Mohon tunggu...
Antonius Hananta Danurdara
Antonius Hananta Danurdara Mohon Tunggu... Guru - Sedang Belajar Menulis

Antonius Hananta Danurdara, Kelahiran Kudus 1972. Pengajar Fisika di SMA Trinitas Bandung. Alumni USD. Menulis untuk mensyukuri kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengenang Bangga Disentuh Sang Guru Besar

27 November 2021   06:00 Diperbarui: 28 November 2021   06:27 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ibu-bapak-aku-Bu Sri-Bu Harti-Bu Rustiah-Pak Supomo (sumber: pribadi)

Saya coba ya ingat - ingat hal yang mengesankan waktu SMP. Kilas yang muncul, diguyur air sama Bu Kus saat percobaan biologi. Sang ibu tertawa, melihatku basah kuyup. Diajari nge-band pak Nurhadi, dan dipanggil "doro" (burung merpati) oleh Ibu Ami.

Kalau di SMA, kilas yang muncul, patung abstrakku hanya dinilai 70 oleh guruku. Padahal aku telah berimajinasi dan membuatnya setengah mati. Menyalin tugas matematika dan ketahuan guru. Kupikir sudah selesai masalah saat itu, setahun kemudian baru diproses, hmm.

Tapi agak beda kalau aku mengingat guru - guruku waktu SD. Top markotop lah. Masih bisa satu per satu kuceritakan karakter beliau - beliau.

Ibu Sri Handani yang disiplin dan berwibawa, Ibu Rustiah yang nyaman bagi murid - murid, Ibu Fat dan Ibu Harti yang sabar penuh kasih sayang, Ibu Dinik yang tegas, Pak Tontowi yang lucu - jenaka menyebut sepatuku seperti cecurut, Pak Sobari guru olah raga kami yang santun, Pak Sandriyo yang keren dengan kumis dan RX spesialnya, dan Pak Supomo sang guru besar.

ibu-bapak-aku-Bu Sri-Bu Harti-Bu Rustiah-Pak Supomo (sumber: pribadi)
ibu-bapak-aku-Bu Sri-Bu Harti-Bu Rustiah-Pak Supomo (sumber: pribadi)

Kilas Pengalaman dibimbing Sang Guru Besar

Interaksi aku dengan beliau ini dimulai dari penugasan mengolah cemplong (kelapa yang berlobang karena dimakan tupai) menjadi pot kecil.

Beliau mengundang kami untuk dolan ke rumahnya. Beliau meluangkan waktu, mengajak jalan - jalan di kebon untuk mencari cemplong - cemplong yang memang banyak berserakan.

Loncat ke episode lain, suatu ketika beberapa dari kami dikumpulkan beliau untuk menggambar bareng. Gambar teman - temanku bagus, gambarku biasa saja.

Beliau adil - menyeleksi gambar - gambar tersebut. Aku tidak terpilih. Rupanya beliau punya skenario lain, memintaku untuk belajar membuat patung.

Kesungguhan beliau untuk membimbingku terlihat ketika kami membeli tanah liat untuk latihan membuat patung. Kami berboncengan ke Ngethuk, dusun yang terkenal dengan kerajinan gentengnya di Kudus.

Patung kerbau dari tanah liat yang kami buat, akhirnya terpilih yang terbaik. Aku menang dan senang. Terinspirasi dengan kemenangan itu, aku berlatih dan terus berlatih membuat patung di rumah.

Persiapan lomba tingkat kabupaten dan propinsi, kami berkolaborasi membuat patung dengan media semen yang lebih kuat. Dengan sabar dan detail, beliau mengajariku membuat rangka patung.

Rangka pada patung semen adalah unsur penting yang menjamin bentuk dan kekokohan sebuah patung. Rangka yang bagus akan membentuk patung yang bagus.

Pada saat detailing patung, kami sempat berdebat menentukan jumlah puting kerbau betina. Setahuku ada empat karena beberapa kali mbeling menunggang kerbau.

Untuk membuktikan kebenarannya, kami pergi ke sawah belakang sekolah. "Kalau kambing benar dua Pak, tapi kalau kerbau ada empat", demikian jawabanku. Merunduk - runduk kami menghitung. Aku benar, puting kerbau ada empat.

Yang kuingat, sore beruntun kurang lebih seminggu, aku bersama beliau berkolaborasi membuat patung ibu kerbau, anak kerbau, dan penunggang yang sedang membaca buku.

Beliau mengajariku berstrategi mengambil judul patung tersebut. Penggembala naik kerbau sambil belajar. Pas banget dengan program wajib belajar yang dicanangkan Bapak Pembangunan kita, Presiden Soeharto kala itu.

(Tapi sebenarnya belajar di atas punuk kerbau ndak enak blas. Saya pernah mencoba)

Di tingkat propinsi Jawa Tengah, patung tersebut mendapatkan nilai terbaik. Aku juara pertama.

Sampailah pada lomba porseni SD tingkat nasional di Jakarta. Aku harus mempraktekkan membuat patung, tanpa bantuan beliau!. Mulai dari membuat rangka patung, menyemen, mengaci, dan mencampur cat untuk menampilkan bulu - bulu kerbau, semua harus kuselesaikan dalam 6 hari.

Waktu itu juri cukup ketat mengawasi. Muncul sedikit pesimis, karena untuk membuat rangkanya saja, kemampuanku menyelesaikan bisa lebih dari dua hari. Belum lagi melepa dan mengaci.

Tapi beliau memberi motivasi. Kemampuanku yang sudah kuasah di rumah mendapatkan booster yang luar biasa.

Walau telapak tangan ini memerah - parah akibat men-nggegep kawat tiga mili, tertusuk kawat bendrat berkarat, tokh rangka itu selesai.

Demikian lanjut cerita, patung kerbau dan penggembala yang sedang belajar mulai mewujud setelah hampir hari kugeluti. Aku berkarya sendiri! Cukup bagus walau belum finishing diaci dan dicat.

Berkah pandemi, bakat itu membawaku menjadi perupa amatir kembali. Setelah tiga puluh lima tahun mati suri. 

Ada sisi sentimentil terharu, mengenang beliau dengan bangga, ketika membentuk rupa trimatra.   

Baca juga: Menginspirasi Siswa Merdeka Belajar dari Penyelenggaraan Budaya Menulis dan Meneliti

Keguruan Beliau

Menjadi guru di zaman saiki, sudah enak. Selain gaji juga ada tunjangan sertifikasi. Bahkan yang sudah impassing akan mendapat tunjangan yang signifikan besarnya.

Sebenarnya, kalau dikatakan persentase minat siswa Indonesia untuk menjadi guru sekitar 11%, itu cukup bagus kok. Kan bandingannya ada puluhan bahkan ratusan profesi.

Bahkan sudah banyak lulusan S1 non pendidikan yang melirik menjadi guru ASN. Gaji dan karir lebih menjanjikan, cukuplah untuk menyelenggarakan keluarga berencana.

Pendek kata, profesi guru kian ok. Profesi yang kian perkasa ini semoga tidak lupa kacang akan kulit.

Mengkontemplasikannya, saya menjadi teringat perjuangan ibu - bapak guru SD-ku zaman dahulu. Apakah nilai - nilai yang mereka junjung sebagai pelita dalam kegelapan, embun penyejuk dalam kehausan, atau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa masih relevan di jaman milenial sekarang?

Suapan - suapan pengetahuan yang diberikan dengan penuh empati dan kasih sayang. Inspirasi untuk berani menyelesaikan tantangan. Sabar - setia memotivasi. Antusias sebagai teman berkolaborasi. Membuktikan dan mengakui kebenaran. Bertindak adil. Tulus membimbing dan mengarahkan bakat. Dan akhirnya, mempercayai kemampuan muridnya untuk mandiri.

Itulah kumpulan energi 'cinta' beliau yang berusaha memerdekakan kami dengan hati.

 

Di gerbang sekolah (sumber: pribadi)
Di gerbang sekolah (sumber: pribadi)

Penutup

Karena saya juga guru, jadi naluri saya, setelah menjelaskan, akan membuat soal pertanyaan feed back.

Siapakah yang dimaksud 'beliau' dalam tulisan di atas?

  1. Ibu Sri Handani
  2. Ibu Rustiah
  3. Ibu Fat
  4. Ibu Harti
  5. Ibu Dinik
  6. Bapak Tontowi
  7. Bapak Sobari
  8. Bapak Sandrio
  9. Bapak Supomo

Ndah usah dijawab, nanti disetrap. Kubisikkan kepada pembaca yang baik hati. Mereka semua, guru SD Negeri Wergu Wetan 2 Kudus, sungguh berjasa dan luar biasa.

Teriring doa untuk seluruh Ibu - bapak guruku. Baik engkau yang telah berpulang di surga ataupun engkau yang setia rajin beribadah dalam penantian di dunia.

Semoga Allah berkenan memberikan kebahagiaan dan keselamatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun