Oleh : Ahlan Mukhtari Soamole*
Sepertinya ada keanehan dalam kebijakan pemerintah seolah baru menyadari keburukan daripada energi fosil mengandung emisi karbon. Keterlibatan aktif elit dalam sirkulasinya menjadikan isu emisi karbon sebagai fenomenal pertama di Indonesia sedangkan krisis lingkungan tambang, penambangan tanpa izin, korupsi terabaikan begitu saja. Isu emisi karbon tak lepas dari grand diskursus peralihan energi fosil ke energi terbarukan bukan hal mudah di Indonesia untuk dilakukan.Â
Wacana pembangunan berkelanjutan atau berwawasan lingkungan sebenarnya jauh sebelum munculnya SDGs, Indonesia pernah menorehkan suatu harapan sebagai negara mengintegrasikan segala aspek pembangunan berwawasan lingkungan. Salah satu pada Jenewa Rio Janeiro Brasil dan Indonesia dianggap sebagai Negara penyuplai unsur O2 terbesar di dunia.Â
Namun, pada kenyataan, sepanjang waktu pasca Konferensi Rio Janeiro hingga hari ini Negara masih berstatus terbelakang (berkembang) belum mampu mentolerir kebijakan pembangunan berkelanjutan.Â
Sebagai satu-satunya keutamaan seiring lajunya eksploitasi sumber daya alam, deforestasi hutan, perampasan hak tanah, ketergantungan energi fosil, kemiskinan, ketimpangan telah menjadi bukti nyata bahwa Indonesia belum siap menghadapi perubahan tuntutan zaman sebagaimana harapan peralihan energi fosil ke energi terbarukan untuk meminimalkan produksi emisi karbon.Â
Diskursus peralihan energi fosil ke terbarukan menimbulkan kesan tersendiri tak berarti sebab kontradiksi dengan kenyataan terjadi. Pada Agustus 2021 bertepat kegiatan LK 3 Advance Training HMI Badko Sulselbar tingkat nasional penulis pernah mengangkat tema sentral jurnal dipilih yaitu masa depan batubara sebagai sumber energi di Indonesia.Â
Alih-alih energi fosil salah satu batubara masih menjadi konsumsi terbesar negara-negara berkembang maupun maju, penggunaan terbesar batubara (energi fosil) untuk pembangkit listrik terpasang di PLTU mencapai 35, 216 MW setara 49,67 persen % dari kapasitas nasional 70.900 MW (Vincent, FA Bran T, 2020).Â
Melonjaknya konsumsi batubara amat tinggi terdapat pada sektor industri dan konstruksi, pada industri mencapai 80 %. Kebutuhan energi fosil meningkat di Indonesia terutama pada PLTU, semen menjadi ketergantungan.Â
Dalam waktu panjang bagi Indonesia sulit menuju pada transisi energi fosil ke terbarukan. Sepanjang tahun 2019 konsumsi batubara terhadap PLTU 119 juta ton, Semen 13, 9 juta ton, Pupuk 11,0 juta ton, metalurgi 4,65 juta ton, tekstil 13,21 juta ton, kertas 0,88 juta ton, briket 0,03 juta ton total rata-rata mencapai 151,86 juta ton tak memungkinkan dapat saja terjadi peningkatan tinggi pada tahun-tahun ke depannya selama investasi dan pertambangan batubara terus-menerus terjadi.Â
Upaya transisi energi fosil ke terbarukan, pengurangan emisi karbon bukan saja mengacu pada program global SDGs menjadi titik berat perhatian utama terhadap lingkungan.Â
Sebagaimana, presiden Jokowi baru saja terpilih dalam G-20 menjadikannya lebih memfokuskan pada lingkungan berkelanjutan transisi energi.Â
Namun, menurut hemat penulis kesiapan peralihan energi fosil ke terbarukan merupakan satu kesiapan untuk negara maju tak tergantung lagi pada energi fosil sebagaimana energi batubara.Â
Negara-negara maju seperti Jerman untuk pengendalian emisi karbon menggunakan System Technology Carbon and Storage berfungsi mengurangi emisi carbon terdapat pada fosil.Â
Sehingga, alih-alih pemerintah menetapkan isu fenomenal emisi karbon dan transisi energi fosil ke terbarukan di Indonesia hanya merupakan isap jempol belaka, sebab agenda tersebut lebih bersifat politis ketimbang harmonis.Â
Kebijakan grand desain politik itu mengarah pemanfaatan hasil teknologi berbasis baterai implikasi terhadap iklim investasi dunia pertambangan Nickel jauh besar labanya ketimbang batubara saat ini merosot pada pasar global terutama Negara maju.
* Ditulis Oleh Ahlan Mukhtari Soamole (Penulis adalah alumni mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar/ Mantan Ketua Umum Forum Mahasiswa Tambang Maluku Utara-Makassar.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H