Sebuah keresahan muncul mencuat menjadi kegaduhan atau pertarungan harapan dan kenyataan seringkali mengganggu pikiran ketika problem itu menyangkut suatu negara.Â
Kenyataan dipertanyakan kembali mengapa negara gagal, gagal mendistribusikan keadilan, gagal membangun kesejahteraan, gagal menentang KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) merajalela dalam suatu struktur tertentu, gagal menyongsong pembangunan berkeadilan.Â
Mengapa negara gagal bila alasannya institusi ekonomi maupun politik kecenderungan destruktif karena pengelolaan tanpa didasari nilai inklusif pembangunan bermartabat dan bermoral, berarti peran institusi politik maupun ekonomi pengelolaan dengan paradigma pasar bebas, tanpa memperhitungkan standarisasi pembangunan secara berkeadilan.Â
Semenjak paska kemerdekaan harapan negara ialah menjadikan masyarakat disegani dunia (berdikari) namun harapan itu terbengkelai dengan berbagai kepentingan sepihak. Pendidikan sebagai poros keutamaan pembangunan nampak belum selaras cita-cita konstitusional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Indonesia setiap tahun mencetak para guru besar atau professor mendedikasikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, seolah tergeletak dipersimpangan jalan. Para professor itu hanya menjadi aktor di menara gading. Tercatat jumlah guru besar di Indonesia 5.389 orang peran proffesor amat penting memberikan edukasi intelektual dan etika dalam menghadapi suatu perubahan  zaman berarti. Terutama pendirian sosok tersebut secara indenpenden, objektif, rasional dan intelektualis.Â
Ketika beberapa waktu lalu sosok seorang guru besar dari universitas airlangga tampil dalam perdebatan di salahsatu stasiun  media televisi nasional nampak proffesor sebagai staf ahli kemeninfo ikut berdebat dengan R. Gerung tendensi menyerang pribadi subjektif, padahal tindak seorang proffesor itu memungkinkannya bertindak secara rasional, objektif dan kritis. Apa yang dilakukan proffesor itu telah menurunkan martabat dan penghormatan proffesor bahwa sosok professor kini dapat menjadi kaki tangan penguasa atau teknokratuupaya menjadi pembela rezim dalam keadaan apapun, semestinya tidak dapat dilakukan oleh seorang guru besar. Moralitas negarawan itu patut menjaga indenpendensi dan sikap rasional terutama keberpihakannya pada kebenaran ilmu pengetahuan.Â
Banyaknya proffesor di menara gading mustahil lantas menyelesaikan masalah bila egoisme individual tak memiliki kesadaran paripurna tentang kebermanfaatan bagi orang lain artinya terjebak dalam kemapanan kepentingan diri dan kelompok.Â
Hal ini seringkali terjadi tak hanya kepada mereka saja, namun kepada mereka para ahli ( teknokrat) bergumul dalam kemapanan elit. Kepentingan dipertontongka elit semestinya telah menjadi bahan evaluatif kompherensif menyangkut rakyat tertindas jauh dari rasa keadilan, ketimpangan, kemiskinan, kebijakan-kebijakan menguntungkan sekelompok elit hal ini diperparah berbagai kerusakan lingkungan.Â
Pada 1997/1998 evaluasi dilakukan amat tegas dengan reformasi, reformasi sebagai titik balik spirit pembangunan manusia, reformasi merupakan momentum politik ketika rakyat meletakkan segala harapan baru dicita-citakan.Â
Dapatkah harapan itu berulangkali terjadi, negara tak pernah paripurna atau selesai (finish) namun negara itu adalah utopis secara inklusif ada berbagai cita-cita harapan, gagasan kolektif setiap saat dapat diwujudkan , reformasi itu satu bagian dari banyak hal secara dialektis terus-menerus berubah.Â
Sebab, harapan itu akan menghidupkan kehidupan politik ummat manusia, negara 'bernutrisi tinggi' adalah negara selalu dalam pembaruan menuju masyarakat adil dan makmur, seyogyanya nutrisi politik negara dikonstruksi suatu politik mensejahterakan secara jiwa dan raga.
*Ditulis oleh Ahlan Mukhtari Soamole (Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar/ Pegiat Belajar Filsafat)