Mohon tunggu...
Antonius Hananta Danurdara
Antonius Hananta Danurdara Mohon Tunggu... Guru - Sedang Belajar Menulis

Antonius Hananta Danurdara, Kelahiran Kudus 1972. Pengajar Fisika di SMA Trinitas Bandung. Alumni USD. Menulis untuk mensyukuri kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tawaran Dana CSR Lintas Negara, Modus Menguras Rekening ATM?

21 Januari 2022   12:34 Diperbarui: 21 Januari 2022   12:45 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejadian ini saya alami di akhir Desember 2021. Waktu itu saya berencana jalan pagi dengan rute ke arah Gedung Sate. Selanjutnya, sedikit menyeberang jalan, ada trek lari lapangan GASIBU berwarna biru. Saya ingin mengitarinya barang dua atau tiga kali.

Tak tahunya baru sejenak berjalan, saya masuk perangkap tawaran untuk mengelola dana CSR yang ujung-ujungnya kartu ATM sayalah yang ditanyakan.

Beruntung muncul secercah kesadaran dalam percakapan yang membingungkan. Dengan kesadaran itulah saya membuat keputusan meninggalkan lawan bicara, meloloskan diri.

Melalui tulisan ini, saya mencoba mensharingkannya dari sudut pandang yang saya alami.

Sapaan Akrab

Seperti yang telah saya kemukakan, belum mencapai seratus limapuluh langkah dari parkiran kendaraan, seorang bapak dengan celana training dan jersey club bola ternama, berlari kecil menyalip dan berhenti beberapa langkah di depan saya.

Orang itu melambaikan tangan menyapa, memberikan kesan akrab. Saya pun menyapa balik.

Ia mengenalkan diri, sebut saja Pak X. Orang ini mengaku berasal dari salah satu kota di Indonesia. Katanya sih, ia sedang liburan di Bandung. Ia menginap di salah satu hotel ternama di pusat kota.

Bertemu saya waktu itu, Pak X ingin mengklarifikasi apakah jalan yang dilaluinya sudah mengarah ke jalan pulang menuju ke hotel tersebut. Saya pun membenarkannya.

Lucunya, Pak X mencoba mengajak saya bercakap dan berjogging menyusuri jalan tersebut.

Karena di benak sudah terpatri jalan-kaki menuju Gedung Sate, saya berbalik menawarkan agar Pak X mengikuti jalur saya. Terkesan agak ragu, ia mengiyakan.

"Pak, hati-hati saja, kalau pagi begini, jalanan masih sepi", ujar saya melanjutkan pembicaraan. Terkekeh, ia menjawab pelan,"Saya pensiunan kolonel, pernah tugas di Bandung."

Dibuat Terlibat 

Namun baru beberapa langkah kami berjalan, tiba-tiba datang mendekat seorang 'aktor lain' memperkenalkan diri, sebut saja Pak Y.

Orang ini mengaku pengusaha minyak dari negara tetangga. Seingat saya, ia mengenakan celana blue-jeans dan baju katun cerah bermotif garis-garis biru. Di pergelangan tangan kirinya melingkar jam tangan merk terkenal.

"Bapak-bapak, dimana letak departemen urusan pertanian di Bandung? Kami dari perusahaan minyak (menyebut nama perusahaan dan asal negara), ingin membagikan CSR perusahaan kami, langsung kepada kelompok petani." Demikian Pak Y membuka pembicaraan.

Ilustrasi: tiga orang bercakap-cakap di suatu pagi hari (sumber foto: Carmen Attal/Pexels.com)
Ilustrasi: tiga orang bercakap-cakap di suatu pagi hari (sumber foto: Carmen Attal/Pexels.com)

Akhirnya kami bertiga terlibat dalam percakapan kembali. Terlihat Pak X antusias bertanya kritis bagaimana dana tersebut bisa sampai ke Indonesia. Apakah perlu proposal untuk pencairannya, syarat dan ketentuannya apa saja, kapan waktu pencairan dana tersebut, dan lewat bank mana dana ini akan dicairkan.

Mencoba mengikuti alur pembicaraan tersebut, lama kelamaan saya merasa kikuk, bengong, dan ingin segera keluar dari percakapan itu karena tidak tertarik.

Mungkin gerakan mata dan kernyitan dahi kebosanan saya terbaca oleh Pak Y. Ia terus berusaha melibatkan saya dalam pembicaraan. Yang dilakukannya unik. Setiap Pak X selesai bertanya, saya diminta Pak Y menjelaskan maksud pertanyaan Pak X. 

"Apa tadi dia berkata?" Demikian katanya.

Saya memang terpancing untuk menjelaskan kembali maksud  pertanyaan Pak X. Menariknya, setiap ada kata 'dana', Pak Y berbinar mata berusaha menatap mata saya. "Money", katanya.

Akhirnya, rasa penasaran ingin tahu terbangun. Saya pun bertanya, "Mengapa dana seperti ini kok malahan dibagi-bagi di Indonesia? Memangnya di negara Anda tidak ada yang membutuhkannya?"

Gelagat Tidak Beres

Waktu itu ada sesuatu 'ngeklik' tak masuk akal menyirat. Mengapa pembicaraan saya yang menyarankan agar Pak Y datang ke kantor gubernur (Gedung Sate) selalu dialihkan?

Logikanya, seharusnya di pusat pemerintahan itu, pasti ada informasi sahih terkait dunia pertanian. Dengan demikian, money CSR yang milyaran itu pasti akan mudah disalurkan.

Saya mulai menyadari peran Pak X saat itu. Ia bertugas sebagai pemotong dan pengarah pembicaraan. Sangat kentara dari perulangan pertanyaan yang ia ajukan.

Sedangkan Pak Y berperan sebagai orang yang memengaruhi dan meyakinkan saya. Saya menyimpulkannya dari permintaannya yang berulang kali agar saya menjelaskan maksud pertanyaan Pak X.  Berbinar mata ia terus berusaha menatap saya, "Money", ujarnya, mengganti istilah dana.

"Untuk per dua puluh orang petani, CSR yang dibagikan  sebesar lima puluh juta rupiah PakCik." Demikian ia menyakinkan saya.

Keganjilan tambah tersurat ketika Pak Y menunjukkan kartu ATM biru dari salah satu bank nasional. Bahkan ia menyebutkan nominal money CSR yang sudah tersimpan di kartu ATM tersebut. Nilai yang sangat besar untuk ukuran seorang pengajar seperti saya. Padahal kami kan baru bertemu kurang dari tiga puluh menitan di tengah pertigaan jalan pula!

Keganjilan akhirnya sempurna ketika Pak Y menanyakan apakah saya punya kartu ATM yang sama dengannya atau tidak.

Sadar ada yang tidak beres, saya 'kekeuh' berkehendak menuju ke GASIBU tanpa basa-basi lagi. Setelah pamit, saya meninggalkan mereka berdua begitu saja.

Kelihatannya mereka juga bergerak sambil bercakap-cakap menggerutu, menyusuri jalan yang sudah saya tunjukkan sebelumnya.

Jalan itu memang tercipta sepi di pagi, menunggu keramaian datang, memberikan rasa aman kembali.

Berani Mengambil Keputusan

Bagi saya, cerita ini mengajarkan sebuah pengalaman. Selama ini, perjumpaan saya dengan sahabat, teman, dan sesama secara umum selalu berbingkai akrab dan sopan.

Namun kali ini saya sungguh merasakan, rupa-rupanya tidak semua frame akrab dan sopan dimaksudkan untuk kebaikan. Sangat mungkin, frame tersebut disalahgunakan untuk membangun perangkap.

Dalam pemikiran saya sekarang, seandainya saya terlambat sadar saat itu, apa yang akan terjadi? Bagaimana jika saya tergoda untuk fokus pada money? Bisa dipastikan, hari itu saya akan berduka karena rekening ATM dikuras mereka.

Bisa jadi, karena telah hanyut dalam situasi yang diskenariokan, kita tidak berani mengambil keputusan walau tahu ada keganjilan.

Bahkan kerapian skenario sosial yang dimanfaatkan untuk tindak kejahatan, sering terdengar berhasil memerangkap objek sasarannya. Seseorang menjadi luluh, tidak mampu berakal sehat. Akibatnya ia, keluarga bahkan orang lain menjadi korban kejahatan.

Bergidik rasanya bila teringat sinyal ajakan Pak Y untuk mengantarnya membagi CSR bagi dua puluhan kelompok tani di salah satu kota bagian timur Jawa Barat.

Kejahatan memang terjadi bila ada kesempatan. Namun akan menjadi kronis di masyarakat bila kita tidak berjuang mengambil keputusan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun