Bagi saya, yang awam-bola, ikut-ikutan bincang bola tanah air rasanya asyik, seru-seru saja. Ada banyak suporter yang fanatik, pemain-pemain nasional berbakat, stadion-stadion yang keren, pelatih-pelatih handal dengan segudang pengalaman, kepengurusan sepakbola dengan segala dinamikanya, serta jurnalistik yang menyajikan mimpi-prestasi.
Di tingkat Asia Tenggara, gelaran AFF 2020 telah selesai. Thailand menjadi juara dan Indonesia runner-upnya. Bagi bolamania, prestasi Indonesia tentu jauh dari harapan, membawa kesedihan.
Bagi yang berhati welas-asih, capaian ini dianggap cukup membanggakan mengingat komposisi tim diisi pemain muda dan waktu berlatih yang singkat. Harapan kepada mereka pun muncul kembali untuk menang-perang di laga-laga berikutnya. Tentunya ini bukan tanpa alasan, karena Shin Tae-yong, pelatih timnas Indonesia senior, U23 dan U20; masih membawa optimisme tersebut.
Kekalahan Tim Nasional Indonesia di Final Laga PertamaÂ
Saya sendiri baru tahu jika Mr. Shin Tae-yong adalah pelatih kepala timnas Korea Selatan saat mengalahkan Jerman di penyisihan grup F Piala Dunia 2018 (Kompas 27/6/2018). Kerendahan hatinya terpancar dari pernyataan sebelum laga lawan Jeman, tim Korsel digerakkan oleh anak-anak muda, bukanlah tim yang sempurna (Bisnis, 27/6/2018).
Saat menyaksikan laga-pertama final AFF 2020, saya telah membatin pesimis Indonesia menang. Pasalnya jelas terlihat koordinasi bertahan pemain kita kalah-rapih saat digempur Thailand secara mendadak dan terstruktur.
Terungkap dari wawancara TVOne (3/1/2022) kepada Pratama Arhan (yang saat itu tidak bermain karena akumulasi kartu kuning), bahwa di level final, perasaan tegang pada diri pemain pasti akan meningkat drastis dibanding tanding penyisihan grup.
Bagi saya, ketegangan yang diejawantahkan dengan terlalu hati-hati malah dimanfaatkan Thailand untuk 'menghantam' Indonesia. Saya melihat Thailand memiliki kelihaian membaca strategi pemain Indonesia yang fokus melindungi 'teritori' hidup atau mati namun kurang mengoptimalkan keberanian bertempur satu lawan satu. Setidaknya tiga gol awal di laga-pertama dibuat oleh pemain-pemain Thailand yang di posisi tanpa penjagaan. Â
Bisa jadi ini dikarenakan faktor kepatuhan berlebih untuk fokus mengejar bola dan abai terhadap usaha jeli pemain lawan memposisikan diri.
Bagaimana Mr. Shin Tae-yong mengatasi hal ini di babak-kedua? Rasa-rasanya saat itu Beliau hanya fokus agar tim mampu mengejar ketertinggalan gol. Hal ini terepresentasikan dari meningkatnya kreatifitas serangan Indonesia ke Thailand. Namun, strategi permainan yang masih tetap sama dengan babak pertama membuat Thailand semakin nyaman. Pola permainan Indonesia yang seperti itulah yang mereka inginkan. Gol ketiga mereka (Thailand) menjadikan Indonesia semakin gelap-harapan.
Melepas Tradisi Runner-UpÂ
Di laga-kedua, pertempuran berimbang antara Sang Garuda versus Sri Gajah sebenarnya tak kalah seru. Membaca keberhasilan Indonesia memberikan perlawanan saat itu, memberi gambaran bahwa prestasi mumpuni timnas akan segera mewujud. Kehangatan tangan sang pelatih, nyatanya mampu meningkatkan kegarangan darah-muda Indonesia.
Atas hasil tersebut, tentu kinerja Mr. Shin Tae-yong dan tim yang berani menaikkan level serangan sekaligus memperkuat pertahanan perlu diapresiasi. Timnas Indonesia layak dibanggakan karena telah berjuang dengan seluruh 'energi-potensial' yang dimilikinya.
Usai gelaran, tradisi runner-up di final AFF harus menjadi refleksi bahwa problematika persepakbolaan di Indonesia terletak pada kemampuan pemain untuk bermain-benar, memiliki kebugaran-fisik dan kepercayaan diri, menyajikan operan/service bola dengan jitu, memiliki daya-juang bertahan, dan strategi menyerang yang berbuah gol.
Catatan kecil untuk Mr. Shin Tae-yong, strategi pertahanan 'teritori' dengan kombinasi laga satu lawan satu, sebaiknya diimbangi olah jiwa dan jiwa para pejuang bola papan atas. Setidaknya meng-upgrade kemampuan mereka untuk menyamai pemuda Korsel saat menggegerkan dunia dengan mengalahkan tim Panzer Jerman.
Saya berkeyakinan, roh kemenangan itu masih mendarah-daging pada Sang Coach. Semoga menginspirasi timnas Indonesia.
Dukungan untuk Mr. Shin Tae-yong
Tiba waktunya, Sang Garuda menapakkan kaki kembali untuk menyerap energi bumi. Dalam kontraknya, Mr. Shin Tae-yong akan tetap menjadi pelatih timnas hinggal 31 Desember 2023.
Beliau masih berkeinginan mempersiapkan para garuda-penyerang yang handal. Beliau masih berkeinginan mensinergikan para banteng-pertahanan dan umpan-umpan akurat para harimau-gelandang. Tetapi harus 'kini' dan 'disini'.
Di sisa waktunya, rasanya Mr. K-soccer tidak ingin dipuja berlebihan, pun tidak ingin dilayani bak panglima yang memberikan kemenangan. Indonesia patut memercayai kesetiaannya dengan memberikan panggung kreatifitas tanpa merecoki pemilihan pemain dan strategi peperangannya.
Mr. Shin Tae-yong dan timnas Indonesia sangat membutuhkan dukungan agar berani mengeksplorasi tanpa takut diadili. Mereka sudah dewasa untuk mengevaluasi diri.
Biarkan sifat pejuang-keras ala Korea muncul untuk memahat setiap pemain-pemain  muda pilihan, ibarat menempa perunggu-perunggu menjadi perisai atau senjata untuk memenangkan pertandingan.
Sebab sepak-bola itu 'peperangan' bukan permainan.
Bandung, 4 Desember 2022
Kita ini seniman, suka ikut-ikutan ...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H