HUKUMAN MATI DAN EFEK JERA
Oleh: Ahkam Jayadi
      Hukuman mati (death penalty) telah di tolak oleh masyarakat dunia. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah mengeluarkan berbagai resolusi tentang hal tersebut. Misalnya Kesepatakan anggota PBB dengan menerbitkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (1966) yang menolak sanksi hukuman mati.
      Penolakan atau penghapusan hukuman mati menjadi problematik terutama dari sisi  eksistensinya sebagai sanksi untuk memberikan ganjaran atau hukuman kepada orang yang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum. Misalnya pembunuhan keji atau pembunuhan yang sangat kejam dengan cara selain membunuh korban maka korban juga dimutilasi dengan jumlah korban hingga puluhan bahkan ratusan (ingat kasus pembunuhan terhadap puluhan korban oleh Dukun Pengganda uang di Banjarnegara, 2023).
      Betapa kita begitu serius mengkaji dan mempertimbangkan hak asasi manusia atau eksistensi diri dari seorang pelaku kejahatan dengan menolak penjatuhan hukuman mati. Sementara kejahatan luar biasa yang di alami oleh korban kita tidak pertimbangkan dengan baik. Kematiannya kita biarkan seperti membunuh atau menganiaya seekor binatang. Nyawa manusia terkadang lebih murah dari nyawa seekor binatang. Seperti halnya ketika kita membunuh seekor tikus.
      Dengan demikian kajian tentang perlu tidaknya kita setuju atau tidak setuju dengan hukuman mati menjadi penting adanya. Bukan sekedar bagaimana kita menolak atau menerima hukuman mati itu sebagai salah satu jenis sanksi. Sejatinya soal hukuman mati ini mestinya kita kaitkan dengan salah satu aspek yang sangat terkait dengan hal tersebut adalah maraknya berbagai bentuk kejahatan. Kejahatan yang semakin memperihatinkan bukan saja dari sisi kuantitas akan tetapi juga dari sisi kualitas. Kejahatan atau pembunuhan yang tidak saja terjadi antar personal yang tidak punya hubungan keluarga bahkan yang memprihatinkan banyak pembunuhan sadis yang terjadi di lingkungan keluarga. Orang tua yang membunuh anak-anaknya, kemudian anak-anak yang membunuh orang tuanya atau saudara-saudaranya.
Dunia dan penduduknya semakin aneh dan memprihatinkan. Binatang sebuas dan seganas harimau dan binatang buas lainnya di tengah hutan tidak ada satu pun yang membunuh anak-anaknya. Justru kejadian itu terjadi di tengah kehidupan manusia. Betapa banyak sekarang kita saksikan, bapak yang membunuh anaknya, ibu yang membunuh anaknya dan sebaliknya anak-anak yang membunuh orang tuanya gara-gara permintaannya (meminta uang untuk membeli rokok) di tolak oleh orang tuanya.
      Seperti kita ketahui dalam teori sanksi, bahwa salah satu makna atau tujuan dari penjatuhan sanksi adalah untuk menjadi pelajaran bagi orang lain agar tidak lagi mengulang atau melakukan kejahatan yang sama karena takut akan sanksi yang akan dijatuhkan.
      Penulis yakin dengan se yakin-yakinnya bahwa seorang hakim yang menjatuhkan sanksi hukuman mati bukan tanpa pertimbangan yang matang. Bukan putusan yang abal-abal atau putusan tanpa pertimbangan mendasar dan mendalam. Paling tidak secara sederhana kita dapat memaknai bahwa sanksi hukuman mati yang dijatuhkan adalah sanksi yang setimpal dengan kejahatan atau pelanggaran hukum yang di lakukannya.
Berbagai kasus berikut memperlihatkan hal tersebut. Kasus Bom Bali yang melibatkan Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra (Tahun 2002) yang menyebabkan ratusan orang meninggal. Kasus penyelundupan heroin oleh Raheem Agbaje Salami (tahun 2015). Raja Narkoba Freddy Budiman (tahun 1997) yang di hukum mati jelas sekali sepadang dengan kejahatan narkoba yang di lakukannya yang merugikan banyak generasi muda. Demikian juga hukuman mati untuk Ferdy Sambo yang melakukan pembunuhan berencana kepada bawahannya (awal tahun 2023).
      Hukuman mati sejatinya adalah hukuman puncak atau hukuman yang sangat berat. Hukuman mati ini sejatinya dapat mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama atau kejahatan yang sejenis. Dengan demikian kita perlu menelusuri atau memahani dengan baik apakah hukuman mati dapat mencegah atau menurunkan angka kejahatan (berdasarkan data statistik kejahatan yang ada).
      Berbagai data yang dapat kita akses di berbagai sumber (seperti statistik Kepolisian, Lembaga Bantuan Hukum dan Hasil-hasil penelitian di berbagai perguruan tinggi)  memperlihatkan tentang perkembangan atau statistik kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat. Data yang tidak sekedar menggambarkan perkembangan kejahatan akan tetapi yang sangat memperihatinkan adalah modus dan kualitas kejahatan yang semakin sadis dan merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan lebih rendah dari binatang. Ada yang di bunuh dan dimutilasi dan kemudian potongan-potongan tubuhnya disimpang di lemari. Ada yang setelah di bunuh kemudian mayatanya di beton dan berbagai bentuk lainnya.
      Menolak atau menerima hukuman mati dengan demikian bukan saja sekedar setuju atau tidak setuju. Bukan sekedar melihatnya dari sisi hak asasi manusia secara dangkal karena bertentangan dengan harkat dan martabat kemanusian yaitu tentang hak hidup. Bahwa hak hidup dan kematian sepenuhnya adalah kewenangan Tuhan Yang Maha Esa. Kita perlu lebih dalam mengkajinya secara sistemik di kaitkan dengan berbagai hal yang terkait dengan soal hukum, kejahatan, kehidupan dan juga aspek religusitasnya.
      Hukuman mati sebagai sebuah problematika hukum sejak dulu, sekarang hingga ke masa yang akan dating senantiasa akan menjadi perdebatan yang tiada henti. Negara-negara melalui pemerintahnya, demikian juga para ahli dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat akan senantiasa terpola pada dua kubu yaitu: kubu yang pro dengan hukuman mati dengan kubu yang anti hukuman mati. Hal tersebut terjadi oleh karena kejahatan sebagai perbuatan manusia akan senantiasa ada melingkupi kehidupan manusia dan masyarakat. Kejahatan ada bersama kehidupan, dengan demikian salah satu bentuk kejahatan yang senantiasa terjadi dalam kehidupan adalah kejahatan sadis yang implikasinya adalah dijatuhkannya hukum mati (death penalty).  Pertanyaan kuncinya adalah apakah benar bahwa, hukuman mati adalah mengambil alih kewenangan Tuhan Yang Maha Esa. Entah lah, yang pasti semoga tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan.#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H