Mohon tunggu...
ahjab ahjab
ahjab ahjab Mohon Tunggu... -

Pekerja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sarjana Sial (5)

13 Agustus 2014   17:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:39 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Jam weker yang diletakkan di atas meja berdering keras, saat Nita berada pada akhir mimpinya. Dia menyingkapkan selimut. Dengan berat, bangun dari pembaringan, lalu menggapai jam weker yang berada di atas meja- tidak jauh dari pembaringan. “Sudah jam empat,” gerutunya malas. Dibukanya tirai yang menutupi kaca jendela kamar. Bias matahari senja jatuh di atas bunga-bunga yang ada dalam pot, membuatnya menjadi merah bersemu jingga.
Rasanya belum cukup dia tidur seharian, seluruh badannya masih terasa lesuh. Diapun kembali menghempaskan tubuhnya yang berbalut baju tidur tipis di atas ranjang. Senja itu terasa gerah. Disambarnya remote AC yang tergeletak tidak jauh dari dirinya, lalu menurunkan temperaturnya. Sesaat setelah itu, dia mengambil majalah yang terhampar di atas kasur, dan membukanya.

Hembusan udara yang keluar dari celah-celah pendingin ruangan itu memenuhi kamar. Sebuah kamar yang cukup luas, dengan telivisi menghadap ke pembaringan. Seperangkat peralatan audio tersusun pada sisi yang lain. Sebuah lukisan bunga mawar bertengger pada salah satu dinding, satu lagi lukisan abstrak berada pada bagian dinding yang lain. Juga sebuah meja rias, dengan perlengkapan kosmetik mahal, dan beberapa parfum merk-merk terkenal. Kontras dengan itu semua, terdapat sebuah foto gadis kecil dengan bingkai kayu sederhana. Gadis kecil dalam foto itu sedang berlari di pematang, mengejar capung-capung di antara sawah yang menghijau, tertawa ceriah, sambil membawa kembang ilalang.

Gadis imut dalam foto itu adalah Nita saat berumur tujuh tahun. Sedangkan sawah yang menghijau bak permadani itu adalah nuansa persawahan sebuah desa, di daerah Subang- Jawa Barat.
Lima belas tahun yang lalu, Nita adalah seorang gadis kecil yang manis dan cerdas. Dia terlahir dari seorang keluarga petani, yang kehidupannya ditopang dari petak sawah. Petak sawah yang dimiliki bapaknya tidak seberapa luas, tapi lumayan, dalam artian cukup untuk makan sekeluarga, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, serta membiayai sekolah Nita yang saat itu masih SD.
Nita mempunyai adik perempuan, yang umurnya terpaut tiga tahun darinya. Meskipun kehidupan keluarga itu tidak pernah mudah, namun mereka sepakat untuk tidak menyerah. “Nasi hangat, beberapa potong tempe goreng, teh hangat, adalah sebuah pesta besar,” begitulah yang sering diucapkan bapaknya, saat makan malam, dalam udara dingin Subang.
Nita dan adiknya mempunyai kebiasaan, yakni jika senja hari menjelang, mereka akan bermain ke persawahan, bagi mereka hal itu sangat menghibur. Pada musim kemarau, di sana akan ada ribuan capung yang mengambang di udara. Mereka akan menangkap capung-capung itu dengan menggunakan kembang ilalang. Caranya adalah dengan mengacungkan kembang ilalang itu sambil berlari di bawah kawanan capung. Setelah salah satu capung itu hinggap di kembang, mereka akan menangkapnya pelan-pelan. Setelah tertangkap, capung itu akan dibuatkan baju pesta, dengan kertas kecil yang dilubangi seperti cincin, memasukkan pada sayapnya, lalu melepasnya kembali.
Permainan semacam itu sangat menghibur, juga bisa melupakan kedongkolan hati, saat bapak tidak mempunyai uang untuk jajan mereka, baik waktu di sekolah atau saat di rumah.
Di sekolah, Nita juga anak pintar. Meski sering kesulitan untuk membeli buku, nilai rapotnya ternyata memuaskan. Tidak jarang teman-temannya menjadikannya sebagi rujukan saat ada tugas dari sekolah. Bahkan pernah pada sutau kali bapaknya dipanggil oleh guru ke sekolah, karena saat ada PR Bahasa Indonesia, seluruh kelas pekerjaannya sama. Dan saat para murid ditanya oleh gurunya, dari mana asal pekerjaan itu, mereka kompak menjawab telah mencontek pekerjaan Nita.
Saat Nita beranjak SMA, keadaan ekonomi keluarga terasa semakin sulit. Pertama: dirinya yang sudah kelas dua SMA, membutuhkan biaya sekolah yang besar. Sedangkan adiknya yang juga sudah masuk SMP, diwajibkan membeli buku-buku paket. Bagi bapak mereka, yang hanya menggantungkan hidup keluarga dari sepetak kecil sawah, membiayai sekolah dua orang anak, dengan buku paketnya yang banyak, bukanlah perkara mudah. Pernah ada bantuan dari pemerintah, berupa buku paket dan potongan pembayaran uang SPP sebesar lima puluh persen. Tapi toh, uang SPP yang sudah dipotong lima puluh persen itu masih teramat berat bagi mereka. Sedangkan buku-buku bantuan itu teramat sedikit, sehingga satu buku paket harus digilir, digunakan bergantian untuk lima orang siswa.

Dan kedua: pada saat itu kehidupan petani pada umumnya dalam keadaan sangat sulit. Harga pupuk melambung naik, begitu juga dengan harga-harga pestisida. Sedangkan harga padi tidak juga ikut naik. Dalam keadaan yang tidak seimbang itu, petani mengalami kesulitan yang luar biasa. Sebab hasil panen tidak bisa menutupi modal tanam. Jangankan mendapat untung, hanya sekedar kembali modal saja sangat sulit. Belum cukup dengan itu, terkadang wabah belalang juga menyerang. Tentu saja mereka tidak sanggup memusnahkan hama itu, sebab harga pestisida semakin tidak masuk akal. Kalaupun belalang sedang berbaik hati pada mereka, dengan tidak menyerang sawah, para petani itu tetap saja tidak mampu memupuk tanaman padinya dengan optimal. Dengan demikian hasil panen sangat jelek, bulir padi banyak yang kosong.

Untuk dapat bertahan dalam keadaan yang semakin mencekik itu, beberapa penduduk desa memilih keluar dari kota Subang, merantau ke negara tetangga secara ilegal- sebab cara legal membutuhkan biaya yang besar- menjadi TKI atau TKW. Sebagain lagi tetap bertahan di kampung, dengan melakukan pekerjaan seadanya. Beberapa penduduk yang masih bertahan di kampung itu, mengelola tanah liat- yang mereka gali dari sawah- menjadi batu bata. Itulah yang dilakukan orang tua Nita, untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga.

Tanah sawah yang sudah tidak bisa diharapkan lagi dibiarkan kering, lalu tanahnya digali, dihancurkan, dan diaduk dengan air hingga menjadi lempung. Berikutnya lempung itu dicetak menjadi batu bata. Jika sebagian orang ada yang menjual batu bata itu setelah dibakar, orang tua Nita memilih menjualnya dalam keadaan mentah. Memang, menjual setelah membakarnya akan dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan yang mentah. Namun untuk membakar batu bata diperlukan lagi modal yang tidak sedikit, untuk membali kayu-kayu gelondong, sebagai bahan bakar.

Cukup lama orang tua Nita mempertahan hidup keluarga dengan cara seperti itu, hampir satu tahun. Hingga akhirnya peristiwa itu terjadi: Senja itu, Nita dan adiknya pergi ke sawah, hendak membantu bapaknya yang telah bekerja seharian mencetak batu bata. Sebelumnya mereka memang sering melakukan hal itu, walaupun hanya sekedar menyusun batu bata yang telah kering. Betapa terkejutnya mereka kala itu, saat menemukan bapaknya tergeletak dengan muntah darah, di pangkuan ibunya. Mereka panik, berteriak meminta bantuan orang-orang yang juga sedang membuat batu bata, yang tidak jauh dari situ. Tubuh bapak Nita digotong rame-rame, lalu dilarikan ke rumah sakit.
Hasil diagnosa dokter membuktikan bahwa bapaknya menderita TBC akut. Ternyata memang selama ini orang itu sudah menderita penyakit, hanya saja dia tidak mempedulikannya. Menganggapnya remeh, lalu menghajar tubuhnya dengan kerja. Hingga akhirnya sakit itu benar-benar parah, dan membutuhkan perawatan yang lama dan serius di rumah sakit.

Perawatan yang lama, dan diharuskan tinggal di rumah sakit, tentu saja hal itu akan menghabiskan biaya yang besar. Kini keluarga Nita seperti terhempas ke dasar jurang, lalu ditimbuni batu-batu besar. Setiap hari ibu Nita hanya termangu-mangu di rumah sakit, di sebelah pembaringan ayahnya. Bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat untuk menyelamatkan keluarganya: sekolah anak-anaknya; juga menyembuhkan penyakit suaminya. Hingga akhirnya diputuskan untuk menjual sawah mereka satu-satunya, yang tidak begitu luas.

Uang hasil penjualan itu tidak seberapa besar, tanah persawahan itu dihargai sangat murah, sebab lokasi desa itu terpencil, masih jauh dari akses jalan kota Subang. Lagi pula petak sawah itu juga tidak luas. Uang yang tidak seberapa besar itu dibagi tiga. Bagian pertama untuk biaya pengobatan, kedua untuk biaya sekolah Nita dan adiknya, dan yang terakhir untuk makan, sebab semenjak saat itu sudah tidak ada lagi yang mencari nafkah untuk keluarga.

Lama bapak Nita dirawat di rumah sakit. Dari hari ke hari keadaannya bukannya membaik, malah makin mengkhawatirkan. Jadi tidak mungkin dokter mengijikinkannya pulang. Sedangkan uang hasil penjualan sawah yang telah disisihkan untuk pengobatan sudah habis. Kembali Ibunya dirundung murung yang berkepanjangan. Rasanya segalanya sudah buntu. Seolah hidup ini seperti mesin giling, yang menelan utuh tubuh mereka, lalu memuntahkan lagi setelah tulang-belulang remuk tak berbentuk.

Hingga suatu senja, saat Ibunya termangu-mangu di beranda rumah sakit, Nita menghampirinya, “Sebaiknya uang sekolah Nita dan Adik, digunakan untuk biaya berobat Bapak saja, Bu,” ucapnya.
Ibunya mengangkat muka. Dengan wajah lesu, dipandangnya Nita dengan tatapan tak mengerti. “Kamu sudah bosan sekolah?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun