Pernikahan dini anak perempuan ini, mengandung risiko amat besar bagi anak-anak, karena banyak menimbulkan ekses negatif seperti perceraian, keguguran dan gangguan kesehatan reproduksi lainnya.
Menurut Survey Nasional tahun 1998 ada lima provinsi dengan angka pernikahan dini yang cukup mengkhawatirkan di Indonesia yaitu Jawa Timur (39,43 persen), Kalimantan Selatan (35,48 persen), Jambi (30,63 persen), Jawa Barat (30,36 persen) dan Jawa Tengah (27,84).
Pedofilia
Seseorang yang merasa bergairah kepada anak-anak untuk berhubungan seksual dinamakan pedofilia (dari bahasa Yunani: paidophilia). Perilaku seks kaum pedofilia antara lain: memamerkan alat kelamin, mengambil foto anak-anak dalam situasi bugil atau setengah bugil, menyuruh anak menyaksikan persetubuhan, dibawa ke hotel dan kemudian diberi pil sehingga anak tidak sadar lalu diperkosa. Juga meraba atau mencium anak-anak, sodomi dan sebagainya.
Di Indonesia kasus pedofilia yang menonjol adalah kasus yang terjadi di Bali dan beberapa daerah tujuan wisata lain di Indonesia seperti Batam, Sumatera Utara dan sebagainya. Hasil penelitian Rohman dan Rosy (1999) tentang masalah ini sungguh mencengangkan. Selama penelitian, mereka telah menemukan 10 kaum Pedofil yang umumnya adalah orang asing dan para korbannya adalah anak-anak perempuan dari desa miskin di Bali. Anak-anak ini sebagian malah sudah diboyong ke negaranya.
Daerah lain sudah terbukti adanya kasus pedofilia adalah Sumatera Utara, yakni di kawasan Tanjung Morawa, Deli Serdang ada tiga kasus yang berhasil diekspos media massa dengan pelaku orang asing juga menyamar sebagai guru les bahasa Inggris.
Aksi yang Sudah dilakukan
Kalau dianalisis lebih jauh aksi untuk menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) atau Commercial Sexual Exploitation of Children (CSEC) masih sangat terbatas dilakukan, dengan ruang lingkup yang kecil. Pasca Kongres I Stockholm, Pemerintah Indonesia belum menyusun National Action Plan yang disahkan sebagai agenda nasional yang resmi untuk menentang ESKA.
Dua elemen yaitu NGO dan pemerintah punya perhatian dan persepsi yang berbeda untuk masalah ESKA ini. NGO terbatas pada aksi berupa riset/investigasi, pendampingan terbatas untuk prostituted children, kampanye menentang perdagangan anak, penyelamatan dan pembentukan shelter/crisis center.
Sedangkan pemerintah baru melakukan pengesahan Konvensi ILO 182, penandatanganan Optional Protocol on CRC (Protokol Opsional Konvensi Hak Anak atau KHA) tentang Pornografi Anak, Perdagangan Anak dan Pelacuran Anak serta Keputusan Presiden tentang pembentukan Steering Committee the Worst Forms of Child Labour yang salah satunya adalah anak-anak yang dilacurkan. Disayangkan, pemerintah Indonesia belum segera meratifikasi Protokol Opsional KHA tentang perdagangan anak, pornografi dan prostitusi anak (masih sebatas menandatangani oleh Departemen Luar Negeri).
Padahal, tidak ada resistensi politik ataupun juridis bagi pemerintah untuk meratifiaksi Protokol Opsional KHA tentang ESKA tersebut. Perlu ditekankan bahwa ESKA belum dipahami sebagai pelanggaran HAM, namun hanya isu kemiskinan atau isu ekonomi saja.