Mohon tunggu...
Antonius Hananta Danurdara
Antonius Hananta Danurdara Mohon Tunggu... Guru - Sedang Belajar Menulis

Antonius Hananta Danurdara, Kelahiran Kudus 1972. Pengajar Fisika di SMA Trinitas Bandung. Alumni USD. Menulis untuk mensyukuri kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

'Patangan' dalam Sebuah Episode Zaman

12 Desember 2021   11:00 Diperbarui: 14 Desember 2021   12:44 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: keceriaan anak - anak yang bergembira - tertawa, bermain bersama. Sebuah episode kehidupan yang diabadikan (sumber: flickr)

“Nung, yuk dolananpatangan’. Gelem ora?”. Demikian teman – teman kampung mengajak saya untuk memainkan permainan tradisional tersebut. Permainan yang mengandalkan keterampilan tangan menangkis dan menyerang ini kami mainkan di malam minggu, sehabis magriban.

Memainkan ‘Patangan

Memainkan ‘patangan’ itu mudah. Jika berhadapan dengan lawan, kedua tangan pemain harus dibuka agar cepat bereaksi untuk menangkis atau menyerang lawan. Bukan menyerang dengan pukulan, tetapi tangan pemain harus berhasil memegang kepala atau atau kaki lawan.

Kuda – kuda kaki pun harus diatur. Sebaiknya, beban tubuh diletakkan pada tumpuan salah – satu kaki yang kadang agak ke depan atau belakang, tergantung akan menyerang atau bertahan. Kalau pemain berhasil memegang kepala atau kaki lawan, maka lawan dianggap ‘mati’. Untuk sejenak, yang ‘mati’ beristirahat dahulu.

Permainan 'patangan' merupakan pertandingan antara dua kelompok. Masing - masing kelompok beranggotakan 5-7 anak, bahkan bisa lebih. Di kampung kami, lingkup permainan ini meliputi 3 – 4 wilayah rukun tetangga. 

Setelah dua kelompok terbentuk, masing – masing kelompok bergerak berlawanan arah dan bersembunyi dahulu. Tempat persembunyiannya bisa di balik tumpukan batu bata, tumpukan bambu – bambu kering, atau pepohonan besar, kecuali pohon randu dan pohon bambu. Kalau malam hari, kami jarang mau mendekati kedua pohon tersebut. Kasak – kusuknya, pohon – pohon seperti itu banyak dihuni hantu.

Jika suasana sudah hening, itu tandanya kami harus mulai melakukan pergerakan mencari lawan, bisa berbarengan atau dilakukan ‘gerilya’ sendirian. Ini termasuk strategi yang telah disepakati dalam kelompok masing – masing sebelum bermain.

Belajar Sportivitas

Dalam ‘patangan’, sportivitas menjadi komitmen bersama. Kalau sudah saling berhadapan, bisa jadi pemain dan lawannya menyentuh bagian kaki atau kepala hampir bersamaan.

Nah, bagaimana cara menentukan siapa yang menyentuh duluan? Kalau di zaman sekarang agak sulit, harus ada pembuktian. Tetapi kalau zaman dahulu, ditentukan oleh pengakuan jujur masing – masing dari pemain.

Seingat saya, sangat jarang terjadi konflik. Jika ada yang ‘ndakik’ (melakukan kecurangan) ujung – ujungnya anak tersebut akan dikucilkan, tidak diajak bermain untuk beberapa saat.

Belajar Tangguh

Saat ketemu lawan, kadang lawan tidak bisa dipilih. Pemain berperawakan kecil berduel dengan lawan yang besar adalah hal yang biasa. Memang tidak seimbang dan terkesan tidak adil kalau harus bertanding. Tetapi itulah realitas yang dihadapi, lawan di depan dan harus mengusahakan menang.

Saya sendiri karena berbadan kurus – cungkring lebih sering kalahnya daripada menang. Meskipun begitu, saya tetap diajak bermain dan tidak malu bermain.

Memang ada trik sih untuk mengalahkan mereka. Kami kadang berdiskusi kecil, menganalisis lawan – lawan terutama kelemahannya.

Belajar Memiliki Jiwa Korsa

Sebenarnya ‘patangan’ bisa dimainkan dua orang saja, tetapi tidak seru. Dalam kelompok besar yang dibagi dua, kebersamaannya terasa, baik sebagai kawan maupun lawan.

Strategi standarnya adalah anak berperawakan besar akan menyerang lawan yang kecil dahulu. Tujuannya untuk mengurangi jumlah pemain lawan.

Semangat saling melindungi muncul spontan, anak – anak berperawakan besar dari kelompok yang diserang pasti akan membantu melindungi anggota – anggotanya yang kecil atau dipandang lemah.

Ini bukan berarti yang kecil dan lemah hanya sebagai pelengkap saja. Sebenarnya mereka mendapat penugasan untuk menyelinap dan mematikan lawan dari belakang. Anak – anak ini ‘nglimpe’ (mengendap – endap) lalu menyergap lawan.

Jadi dalam ‘patangan’, semua anggota tim akan saling berkontribusi memenangkan kelompok. Menyerang lawan dan melindungi teman itulah kekorsaan.

Belajar Menghargai Kebinekaan

Dari sekitar 20-an anak kampung sepantaran, saya dan satu teman lagi memiliki agama berbeda. Walaupun begitu, kami tetap dicari dan diajak bergabung.

Bullying hampir tidak pernah terjadi. Seingat saya, perundungan kecil diprovokatori satu – dua anak seusia SMA. Frasa – frasa yang digunakan sebenarnya terkait dengan klarifikasi logika cara – cara orang mengimani Allah dengan pengalaman iman akan Allah.

Ya, sempat gentar juga dengan dominasi definisi yang menakut-nakuti. Tetapi karena ada kebutuhan dan senang bermain bareng, saya abaikan saja miskomunikasi tersebut. Anak - anak seusia kami tetap bergembira, tetap tertawa, tetap bermain bersama.

Belajar Menepati Janji

Jam berapa kami bermain, di mana kami bertemu, dan jam berapa permainan diakhiri, sepertinya sudah memiliki pola. Siapa yang pertama kali membuat, entahlah tetapi kami menghidupi pola tersebut sehingga tidak ada kekawatiran ditinggal teman di tengah - tengah permainan.

Keasyikan bermain bersama, pun tidak melenakan kami untuk mengakhiri permainan. Biasanya sekitar jam 21-an permainan kami berakhir. Orang tua tidak perlu repot – repot mencari karena di sekitar jam tersebut, kami sudah berada di rumah dengan bau 'ledis' (baca: apek) keringat.

‘Patangan’ dalam Sebuah Episode Zaman

Demikian cerita permainan ‘patangan’ di daerah kami, malam minggu zaman itu. Tentu sangat berbeda dengan zaman teknologi sekarang.

Di kampung saya, ‘patangan’ mungkin sudah tidak dimainkan lagi oleh anak – anak. Diganti apa, saya juga tidak update infonya. Permainan ini telah berada di endapan awal pengalaman yang agak sulit diingat.

Zaman telah menelannya kembali.

Mencoba mencari – cari sebab mengapa waktu itu kami diperbolehkan bermain bersama, akal sehat mengarahkan, kemungkinan orang – orang tua kami sudah saling kenal. Mereka bertetangga baik dalam komunitas rukun tetangga (RT) dan rukun kampung (RK)

Ada beberapa kegiatan kampung, seperti gotong – royong membersihkan jalan,  membangun rumah, mengapur pagar persiapan tujuh-belasan dan sejumlah pertemuan warga lainnya.

Anak – anak kampung menyaksikan keteladanan itu. Mungkin secara tidak langsung, kami merasakan semangat kebersamaannya.

Hampir di setiap acara ‘kajatan', warga – warga yang dekat mendapatkan undangan yang disampaikan secara lisan.

Seingat saya ketika sesekali ikut bapak menghadiri ‘kajatan’, saat doa – doa dipanjatkan, kami memang diam tetapi dalam batin juga ikut mendaraskan doa. Selesai berdoa, biasanya para bapak melanjutkan dengan mengobrol.

Kalau pas bapak tidak bisa menghadirnya, nasi berkat ‘kajatan’ diantar ke rumah oleh keluarga pengundang.

Yang menarik adalah kelihatannya cuma mengundang secara lisan, tetapi jika direnungkan, rupa – rupanya ada nilai yang diajarkan, yaitu mengenalkan diri, mengenal tetangga kita, dan saling bertegur sapa.

Semangat jimpitan beras sewadah agar – agar untuk setiap ronda malam juga dihidupi. Hal kecil ini menunjukkan sikap berbela-rasa untuk berbagi.

Terlintas pula di ingatan, ketika ibu atau nenek akan melengkapi kebutuhan bumbu dapur. Biasanya belanjanya ke warung – warung tetangga. Atau, kalau ingin jajan pecel, cemeding, besusul kuah (sejenis keong sawah), rujak, soto, bakso, atau sate kebo bisa juga ke warung – warung makan milik tetangga yang lain. Zaman dulu, warung - warung seperti ini menjadi andalan sumber penghasilan pemiliknya. Warung – warung seperti ini juga menjadi tempat bersilaturahmi antar warga.

Dengan adanya banyak aktivitas warga yang memberi ruang kebersamaan, memungkinkan terjadinya saling percaya antar orang tua yang sifatnya elastis – mengikat dalam komunitas kampung.

Aktivitas baik para warga menjadi semacam pagelaran gamelan kehidupan kampung yang boleh kami nikmati saat kecil. Ketika kami melihat dan merasakan praktik baik ini, mungkin inilah yang membuat kami, anak – anaknya akhirnya saling akrab satu sama lain. Keakraban yang diwujudkan dengan kegiatan bermain bersama yang menyuburkan benih karakter baik.

Patangan, jangan lupa tetangga kiri kanan. Ternyata, para orang tua kami 'jago' memainkannya juga. 

Semoga bermunculan 'patangan - patangan' lain yang membelajarkan kita sebagai bangsa untuk menjunjung sportivitas, tangguh, memiliki jiwa korsa, menghargai kebinekaan, dan menepati janji.

Bandung, 12 Desember 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun