Mohon tunggu...
Aldi Himawan
Aldi Himawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Universitas Pertahanan

Saya adalah seorang profesional berpengalaman dengan hampir dua dekade pengalaman, saat ini sedang menempuh gelar Magister Studi Pertahanan di Universitas Pertahanan. Keahliannya terletak pada konsultasi manajemen dan perencanaan strategis, di mana ia menjabat sebagai konsultan senior di sebuah perusahaan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ancaman Konflik Laut China Selatan Terhadap Kedaulatan Maritim Indonesia

23 April 2024   18:15 Diperbarui: 23 April 2024   18:21 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan 

Konflik di Laut China Selatan melibatkan banyak aktor, termasuk China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei mengklaim sebagian besar Laut China Selatan berdasarkan batas maritim mereka, tetapi China mengklaim hampir sebagian besar wilayah tersebut berdasarkan sejarah. Konflik tersebut berasal dari klaim atas sumber daya alam yang kaya di wilayah tersebut, Ambarwati, A. (2023) dalam penelitiannya menjabarkan pesona kekayaan alam yang ada di kawasan Laut China Selatan memberikan keuntungan geostrategis yaitu 1) sebagai jalur penghubung Samudra Hindia dan Smudra Pasifik; 2) menjadi bagian dari jalur laut internasional yang penting atau dikenal sebagai matirime superhigway; 3) merupakan daerah dengan tingkat biodiversity yang tinggi dengan produksi periakaan dunia lebih dari 12%; 4) Cadangan minyak dan gas alam terbesar keempat di dunia; 4) memilik sumber daya hidrokarbon yang melimpah; dan 5) Peluang pariwisata bahari.

China telah membangun pulau-pulau buatan dan fasilitas militer di seluruh Laut China Selatan untuk memperkuat klaimnya. Klaimnya didasarkan pada sejarah pelayaran dan penjelajahan maritim China, yang mengklaim memiliki banyak pulau dan karang di Laut China Selatan. Klaimnya ditunjukkan oleh peta yang terdiri dari sembilan garis (Nine-Dash Line) yang mencakup sebagian besar wilayah Laut China Selatan.

Vietnam mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan, termasuk Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Klaim ini didasarkan pada sejarah dan penelitian ilmiah tentang geologi dan ekologi daerah tersebut. Vietnam telah mempertahankan pulau-pulau yang diklaimnya dengan membangun dan memperkuat infrastruktur, serta melakukan patroli militer dan kegiatan ekonomi di sana.

Filipina mengklaim sebagian Laut China Selatan, terutama Kepulauan Spratly. Klaim ini didasarkan pada bukti sejarah, seperti penjelajahan dan penelitian arkeologi yang menunjukkan bahwa orang Filipina pernah tinggal di daerah tersebut. Filipina telah menggugat Pengadilan Arbitrase Internasional atas klaimnya terhadap wilayah Laut China Selatan. Selain itu, Filipina terlibat dalam berbagai proyek regional untuk menyelesaikan konflik maritim.

Malaysia dan Brunei juga memiliki klaim terhadap sebagian wilayah Laut China Selatan, tetapi tidak sebanyak China, Vietnam, dan Filipina. Namun, meskipun mereka memiliki klaim yang lebih kecil, Malaysia dan Brunei masih menghadapi kesulitan untuk mempertahankan kedaulatan mereka terhadap klaim yang bertentangan dari negara lain di wilayah tersebut.

Dengan mengacu pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayahnya sendiri. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia mencakup wilayah ini, termasuk Laut Natuna Utara, yang berbatasan dengan wilayah di Laut China Selatan dan memiliki banyak potensi sumber daya alam. Diperkirakan ada 14.386.470 barel minyak bumi dan 112.356.680 barel gas bumi. Ada juga potensi perikanan laut lebih dari 1 juta ton per tahun. Ada juga potensi wisata bahari yang indah, seperti terumbu karang, pantai, dan pulau-pulau kecil. Selain itu, ada jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (AKLI) (Ardiansyah dan Darmawan, 2022). Selain itu Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti angin dan gelombang laut di Laut Natuna Utara dapat menghasilkan energi listrik dan desalinasi air laut dapat dihasilkan di Laut Natuna Utara (Supriatna dan Kurniawan, 2023).

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, transportasi laut sangat penting bagi Indonesia. Stabilitas regional bergantung pada pengelolaan dan pengawasan jalur pelayaran strategis. Keamanan jalur pelayaran dan konektivitas antarpulau sangat penting untuk perdagangan dan ekonomi negara. Jika sebuah negara memiliki kekuasaan dan kontrol atas wilayah perairan di sekitar pantainya, itu disebut kedaulatan maritim. Wilayah perairan ini termasuk laut territorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan zona tambahan, seperti kepulauan. Jika diukur dari garis dasar pantai hingga jarak tertentu ke arah laut, laut territorial adalah wilayah laut di mana negara memiliki hak penuh atas laut teritorialnya, termasuk hak untuk mengatur lalu lintas laut dan eksploitasi sumber daya alam di dalamnya. ZEE, di sisi lain, adalah wilayah laut yang berada di luar laut teritorial suatu negara tetapi tetap di bawah yurisdiksinya. Negara memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam di wilayah ZEE-nya, serta untuk melakukan aktivitas ekonomi lainnya, seperti penangkapan ikan, pembangunan pariwisata, dan penelitian ilmiah.

Pada akhirnya, konflik di Laut China Selatan dapat berdampak pada kedaulatan maritim Indonesia dan membahayakan keamanan regional dan stabilitas ekonomi Asia Tenggara. Ini karena sebagian besar perbatasan maritim Indonesia bertetangga dengan wilayah Laut China Selatan yang menjadi konflik. Klaim China atas wilayah tersebut dapat berdampak pada batas maritim Indonesia dan kedaulatan maritim Indonesia. Selain itu, gangguan di jalur pelayaran serta ketegangan antara negara-negara di wilayah tersebut dapat memengaruhi perdagangan dan investasi Indonesia.

Ancaman Konflik di Laut China Selatan bagi Indonesia

Konflik di Laut China Selatan membahayakan stabilitas dan kedaulatan wilayah tersebut. Risiko konflik militer yang dapat mengganggu perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut dapat meningkat karena ketegangan antara negara-negara yang terlibat. Sebagai contoh, negara-negara lain melihat China membangun pulau-pulau buatan dan fasilitas militer di Laut China Selatan sebagai upaya untuk meningkatkan pengaruhnya dan mempertahankan klaimnya atas wilayah tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan eskalasi konflik dan militer di wilayah tersebut. Eksplitasi sumber daya alam yang tidak terkendali dan pembangunan infrastruktur militer dapat merusak ekosistem laut yang sensitif dan mengancam keberlangsungan spesies laut yang sangat penting bagi ekosistem global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun