Besoknya, 6 Maret 2001, ketiga gadis remaja itu datang lagi rumah Sulastri. Di sana telah menunggu Yati, tamu Sulastri. Kepada mereka, Yati mendesak segera berangkat. "Sekarang saja berangkatnya. Nggak usah besok. Makin cepat makin baik. Mumpung kalian lagi libur. Sekarang kalian pulang saja dulu. Ambil dua pasang baju dan nanti di sana kalian bisa beli bedak, baju dan perlengkpan yang lain. Nanti sore kita bertemu di simpang jalan Alfalah dekat tukang jual es kelapa. Tapi jangan kasi tau orang tua kalian."
Tina, Lia dan Citra kemudian pulang ke rumahnya. Sorenya, mereka sudah berada di lokasi yang dijanjikan. Di sana, sudah ada Yati dan Sulastri yang menyambut mereka dan langsung membawa ketiga gadis itu ke terminal bus. Sore itu juga mereka berangkat ke Pekan Baru bersama Yati. Sementara Sulastri, pulang ke rumahnya.
Tak kunjung jelas tujuan, di sepanjang perjalanan, Lia terus menerus menangis minta pulang. Namun Yati balas mengancam Lia. Rencana ke Pekan Baru justru berubah ke Tanjung Balai Karimun. Ketiga gadis itu kemudian dinaikkan ke kapal laut dan diinapkan di tempat penampungan perempuan-perempuan pelayan tamu milik seorang germo bernama Mami Fuji.
Dari tempat penampungan itu, selanjutnya ketiga ABG itu dipindahkan ke Karaoke Happy One. Pemilik tempat hiburan memberikan uang sebanyak Rp. 2,4 juta kepada Yati. Uang tersebut dianggap hutang ketiga anak tersebut -masing-masingnya berutang Rp 800 ribu--. Ktiga gadis muda itu diharuskan menandatangani surat perjanjian hutang.
Tina, Lia dan Citra tinggal di sana lebih kurang 12 hari. Selama di sana, mereka ditawarkan ke tamu-tamu dari Singapura dan Malaysia. Namun, karena belum ada kesesuaian harga, beruntung, mereka belum sempat "disentuh" para lelaki hidung belang.
Selama di karaoke, Lia terus menangis meminta pulang ke Medan. Belakangan, Yati memenuhi keinginan Lia namun dengan menyatakan ancaman bahwa Lia dilarang menceritakan apa yang dialaminya selama di Tanjung Balai Karimun.
Setiba di Medan, Lia menceritakan pengalamannya kepada orangtuanya. Kisah itu sampai juga ke telinga orang tua Tina dan Citra yang kemudian memilih berangkat ke Tanjung Balai Karimun untuk menjemput anak mereka. Tak mudah membawa pulang Tina dan Citra. Setelah bernegoisasi, Tina dan Citra diizinkan pulang setelah orangtua mereka melunasi hutang-hutang Tina dan Citra. Setibanya di Medan, kasus tiga remaja itu diketahui seorang wartawan lokal yang kemudian menyarankan orang tua Tina, Lia dan Citra melaporkan kasus tersebut ke PKPA Medan.
Pembentukan Tim Advokasi
Laporan tersebut segera ditindaklanjuti. Untuk mendalami kasus, beberapa anggota PKPA mengunjungi rumah Tina, Lia dan Citra. Berbekal keterangan yang diperoleh, PKPA menginisiasi pembentukan tim advokasi untuk mendampingi proses hukum kasus tiga remaja malang tersebut. Selain beranggotakan beberapa pengacara dari PKPA, tim juga melibatkan pengacara dari kantor pengacara profesional di Medan dan NGO seperti LBH Medan, LBH APIK, PPAI, LAAI dan LAWKI. Total pengacara yang menyatakan kesediaan membela kasus Tina, Lia dan Citra berjumlah 14 orang.
Tim advokasi yang dikoordinir PKPA selanjutnya membuat pengaduan ke Polda Sumut. Berikutnya, beberapa polisi wanita dari bagian Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Polda Sumut meminta keterangan dari ketiga korban. Tim Polwan juga langsung mendatangi rumah para korban untuk melihat situasi sosial dan memberi dukungan moril kepada korban agar tidak takut diteror para pelaku.
Selama dua minggu, Polda Sumut melakukan pengejaran dan hingga berhasil menangkap Sulastri. Namun, Yati dan Fit masih bebas. Tim kuasa hukum terus mendesak Polda Sumut segera menangkap Yati, Fit dan Mami Fuji. Sebab, mereka kerap beroperasi mencari gadis-gadis belia di Medan untuk dibawa ke Tanjung Balai Karimun.