DOKTER. Wajah-wajah khas dusun itu sudah berkumpul: lugu, polos, agak-agak bengong dan ramah senyum. Bapak-bapak dan para ibu sebagian besar paru baya. Dandanan wagu dan apa adanya tak mengurangi khidmat pertemuan pagi itu. Saya yang datang telat, jadi agak canggung, clingak-clinguk mencari kursi sisa kemudian duduk nyumput di pojok ruangan. Saya menarik nafas panjang, menenangkan diri di sudut ruangan kumal- setelah perjalanan 2 jam yang melelahkan, ngumpet dibalik punggung hadirin, sambil mengamati ada acara apa ini sebenarnya, tak biasanya seperti ini. Saya colek bapak di depan saya. Belum sempat dapat jawaban, Pak Lurah memanggil: "Pak Ahjab silakan maju pak." Saya melambaikan tangan seperti petinju yang menyerah KO: "Tidak ada yang disampaikan kok pak. Silahkan dilanjut."
Â
Pak Lurah melanjutkan pidato. Saya masih kembang kempis dipojok. Selang beberapa saat kemudian sebuah rombongan datang. Turun dari mobil: 4 remaja putri dengan jas putih, 2 orang ibu tambun mengenakan seragam khaki yang sepertinya induk semangnya- geruduk langsung menyerbu masuk. "Silakan masuk rombongan Team Desa Siaga dari kecamatan." Sambut Pak Lurah.
Â
Tanpa babibu Si induk semang menyambar mikrofon. Pak Lurah klakep tak berdaya.Â
Â
"Bapak dan ibu, saya selaku kepala puskesmas, ijinkan saya untuk memperkenalkan, opat awewek nu geulis tea adalah dokter muda. Mereka akan bergabung dalam team kesehatan di Kecamatan Kutawaluya."
Â
Induk semang memberi kode, isyarat untuk beramah-tamah. Hadirin sumringah. Jarang-jarang desa mereka kedatangan artis semacam ini. Mereka bersiap menyambut wajah-wajah sinetron dengan jabat tangan hangat- sambil berharap kecipratan wangi parfum bajunya.
Â
Berikutnya, yang saya lihat adalah adegan tak manusiawi (bukan tak senonoh): para doktris (dokter artis) ini menyambut jabat tangan ibu-ibu denga acuk-tak acuh, ada yang salaman sambil updet status, sambil mlengos pura-pura ambil Samsung Tab dari tas, ada yang ngeloyor keluar sambil menelpon, tanpa mempedulikan hadirin warga kampung yang masih antri bersalaman.
Â
Dipojok, saya cekikikan sendiri, mengamati fragmen lucu tur asu itu. Doktris (dokter artis) itu sembrono. Kenapa mereka sama sekali tak paham rasa. Saya berani taruhan dengan ujung kuku saya, tak ada satu pun dari mereka yang anak petani. Mereka pasti anak orang kaya. Digadang-gadang orang tuanya karena sudah menjadi dokter. Atau dipaksa jadi dokter sebagai dongkrak status sosial keluarga, kemudian karena keterbatasan kapasitas otak lalu kuliah di kampus gak jelas (induk semang menyebutkan nama kampusnya, dan memang gak jelas, hehe)
Â
Waduh, saya sinis sama dokter nih. Sinis tanda tak mampu, hehe. Ndak, sama dukun saja saya ndak sinis, apalagi sama dokter. Cuma adegan tadi sangat lucu. Bayangkan, dokter itu profesi setengah dewa, apalagi di Indonesa. Profesi itu menjadi jaminan bahwa anda akan mampu melamar/dilamar anak mentri. Dengan profesi sementereng itu, doktris itu gagal belajar empati, toleran, tawadlu, dst. Mereka mungkin jago membedah organ manusia, tapi mereka gagal membedah "rasa" bathin warga kampung itu. Mungkin, khayalan mereka saat masih kuliah adalah menjadi dokter di rumah sakit Internasional mewah di Jakarta atau Singapura, lalu berharap pasien yang datang adalah Brad Pit atau Tom Cruise, konsultasi tentang kesehatan kelamin. Eh, lha kok ternyata malah beramah-tamah dengan orang kampung bau kambing di pelosok Karawang.
Â
"Bapak-ibu yang saya hormati. Dokter-dokter nu geulis tea, akan menjadi tulang punggung bagi kualitas kesehatan masyarakat Kecamatan Kutawaluya." Induk semang melanjutkan pidato.
Â
Tulang punggung ndasmu sempal...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H