Nilai ujian pun sangatlah kecil, selain itu saat ada kesempatan remedial mereka sangat jarang memaksimalkannya. Akhirnya mereka hanya memiliki nilai seadanya saja. Apakah tuntas? Ooooooo tentu tidak. Akhirnya guru juga yang dibuat bingung bin buncah bin hilang akal bin hilang kesadaran.
Pada saat guru berada di posisi tidak mau memperbaiki nilai siswa di rapor karena memang tidak pantas menerima nilai "lebih baik"/ tuntas. Hal ini disebabkan karena tidak adanya usaha maksimal dari si peserta didik untuk memperoleh nilai yang lebih baik. Akhirnya, guru dihadapkan pada sebuah dilema. Dilema yang tentunya menyebabkan posisi guru bagai telur di ujung tanduk.
Jika guru tunduk dengan tekanan yang diberikan akhirnya niat hati ingin membentuk siswa yang memiliki karakter Pancasila pun pupus. Dalam Undang-Undang Nomor 02
Tahun 1989, Pasal 4 dijelaskan bahwa: "Pendidikan nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan keterampilan, kesehatan
jasmani, dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".
Terbentuknya siswa dengan enam elemen dalam profil Pelajar Pancasila masih jauh dari kata realistis. Â Enam elemen dalam Profil Pelajar Pancasila, yaitu: berakhlak mulia, berkebhinekaan global, mandiri, bergotong royong, bernalar kritis, dan kreatif.
Dimana posisi guru saat berhadapan dengan keadaan yang seperti itu? Ah, entahlah, waktu tidak akan pernah menunggu untuk melakukan perubahan. Kitalah yang harus mampu memanfaatkan waktu sehingga mampu melakukan sebuah perubahan walaupun perubahan itu sangat kecil. Sekecil apapun perubahan jika dilakukan dengan niat untuk kebaikan bersama maka akan berdampak luas.
Tetap semangat guru-guru Indonesia untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
@W
240624