Mohon tunggu...
Ahkam Jayadi
Ahkam Jayadi Mohon Tunggu... profesional -

Bekerja sebagai akademisi dengan mata kuliah yang diajarkan adalah Hukum Tata Negara, Hukum Pemerintah Daerah dan Hukum Kelembagaan Negara. Selain sebagai akademisi juga aktifis LSM dan nara sumber berbagai diskusi tentang hukum.#

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Quo Vadis Penegakan Hukum

23 Maret 2013   14:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:21 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Ahkam Jayadi,S.H.MH

Mencermati berbagai kejadian yang melanda negeri kita (Republik Indonesia) dalam semua aspek kehidupan, maka rasanya kita tidak percaya kalau bangsa dan negara ini mayoritas penduduknya (imagined community) adalah beragama Islam. Kita tidak habis pikir dan begitu terenyuh melihat tingkah laku saudara-saudara kita pemeluk agama Islam (ummat Islam) dengan alasan agama (driving force) harus saling menghina, mencaci, mengusir dan merusak segala harta benda orang lain  bahkan membunuhnya hanya karena alasan sepihak bahwa kelompok tertentu memiliki tharekat (jalan pencarian kebenaran) yang berbeda dengan kelompok lain sehingga dianggap sesat.

Bukankah lebih bijak bila saudara-saudara kita yang dianggap sesat kita ajak dan kita tunjukkan kepada mereka dimana kesesatannya dan yang mana yang dianggap tidak sesat dibandingkan dengan melakukan tindakan anarkhis. Pada tataran ini kita tidak bisa beharap pada dunia peradilan dan hukuman penjara yang dijatuhkan, oleh karena institusi itu tidak dapat menyelesaikan masalah keyakinan yang dianggap menyimpan (lihat lah aliran Kerajaan Eden meski dipenjaran aktivitas ajarannya tidak bisa hilang). Pertanyaan yang muncul dimana implementasi nilai-nilai konstitusi (UUD 1945) tentang persamaan di depan hukum (equality before the law) dan jaminan perlindungan dan penegakan HAM khususnya kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing.

Sistem hukum bernegara dan berbangsa di Indonesia dengan segala sub sistemnya, hingga kini masih diselimuti dengan beragam masalah: baik dari sisi substansi hukum; struktur hukum; dan budaya hukumnya. Betapa tidak tekad untuk menegakkan nilai-nilai keadilan hukum dan kepastian hukum seiring dengan jatuh dan tumbangnya resim Orde Baru yang repressif justru realitas yang ada memperlihatkan lain. Perilaku korup, memperkaya diri sendiri, jual beli keadilan dan berbagai pelanggaran etika hukum oleh aparat penegak hukum semakin menggila dan sistemik (ingat kasus terakhir Anta Sari) bahkan melanda hingga ke lembaga legislatif. Untuk itu bagaimana sejatinya kita mencermati dan memaknai hal tersebut? Dimana peran nilai-nilai agama selama ini yang nota bene menjadi penuntun (way of live) dari segenap pelaku kejahatan (ic. Aparat penegak hukum).

Pada tulisan ini yang akan diulas adalah sisi religius aparat penegak hukumnya. Pada sisi inilah penulis ingin memberi catatan atas sikap banyak kalangan yang masih selalu melihat manusia dari sisi fisik dengan pelekatan peran sains dan teknologi terlepas dari sisi non fisik dengan peran nilai-nilai agama. Pernah kah kita sejenak merenung: bahwa: “hukum yang merupakan hasil atau produk dari akal akan tetapi akal itu pula lah yang kemudian menginjak-injak atau mensalahgunakan hukum itu”.

Sejatinya menurut penulis bangsa Indonesia harus hening cipta dan menangis sekeras-kerasnya atas kejadian yang melanda berbagai lembaga Negara kita belakang ini seperti: KPU/KPUD, DPR/DPRD, Mahkamah Agung, KPK, Komisi Yudisial, Kejaksaan Agung/Kejaksaan Tinggi/Kejaksaan Negeri dan Kepolisian pada berbagai tingkatan.  Seharusnya kejadian itu sejatinya dijadikan sarana perenungan. Akan tetapi sayangnya yang terjadi justru hal tersebut kita anggap hal yang biasa-biasa saja dan perlahan-lahan masalah besar dan paling memalukan dunia hukum kita tersebut menghilang di benak kita (collective memory) dan pada akhirnya muncul lagi kasus baru yang hanya akan menyadarkan kita bila terjadi lagi.

Selama manusia secara umum dan aparat penegak hukum secara khusus belum memahami hakekat dirinya dari (inner substantive) sudut pandang agama (religi) maka selama itu pula kekeliruan dan penghancuran terhadap hidup dan kehidupan ini akan selalu terjadi. Bahkan secara umum ini juga menimpa ummat beragama kita sehingga bersikap agressif, repressif dan anarkhis. Apatah lagi bila manusia yang ada di permukaan bumi ini masih membanggakan kemampuan sains dan teknologi untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan manusia. Sains dan teknologi (Iptek) adalah produk akal, sedangkan akal hanya bisa berfikir karena adanya pancaran ruh (Nur Muhammad) yang berfikir di akal (otak) sedangkan ruh itu buku manualnya adalah di dalam Kitab Suci (ic. Al-Qur’an)

Sains dan teknologi sejatinya tidak akan pernah dapat menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang melingkupi kehidupan ini bila sains dan teknologi itu lepas dari induk centrumnya yaitu: hakikat diri menurut agama atau dalam istilah lain adalah yang berpikir di akal, bukan akal yang berpikir. Itulah sebabnya orang yang meninggal meskipun otak atau akalnya masih ada akan teapi tidak bisa lagi berpikir oleh karena yang berpikir di akal itu yang sudah tidak ada dan itulah ruh. Ketika semua bayi berusia 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari maka Tuhan meniupkan ruh (S. As-Sajadah ayat 9) maka memancarlah pendengaran di telingan penglihatan di mata dan yang lainnya. Demikian pula konflik internal ummat beragama tidak akan pernah hilang bila kita hanya memiliki “kelompok-kelompok persatuan” tetapi tidak mengenal dan tidak memahami “tempat kesatuan”.

Setiap hari para ilmuan (ic, ummat Islam) berpikir sayangnya yang berpikir, yang melihat, yang mendengar dan yang merasa pada dirinya tidak pernah dipahami. Itulah diri yang sebenarnya diri dalam pandangan agama. Dialah yang bila dipanggil yang kuasa maka fisik ini tidak bisa apa-apa lagi. Sayangnya sebagaimana yang banyak kita pahami aspek non fisik pun didekati dengan sains dan teknologi disebabkan karena ketidak-tahuan kita tentang diri yang sebenarnya diri itu yang hanya bisa didekati dan di urus oleh agama, sebab Tuhan telah tetapkan bahwa urusan non fisik (ruh) adalah urusanku bukan urusan manusia.

Untuk itu hanya nilai-nilai ajaran agama yang dapat menyelematkan manusia dari berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang dialaminya. Contoh berbagai kejadian yang terjadi belakangan ini yaitu: bencana alam dan gempa yang melanda berbagai Negara di belahan bumi ini. Bila kita bersandar pada kemampuan dan kehebatan sains dan teknologi maka tentu saja Negara-negara adi daya seperti Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa dan Asia (Jepang) tidak akan porak-poranda dengan berbagai gempa dan bencana alam yang terjadi, tetapi ternyata sains dan teknologi tidak bisa berbuat apa-apa.

Pendekatan agama (aspek religius) sebagai sumber nilai-nilai kehidupan yang akan menyelesaikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang melanda ummat manusia di berbagai belahan bumi secara umum dan Indonesia secara khusus tentu saja bukan dengan pemaknaan yang umum sebagaimana selama ini kita pahami. Nilai-nilai agama yang dimaksud tentu saja nilai-nilai agama yang dipahami secara benar sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena 15 abad setelah kita ditinggal oleh Rasulullah SAW hakekat agama (hubungan dengan Allah SWT, hubungan dengan Rasulullah SAW serta hubungan dengan Baitullah) mulai bergeser dengan berbagai tafsiran. Akibatnya kita belajar agama dari keterangan ke keterangan sehingga makna dan hakekat agama menjadi hilang. Pada tataran inilah salah satu hakekat agama yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW yang telah hilang sekarang adalah “tempat kesatuan”.Kelompok persatuan boleh berbeda akan tetapi jika memahami tempat kesatuan (tempat ke-Tauhid-an) maka konflik pasti tidak akan pernah terjadi (lihat: S. Al-Baqarah ayat 125, 144, 149, 150 dan S.Al-Imran ayat 96 dan 97).

Disinilah lagi-lagi kita secara tidak sadar juga banyak memahami agama dengan pendekatan sains dan teknologi padahal sebagaimana dikemukkan di atas sains dan teknologi tidak akan dapat menyelematkan hidup dan kehidupan manusia. Aulia dan anbiya yang menjadi tulang punggung penyebarluasan nilai-nilai agama yang benar (sejak nabi Adam hingga Muhammad) tidak ada satupun yang keluaran sekolah formal/perguruan-tinggi apalagi bergelar professor. Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk langsung dari Allah SWT.

Dalam konteks dunia hukum kita yang dikatakan pada awal tulisan ini semakin carut marut dengan berbagai penyimpangan yang justru dilakukan oleh para aparat penegak hukum dapat kita analisis dengan pendekatan asas hukum dunia peradilan.

Salah satu asas peradilan di Indonesia yang harus selalu dijunjung tinggi adalah asas “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa” pertanyaan kita sekarang bagaimana kita mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam asas tersebut?

Kebanyakan diantara kita pada awal menerima pertanyaan tersebut pasti akan kebingungan dan geleng-geleng kepala pertanda tidak paham karena selama ini kita memang tidak punya standar nilai dan pemahaman yang benar dan bisa dijadikan sandaran bersama untuk mengimplementasikan hal tersebut dalam realitas. Kita sangat keliru ketika masalah seperti ini dipahami dapat diselesaikan melalui penyadaran diri dalam bentuk: introspeksi, refleksi, kontemplasi, yoga (sebagai olah spiritual, bukan olah raga), meditasi, iktikaf, tafakur, atau zikir. Apa yang bisa diselesaikan pendekatan seperti ini apabila diri yang sebenarnya diri pada kita tidak dipahami. Tuhan yang disembah-Nya tidak dikenal. Dianggapnya Tuhan ada dimana-mana. Padahal bila Tuhan ada dimana-mana, maka disebuah kantor jika Tuhan ada tidak akan ada korupsi. Bila di kampus adaTuhan maka mahasiswa tidak akan demo.

Dalam kaitan dengan asas di atas, yang kita bisa pahami paling tidak asas itu kita serahkan semua kembali kepada para aparat penegak hukum untuk memahami dan mengimplementasikan hal tersebut sesuai dengan kepahaman nilai-nilai agama yang dianutnya.

Mungkin bila aparat penegak hukumnya memiliki integritas dan tingkat pemahaman agama yang memadai seperti mantan hakim agung Pak Bismar Siregar  mungkin kita bisa terima akan tetapi yang kepamahan agamanya tidak karuan bagaimana? Karena hampir dapat dipastikan bahwa aparat penegak hukum yang masih melakukan berbagai pelanggaran etika hukum pasti adalah orang-orang yang kepahaman agamanya tidak memadai.

Pendekatan lain yang kita bisa gunakan adalah “sumpah jabatan”. Setiap aparat penegak hukum (polisi, jaksa, advokat, hakim dll) sebelum dilantik maka mereka terlebih dahulu harus melewati proses sumpah. Sebuah prosesi yang tidak hanya melibatkan diri dan pimpinan aparat yang bersangkutan akan tetapi dengan bangga kita libatkan Tuhan didalamnnya. Padahal Tuhan itu sendiri tidak dikenalnya. Untuk itu pertanyaannya kenapa hingga kini sumpah jabatan tersebut ternyata tidak fungsional karena yang terjadi adalah sumpah tersebut dilanggar tanpa sedikitpun merasa bersalah. Apa yang salah dalam hal ini, teks sumpah yang salah atau orang yang bersumpah yang tidak paham akan sumpahnya ataukah ada penyebab lain. Satu penyebab intinya adalah mereka tidak memahami diri yang sebenarnya diri pada dirinya, diri yang bersumpah, diri yang beragama dan diri yang pada akhirnya nanti menghadap dan bertanggung-jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa di alam akhirat.

Substansi diri inilah ruh (S. As-Sajadah ayat 9) yang menjadi pusat energi diri kita. Padanyalah akan keluar dua sifat yang senantiasa bersinggungan dalam diri kita yang kita bisa kenali melalui apa yang kita kenal dengan bisikan hati nurani (S. At-Taghabung ayat 2). Bila dia tidak di kontrol oleh Tuhan (untuk ini kita diperintahkan untuk senantiasa berhakekat, memalingkan wajah ke masjidil haram) maka yang akan keluar senantiasa sifat2 kesetanan berupa hawa nafsu yang tidak terkendali (S.Al-Baqarah ayat 10). Sedangkan bila diri kita senantiasa terkontrol hubungannya secara hakekat dengan Tuhan  (S. Al-Israa’ ayat 185) maka senatiasa keluar adalah sifat-sifat ke-Tuhanan (siddiq, amanah, tabligh dan fatanah)

Satu hal lagi tulisan ini penulis yakini akan membuka sedikit nalar pikir kita untuk bersama-sama memikirkan bagaimana dunia hukum Indonesia dalam lingkup sempit dan bangsa Indonesia secara luas agar bisa lebih baik. Kening kita yang berkerut setelah membaca tulisan ini mudah-mudah membuka rasa akademik dan spiritual kita untuk kita prihatin terhadap peran agama dalam hidup kita. Tentu saja agama yang meng-Indonesia, bukan Indonesia yang beragama,  amin.**

*) AHKAM JAYADI,S.H.MH.

Kepala Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Universitas Islam Negeri (UIN)

Alauddin Makassar,

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun