Â
Dipojok, saya cekikikan sendiri, mengamati fragmen lucu tur asu itu. Doktris (dokter artis) itu sembrono. Kenapa mereka sama sekali tak paham rasa. Saya berani taruhan dengan ujung kuku saya, tak ada satu pun dari mereka yang anak petani. Mereka pasti anak orang kaya. Digadang-gadang orang tuanya karena sudah menjadi dokter. Atau dipaksa jadi dokter sebagai dongkrak status sosial keluarga, kemudian karena keterbatasan kapasitas otak lalu kuliah di kampus gak jelas (induk semang menyebutkan nama kampusnya, dan memang gak jelas, hehe)
Â
Waduh, saya sinis sama dokter nih. Sinis tanda tak mampu, hehe. Ndak, sama dukun saja saya ndak sinis, apalagi sama dokter. Cuma adegan tadi sangat lucu. Bayangkan, dokter itu profesi setengah dewa, apalagi di Indonesa. Profesi itu menjadi jaminan bahwa anda akan mampu melamar/dilamar anak mentri. Dengan profesi sementereng itu, doktris itu gagal belajar empati, toleran, tawadlu, dst. Mereka mungkin jago membedah organ manusia, tapi mereka gagal membedah "rasa" bathin warga kampung itu. Mungkin, khayalan mereka saat masih kuliah adalah menjadi dokter di rumah sakit Internasional mewah di Jakarta atau Singapura, lalu berharap pasien yang datang adalah Brad Pit atau Tom Cruise, konsultasi tentang kesehatan kelamin. Eh, lha kok ternyata malah beramah-tamah dengan orang kampung bau kambing di pelosok Karawang.
Â
"Bapak-ibu yang saya hormati. Dokter-dokter nu geulis tea, akan menjadi tulang punggung bagi kualitas kesehatan masyarakat Kecamatan Kutawaluya." Induk semang melanjutkan pidato.
Â
Tulang punggung ndasmu sempal...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI