Mohon tunggu...
ahkam jayadi
ahkam jayadi Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Masalah Hukum dan Kemasyarakatan Tinggal di Makassar

Laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pelanggaran Konstitusi

5 Mei 2022   11:28 Diperbarui: 5 Mei 2022   11:30 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

  • Oleh: Ahkam Jayadi

Konstitusi atau hukum dasar bernegara kita adalah Undang Undang Dasar 1945. Hans Kelsen menyebutnya sebagai, "norma dasar bernegara" (staats fundamental norm). Siapa pun yang ada di negara ini (Indonesia) mulai dari Presiden sampai dengan masyarakat tradisional yang masih hidup dengan tradisi seperti di pedalaman Papua, harus tunduk dan patuh pada nilai-nilai dasar atau ketentuan yang ada di dalam UUD 1945. UUD 1945 adalah fondasi bernegara dan tiang-tiang bernegara serta nilai dasar bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pelanggaran dan pembangkangan terhadap konstitusi (UUD 1945) telah pernah terjadi di dalam sejarah ketatanegaraan kita. Pertama kali ketika bentuk negara dan bentuk pemerintahan sebagaimana di atur di dalam UUD 1945 (hasil Proklamasi) di rubah menjadi negara federal dengan dasar konstitusionalnya adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitsi RIS). Kedua dengan di berlakukannya Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) setelah pembubaran RIS. Selanjutnya pembangkangan terhadap UUDS dilakukan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 dan pada akhirnya adalah amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.

Sejatinya seluruh sikap dan perilaku pemangku kepentingan (stake holder) bangsa ini harus tunduk dan berdasarkan pada UUD 1945. Bukan sebaliknya UUD 1945 harus tunduk dan patuh pada kehendak politik dari elit-elit politik dan atau pimpinan negara. Sebagai akibatnya adalah terlihat bahwa, tanggung-jawab konstitusional para elit bangsa semakin memprihatinkan.

Merubah atau mengamandemen sebuah konstitusi atau UUD memang bukan hal yang tabu atau tidak boleh dilakukan. Hal itu bisa dilakukan bila perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mengalami perkembangan yang tidak bisa lagi di jangkau oleh UUD yang ada. Hal yang tidak bisa dilakukan adalah merubahnya dengan cara sesukanya elit-elit politik untuk memenuhi sebuah hasrat politik sesaat seperti halnya penambahan masa jabatan presiden dan yang lainnya.

Demikian halnya dengan ide yang bergulir dan bergerak kemana-mana hingga sekarang ini yang sangat nyata dan jelas bertentangan dengan UUD 1945 adalah: Penambahan masa jabatan presiden tiga periode. Penundaan pemilihan umum (pemilu) dan amandemen UUD 1945. Sebuah keinginan yang tidak signifikan untuk dijadikan alasan untuk merubah (amandemen) UUD 1945.

Begitu kesimpulan Lord Acton ratusan tahun lalu bahwa betapa kekuasaan (politik) itu dapat merayu dan membawa para pejabat nya untuk cenderung manyalah-gunakan kekuasaannya (power tends to corrup). Hatta melanggar hukum dasar negara (UUD 1945) yang seharusnya di junjung tinggi. UUD 1945 yang seharusnya menjadi pegangan utama dan pegangan bersama seluruh pemangku kepentingan. Nyata sekarang elit-elit politik telah teransang hasrat nafsu kekuasaannya untuk memperpanjang masa jabatan seorang Presiden selama tiga periode. Dua Periode (Pasal 7 UUD 1945) sebagaimana telah diputuskan pada saat amandemen UUD 1945 sejatinya tidak bisa lagi di utak atik bahwa: "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

Kita sejatinya tersadar untuk tunduk dan kembali kepada ketentuan dasar UUD 1945 bila muncul keinginan atau upaya untuk melanggar UUD 1945. Bukan justru mencari dukungan atau memperbanyak dukungan sehingga pada nantinya kebiasaan bangsa dan negara ini untuk menganggap sesuatu menjadi benar (dukungan mayoritas) meskipun sejatinya salah bahkan melanggar UUD 1945. Bukan juga membuat pernyataan politik yang membohongi dan merekayasa rakyat dengan angka-angka manipulatif bahwa ratusan juta rakyat masih ingin presiden sekarang untuk tiga periode bahkan mengumpulkan ratusan kepala desa untuk membuat kebulatan tekad.

Institusi pengontrol kekuasaan adalah konstitusi (UUD 1945). Ketika kita tidak lagi mau berpijak pada UUD 1945 maka apalah arti Indonesia sebagai, "Negara Hukum" (UUD 1945 Pasal 1 ayat 3). Penentangan atau ketidak patuhan terhadap UUD 1945 adalah sikap yang salah dan tidak bisa kita biarkan. Masalahnya bagaimana jika yang melakukan itu adalah elit-elit bangsa dan negara. Apakah rakyat harus marah lagi sebagai mana ketika Soeharto dengan segala daya di paksa untuk turun dari pemerintahannya.

Apakah kita tidak lagi ingat atau pura-pura tidak ingat karena desakan nafsu berkuasa yang terjadi pada zaman Orde Baru sehingga menjadi pemerintahan yang otoriter bin dikatator karena tidak lagi memperdulikan UUD 1945. Apakah hal itu akan kita ulang lagi di masa sekarang yang sudah demokratis untuk menuju kepada pemerintahan otoriter dan diktator.

Realitas politik yang mendasari, yang melingkupi pemerintahan Jokowi secara politik sangat kuat dengan dukungan Parlemen (DPR) dan koalisi partai politik yang besar hampir 90 % lebih, sejatinya dapat melakukan dan menggolkan nafsu-nafsu politik yang berlebihan atau melanggar UUD 1945. Dengan kondisi seperti itu maka cukup dengan kata "setuju" maka semua bisa mereka lakukan di dalam rapat-rapat atau persidangan yang di lakukan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Amandemen UUD 1945 termasuk penambahan masa jabatan tiga periode serta penundaan pemilu, adalah hal yang sangat mudah untuk dilakukan dan disetujui oleh mayoritas anggota parlemen (MPR, DPR dan DPD). Hal tersebut lebih mudah lagi untuk dilakukan setelah orang-orang yang kritis atau aktivis dan ilmuan yang berani berbicara, satu persatu di penjarakan.

Dengan demikian last but not least adalah situasi dan kondisi politik yang kini melanda masyarakat yang hampir-hampir menyedihkan dan membahayakan ketika masyarakat sudah, "Acuh tak acuh terhadap pemerintah dan parlemen untuk malakukan apa saja yang mereka inginkan". Di perparah lagi dengan para Buzzesr yang senantiasa membela pemerintah beserta koleganya dan akan menentang segenap suara yang mencoba mengkritik atau melawannya.

Dalam situasi bulan ramadhan dan pasca ramadhan, mari kita manfaatkan situasi yang sangat religius ini untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar seluruh komponen bangsa dan negara ini senantiasa diberi kewarasan dalam berfikir, bersikap dan berperilaku agar senantiasa berpijak pada nilai-nilai dasar yang ada di dalam UUD 1945.

Demikian semoga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk kita menemukan kebenaran sesungguhnya, amin ya rabbul alamin.#

Ahkam Jayadi,

Dosen Hukum Tata Negara UIN Alauddin

Makassar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun