Kenangan Terakhir Dengan Buya
Oleh: Ahkam Jayadi
Pertengan tahun lalu Kompas melaksanakan seri Webinar yang ketika itu menghadirkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1998-2005 sebagai pembicara tunggal. Buya Ahmad Syafii Maarif menyampaikan, meningkatnya kasus Covid-19 saat ini menunjukkan bahwa virus ini dapat menyerang siapa pun dan tidak memandang derajat, suku, ras, ataupun agama. "Kelompok yang menyangkal adanya Covid-19 hanya sedikit atau minoritas dari jumlah masyarakat umum lainnya. Kelompok kecil inilah yang harus terus disadarkan," ujarnya dalam acara Seri Webinar Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2021 bertajuk "Kontribusi Kaum Agamawan dalam Penanganan Pandemi", Kamis (24/6/2021).Â
Adanya narasi penyangkalan Covid-19 tidak terlepas dari peran media sosial yang sulit dikendalikan. Jika tidak cermat mengolah informasi, masyarakat dapat terjebak dalam doktrin yang sesat dan radikal. Buya memandang, adanya narasi penyangkalan Covid-19 tidak terlepas dari peran media sosial yang sulit dikendalikan. Jika tidak cermat mengolah informasi, masyarakat dapat terjebak dalam doktrin yang sesat dan radikal. Buya menilai bahwa kelompok penyangkal Covid-19 tidak menggunakan keimanan dan akalnya. Padahal, menurut Buya, agama ditujukan bagi orang-orang yang berakal.Â
Lebih lanjut disampaian oleh Buya bahwa semasa kepemimpinan Umar bin Khattab, rombongan umat Muslim dari Madinah pernah memutuskan untuk menjauhi daerah yang sedang terserang wabah penyakit. Umar dan rombongannya memilih untuk mencari keselamatan dibandingkan terserang wabah penyakit tersebut. Ini menunjukkan bahwa umat beragama menggunakan akalnya dalam memutuskan segala sesuatu. Becermin dari cerita tersebut, menurut Buya, selama pandemi ini seluruh masyarakat juga harus menerapkan pencegahan berupa protokol kesehatan agar tidak terjangkit Covid-19. Ia pun menekankan kepada seluruh masyarakat agar jangan menjadikan iman sebagai alasan penyangkal Covid-19. Bagi para penyangkal Covid-19, Buya mendorong untuk terus memberikan fakta dan pemahaman secara persuasif kepada mereka. Di sisi lain, Buya juga memandang pentingnya keterlibatan tokoh agama untuk mengajak jemaahnya bersama-sama menangani dan mencegah Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan. "Seluruh tokoh agama memang harus terus mengatakan bahwa bahaya Covid-19 itu nyata dan bukan direkayasa. Gunakanlah bahasa persuasif yang menyentuh hati. Mungkin cara ini akan lebih tersampaikan karena pada hakikatnya manusia itu baik," katanya.Â
Setelah Buya menyampaikan paparannya maka giliran para peserta webinar untuk memberikan tanggapan. Bersyukur ketika itu moderator webinar memberikan kesempatan kepada saya untuk memberikan tanggapan atau pandangan terhadap topik webinar dan ulasan yang telah disampaikan oleh Buya.
Tanggapan penulis berpijak pada pandangan yang ada selama ini yang memisahkan keterlibatan nilai-nilai agama dengan ilmu pengetahuan di dalam menganalisis berbagai persoalan kehidupan yang ada di tengah kehidupan masyaraat, bangsa dan negara. Demikian juga pemikiran yang senantiasa mempertentangkan eksistensi agama-agama dalam hidup dan kehidupan.
Penulis menawarkan satu paradigma yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam yang universal (di kenal pada berbagai agama yang ada) dalam memberikan solusi terhadap berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 Salah satunya adalah Hadirs yang di riwatkan oleh HR Muslim, "La haula wala quwwata illa billahi aliyyil adzim" yang artinya kuran lebih, "Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin dan kehendak  Allah yang maha kuasa". Hadits yang sangat penting eksistensinya di dalam kehidupan. Sayangnya banyak umat Islam tidak memahami hakekat dan implementasi hadits tersebut.
Hal itulah yang penulis sampaikan di dalam tanggapan terhadap pembahasan yang telah disampaikan oleh Buya bagaimana penerapan hadits tersebut di dalam kehidupan kita sehari-hari terutama ketika mengalami masalah atau sakit.
Bagi kebanyakan kita di dalam masyarakat ketika menghadapi sakit (Covid-19) maka pasti harapan kita adalah pada obat untuk menyembuhkan sesuai penyakit yang kita derita. Jadi ketika kita sakit kepala misalnya maka pikiran pertama dan harapan utama kita adalah pada obat, kita lupakan hadits di atas. Ketika sakit atau menghadapi masalah maka yang pertama kita ingat adalah obat.
Sejatinya ketika kita sakit maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengingat Tuhan yang Maha Esa, kemudian menyadari dan memohon bimbingan dan petunjuknya, kenapa kita sakit? Kesalahan apa dan dosa apa lagi yang telah kita lakukan untuk itu kita mohon ampun dan taubat, setelah itu kita mohon keberkahan atas obat yang akan kita minum agar penyakit yang sedang melanda diri kita di sembuhkan.
Sejatinya inilah paradigma atau cara berfikir dan berdakwah yang harus disampaikan oleh tokoh-tokoh agama di dalam mendidik dan meningkatkan kepahaman agama masyarakat. Last but not least adalah mengajak para ilmuan (saintis) untuk ber mitra dengan kaum agamawan di dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang di alami masyarakat.
Demikian semoga ada manfaatnya untuk kita menemukan kebenaran sesungguhnya, "Selamat Jalan Buya semoga kita semua yang ditinggalkan dapat mewarisi legacy yang Buya tinggalkan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H