Terakhir ini, beliau sudah mahir belajar dari istri membuat soto kudus, sego pindang dan berkolaborasi dengan anak memasak empal gentong.
Yang keenam: setia. Kelihatannya banyak yang berpendapat kesetiaan ART berbanding lurus dengan usia. Semakin tua, semakin setia. Kalau dipikir, ada benarnya. Semakin kita menua, pilihan pekerjaan yang sesuai performa semakin sedikit.
Bisa jadi Ma Nung berada di posisi itu. Tetapi jika mengingat anak-anaknya yang sudah berumah tangga dan bekerja, rasanya hanya ada satu alasan kesetiaannya yang paling pas, yaitu menikmati pekerjaan daripada berdiam menunggu suami pulang kerja.Â
Kemanusiawian "Ma Nung"
Sebenarnya "Ma Nung" kami memiliki perasaan yang halus dan sensitif. Di tahun-tahun awal beliau mulai bekerja, hal tersebut tidak kentara.
Suatu ketika, kami pulang ke rumah agak siangan. Ma Nung masih bekerja menyetrika. Di dapur, kami guyonan resign, tetapi sama sekali tidak menyinggung beliau.
Keesokan harinya, Ma Nung tidak masuk kerja, tidak ada kabar. Demikian dua tiga hari berikutnya. Saat itu kami berpikir beliau mungkin sakit.
Di hari terakhir kami berjumpa, beliau memang terlihat kurang sehat. Sengaja kami tidak menghubungi supaya beliau beristirahat untuk pemulihan.
Hari keempat sore hari, istri meminta anak-anak untuk mengunjungi Ma Nung sambil membawa makanan dan uang gajian mingguan.Â
Ketika ditemui anak-anak, Ma Nung menangis dan bilang ke anak-anak, "Ma Nung minta maaf, belum pamit. Papa dan Mama sudah tidak mempekerjakan Ma Nung lagi", kata beliau.