negara dituntut untuk menciptakan keajegan yang sesungguhnya dan menyelamatkan generasi muda ini.

Dalam kasus tawuran, yang terlihat lebih kental adalah penyimpangan norma hukum. Penyimpangan norma hukum (deviant) yang dilakukan secara massal oleh sekelompok siswa dipicu oleh banyak faktor, tidak hanya karena faktor historis dan diturunkan pada generasi berikutnya, atau juga karena sentimen kelompok yang merasa lebih powerfull dibandingkan kelompok lain. Perilaku deviant ini merupakan bagian dari perbuatan melanggar norma hukum, hanya saja kadar dan tingkatannya masih bisa ditolerir sehingga alat-alat penegak hukum tidak secara kaku menerapkan sanksi hukum yang berlaku, namun masih bisa dilakukan upaya "diskresi" atau penyimpangan dari prosedur hukum formal yang baku.

Pelajar yang melakukan perilaku deviant tidak mengetahui konsekuensi jangka panjang ketika dia melakukan perbuatan tersebut. Karena siswa dianggap tidak mengetahui resiko jangka panjangnya, maka intervensi hukum pun menjadi "minimalis" artinya langkah-langkah hukum normal yang harus dilakukan atas peristiwa pidana menjadi alternatif terakhir selagi bisa ditemukan alternatif lain yang bisa melindungi kepentingan terbaik pelajar dan kepentingan masyarakat yang dirugikan. Hanya saja dalam tawuran yang berlangsung selama ini, tidak juga ditemukan alternatif terbaik dalam menyelesaikannya sehingga peristiwa ini berlangsung terus menerus hingga sekarang.

Mengelola Tawuran

Selama ini yang terlibat di garda depan dalam menyelesaikan tawuran adalah polisi. Polisi seolah bertindak sebagai pemadam kebakaran, yang siap tempur memadamkan tawuran yang bisa terjadi setiap saat. Jika telah terjadi tawuran, langkah-lagkah konvensional yang dilakukan oleh polisi adalah mengumpulkan para siswa yang terlibat tawuran, memanggil orang tua dan guru dan membuat pernyataan untuk tidak mengulanginya lagi. Dalam hal ini polisi bertindak sebagai mediator antara pihak-pihak yang bertikai dan menyelasaikannya. Efektifkan upaya ini ? Jika memamg efektif maka tentu saja tawuran berkurang baik dari skala maupun kuantitasnya. Kelihatannya polisi kehilangan ide dalam menemukan metode lain dalam menyelesaikan tawuran ini.

Jeremy Bentham seorang ahli filsafat hukum pernah mengatakan bahwa hukum memiliki manfaat yang besar dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat. Hukum juga memiliki cara-cara yang efektif dalam menyelesaikan konflik tersebut sehingga mampu menciptakan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak mungkin orang (the greatest happinest for the greatest numbers).

Berpijak pada paparan ini maka sebenarnya hukum memiliki cara-cara efektif dalam menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat. Tawuran merupakan bagian dari konflik karena telah terjadi ketidaktertiban dan ketidakteraturan. Dalam penyelesaian ini, fungsi hukum bukan saja untuk menindak para pelaku dan menjebloskan dalam sistem peradilan pidana, tetapi ada mekanisme yang mampu memberikan rasa keadilan bagi semua fihak.

Salah satu mekanisme hukum yang bisa ditawarkan dan memberikan manfaat yang besar bagi sebanyak mungkin orang adalah dengan menerapkan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice). Konsep keadilan restoratif ini dalam tehnis pelaksanaannya akan melibatkan guru, orang tua, pelajar, wakil-wakil masyarakat dan tentu saja polisi. Para pihak bertemu untuk mendiskusikan penyelesaian yang adil atas tawuran yang terjadi, selanjutnya membuat ketetapan yang disepakati oleh semua pihak. Pelajar yang melakukan tawuran akan diminta pertanggungjawabannya atas kerusakan fasilitas publik, kerugian materil maupun biaya pengobatan pelajar yang terluka. Pelajar yang terbukti bersalah bisa saja melakukan kerja sosial untuk membayar ganti rugi tersebut. Atau ganti rugi ini dibebankan kepada orang tua dan atau sekolah. Wakil-wakil masyarakat yang dilibatkan dalam penyelesaian konflik ini dapat memberikan saran-saran yang efektif guna mencegah tawuran di kemudian hari. Jika para pihak melanggar kesepakatan ini, maka sistem peradilan pidana akan diterapkan kepada pihak yang melanggar.

Model penyelesaaian restoratif ini ternyata terbukti efektif dalam menekan angka tawuran di beberapa negara, sebut saja misalnya Canada, Filipina, Norwegia dan beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin yang telah lebih dahulu menerapkan keadilan restoratif ini dalam menyelesaikan perilaku menyimpang di kalangan anak dan remaja. Harapannya semoga ungkapan bijak Jeremy Bentham bisa terwujud bagi kebahagian sebanyak mungkin pelajar : the greates happinest for the greatest students.

[1]Penulis adalah Mahasiswa Program S-3 Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun