Ketegangan politik antara negara-negara di wilayah tersebut menjadi ancaman karena dapat menghambat proses negosiasi dan mediasi, meningkatkan kemungkinan eskalasi konflik yang lebih besar yang dapat memengaruhi ekonomi regional dan global. Jika jalur pelayaran dan aktivitas perdagangan di daerah tersebut terganggu, hal itu dapat mengganggu pasokan energi dan perdagangan internasional, yang dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas pasar global. Ketidakpastian politik dan keamanan di wilayah tersebut juga dapat mengurangi investasi dan kepercayaan bisnis, menghambat kemajuan ekonomi di Asia Tenggara dan wilayah sekitarnya.
Pada Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2023 tentang Doktrin Pertahanan Negara, ancaman merupakan kegiatan yang dapat membahayakan kedaulatan negara baik yang dilakukan di dalam negeri maupun luar negeri. Peraturan tersebut juga menjelaskan jenis ancaman, yang terdiri dari ancaman militer, yang merupakan ancaman yang dilakukan oleh militer suatu negara; ancaman non militer, yang merupakan kegiatan yang dianggap dapat mengancam kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan negara, baik dari luar negeri maupun dalam negeri, dan ancaman hibrida, yang merupakan kegiatan yang dilakukan oleh aktor negara, aktor bukan negara, atau aktor yang disponsori negara.
Ancaman perang hibrida saat ini datang dari konflik di Laut China Selatan dengan China. Dalam skenario 2023, China akan menggunakan metode militer dengan membangun tiga pangkalan militer di Kepulauan Sparkly, instrumen informasi dengan menyebarkan klaim "Nine Dashed Line" sebagai legitimasi China atas wilayah Laut China Selatan, dan instrumen politik dengan mengeluarkan Nota Protes untuk menekan kerja sama ekonomi dengan Indonesia. Menurut Frank Hoffman dalam penelitiannya, ancaman hibrida dianalogikan dengan teror dan berbagai jenis kejahatan. Oleh karena itu, perang hibrida adalah kombinasi kekuatan konvensional dan non-konvensional yang berhubungan dengan terorisme dan kejahatan (Mandaku & Samad, 2022).
Fitur karakteristik ancaman atau perang hibrida menurut Anonenko adalah dengan 1) mengunakan aktif pasukan operasi khusus, pasukan intelijen, unit militer yang tidak konvensional; 2) Penciptaan gerakan separatis di negara yang menjadi objek perang hibrida atas dasar politik, etnis, atau agama dan melakukan proliferasi senjata dan amunisi di daerah-daerah dengan sentimen separatis; 3) Penetrasi intelijen ke semua bidang kegiatan di negara tujuan; 4) Penciptaan ancaman terhadap penggunaan angkatan bersenjata dan merebut wilayah tertentu; 5) Perang dagang yang dilakukan dengan menghentikan transit, mengenakan bea tambahan atau melarang impor barang, dan mencegahnya memasuki pasar mereka dari negara yang direncanakan perang hibrida; 6) Penggunaan potensi politik, diplomatik, ekonomi, informasi, dan non-militer lainnya (Sarjito dan Duarte, 2023)
Strategi Indonesia
Untuk mengatasi konflik di Laut China Selatan, pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa hal, seperti mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara di sekitar Pulau Natuna; membangun Area Laut Terlindung (Marine Protected Area / MPA) di ZEE Natuna Utara untuk melindungi keanekaragaman hayati laut; meningkatkan kerja sama regional dalam penelitian, pengembangan kelautan, dan patroli maritim; dan mengirim nota protes (Bakri, 2023).
Indonesia adalah salah satu negara terbesar di Asia Tenggara dan memiliki peran penting dalam diplomasi regional untuk menyelesaikan konflik di Laut China Selatan dan mendukung solusi damai yang didasarkan pada hukum internasional. Di tengah tantangan geopolitik Laut China Selatan, diplomasi dan manajemen konflik yang bijak diperlukan. Sangat penting bagi diplomat Indonesia untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk berpikir tentang konflik dan masalah penting lainnya yang menjadi perhatian dunia internasional. Menurut Evans et al., kebijakan luar negeri adalah hasil dari diplomasi domestik dan internasional, dan dibuat untuk memenuhi kepentingan nasional pemerintah pada level domestik politik dan untuk memenuhi kepentingan internasional pemerintah. (Yustiningrum, R. R. E., (2024).
Indonesia secara konsisten menekankan netralitasnya dalam konflik di Laut China Selatan dan berusaha untuk menyeimbangkan konflik antara negara-negara yang berpartisipasi. Ini memungkinkan Indonesia untuk berperan lebih aktif sebagai mediator dan fasilitator dalam upaya diplomasi untuk menyelesaikan sengketa di Asia Tenggara melalui forum regional seperti ASEAN. Peran yang lebih aktif ini pasti akan menghasilkan stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan yang kuat di kawasan tersebut, yang penting bagi Indonesia karena mendukung rencana politik luar negeri yang signifikan. (Saragih, H. M., 2018)
Letak Indonesia yang berada di Asia Pasifik dan Asia Tenggara dapat mengambil manfaat dari kerja sama regional dari berbagai aspek seperti ekonomi, politik, keamanan, sosial dan budaya melalui organisasi seperti Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), ASEAN Regional Forum (ARF), East Asia Summit (EAS), dan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC. Pemanfaatan kerjasama regional digunakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN, terutama dalam mempertahankan sentralitas ASEAN, akan menjadi kunci dalam memaksimalkan pemanfaatan kerja sama regional di kawasan Asia dan Pasifik. (Sucipto & Mulyana, 2021).
Dari perspektif hukum, Indonesia terus mendukung penerapan hukum laut yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) sebagai dasar untuk penyelesaian perselisihan di Laut China Selatan dan untuk menjamin keamanan maritim di wilayah tersebut. Sesuai dengan amanat Piagam PBB, konvensi UNCLOS 1982 menetapkan ketentuan umum tentang penyelesaian konflik dengan cara damai. Ini termasuk prosedur tidak mengikat, di mana pihak yang bersengketa dapat memilih cara damai yang mereka inginkan, dan prosedur mengikat, di mana pihak yang bersengketa mengajukan gugatan dan memberi kewenangan kepada Mahkamah Arbitrase dan Mahkamah Internasional Hukum Laut untuk membuat keputusan tentang konflik (Toruan, G. T. L., 2020). Indonesia juga bekerja sama dengan negara lain di wilayah ini dalam hal keamanan maritim, seperti melalui program patroli maritim, pertukaran informasi intelijen, dan latihan bersama. Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk meningkatkan penegakan hukum laut dan keamanan maritim di Laut China Selatan serta meningkatkan koordinasi antara negara-negara yang terlibat.
Untuk menjaga kedaulatan langsung Indonesia di lapangan, kehadiran militer dan keamanan maritim di wilayah strategis Laut China Selatan, termasuk di sekitar Kepulauan Natuna, harus ditingkatkan, bersama dengan peningkatan patroli untuk memantau aktivitas perairan yang disengketakan. Untuk mendukung operasional dan logistik Angkatan Laut Indonesia, sarana prasarana yang memadai diperlukan untuk wilayah strategis tersebut, termasuk pembangunan pelabuhan dan pos pengawasan.